"Kuliah … Kuliah …" Suara Ibu memecah keheningan di ruang tamu. "Lihat keadaan keluarga kita, Sera! Ibu harus ngutang sana-sini biar kita semua tetap bisa makan, biar kamu dan adik-adikmu tetap bisa sekolah. Lulus SMA itu cari kerja, bantu orang tua kamu, bantu adik-adik kamu yang sekolahnya masih panjang. Si Abid juga baru mau masuk SD. Harusnya kamu itu bersyukur bisa disekolahkan sampai SMA. Itu anak Pakde Nardi, semuanya hanya sekolah sampai SMP, tidak protes sepertimu." Ibu mencoba membandingkan dengan anak-anak Pakde yang memang malas belajar, tentu aku tidak terima.
Kata-kata Ibu menusuk seperti duri. Aku menunduk, menahan napas, mencoba menahan air mata yang sudah mendesak ingin keluar. Di dalam hati, aku berteriak, Bu, bukankah menyekolahkan anak tanggung jawab orangtua?! Tapi, aku tahu, kata-kata itu tidak akan mengubah apa-apa.
"Ini kan aku dapat beasiswa, Bu," aku berusaha menjelaskan, suaraku bergetar. "Tidak bayar sama sekali. Aku mau sekolah tinggi juga tujuannya untuk bantu keuangan keluarga, kan semakin tinggi sekolah, semakin bisa dapat pekerjaan lebih layak. Aku tidak ingin, Bu, terus-terusan hidup susah."
Ibu menggeleng dengan keras, nadanya semakin tajam. "Enggak perlu mimpi terlalu tinggi, Sera. Pokoknya, menurut Ibu, Lulus SMA itu kerja! Kuliah beasiswa juga belum tentu enggak keluar uang. Kamu mau nambahin utang Ibu?" Nadanya meninggi, menusuk sampai ke dalam tulang.
"Bu, tolong…," aku memohon dengan sisa kekuatan yang kupunya. "Aku janji, kalau aku kuliah, aku akan bekerja keras, aku akan…"
"Sudah cukup, Sera!" Ibu memotong, suaranya menggema di seluruh ruangan. "Ibu bilang, enggak! Kamu mau bikin Ibu tambah susah? Mau lihat kita semua kelaparan karena kamu keras kepala?"
Tak ada lagi kata-kata yang bisa kukeluarkan, selain isakan tangis yang makin kencang. Hatiku hancur berkeping-keping. Meski tubuhku masih ada di hadapan Ibu, jiwaku seakan terempas jauh ke dalam jurang gelap. Impian yang selama ini kupelihara dengan segenap cinta dan usaha, kini layu bahkan sebelum sempat mekar.
Satu bulan penuh aku terbaring sakit setelah lulus SMA. Bukan hanya fisikku yang lemah, tapi juga hatiku yang tak lagi punya harapan. Meski sakit, meski tubuhku menggigil setiap malam, hati Ibu tetap tak luluh. Sampai akhirnya,kuputuskan untuk menerima kenyataan bahwa aku tak bisa melanjutkan mimpi-mimpiku. Apalagi Ibu berkali-kali mengatakan, kuliah hanya akan membuatku merasa lebih pintar dari Ibu. Mau tidak mau, aku harus bekerja, dan mengubur dalam-dalam harapanku untuk bisa kuliah.
Di setiap malam yang sunyi, aku bertanya-tanya, apa gunanya segala usahaku selama ini? Apa gunanya berprestasi di tengah kesulitan ekonomi, jika akhirnya usahaku tidak mengubah apapun? Hari demi hari aku mencoba bangkit, habiskan waktu dan uang untuk melamar pekerjaan, dari satu tempat ke tempat lain, namun tak kunjung ada kabar baik.
Kenyataan pahit semakin menghantam: aku tak punya kenalan, juga tak punya pengalaman. Namun, bukannya menyemangati, Ibu justru menyiramkan garam pada luka yang sudah menganga.
"Rugi aku menyekolahkanmu bayar mahal-mahal!" kata Ibu dengan nada suara penuh kekecewaan. "Ngelamar kerja saja enggak dapat-dapat."
Kata-kata itu kian menghancurkanku. Aku tahu mencari kerja tidak semudah itu, bahkan teman-temanku yang tidak kuliah pun mengalami hal yang sama. Tapi tetap saja, setiap kali Ibu mengucapkan kalimat itu, hatiku terasa remuk. Aku terpuruk, merasa semua usahaku sia-sia.
Puncak dari semua ini adalah saat uang untuk membayar kursus Bahasa Inggris yang diberi sponsorku yang selama ini membantuku dari TK dicuri oleh sepupuku sendiri.
Aku benar-benar hancur. Rasanya seperti ditusuk dari belakang oleh orang yang seharusnya bisa dipercaya. Dalam keputusasaan, aku memutuskan untuk melakukan pekerjaan apapun, asal bisa menghasilkan uang. Mimpi-mimpiku terasa semakin jauh, semakin mustahil untuk diraih.
Aku diterima sebagai pekerja harian di pabrik rokok, bekerja di antara orang-orang yang sebagian besar hanya lulusan SD. Di sela-sela waktu, aku juga memasang mote di jilbab dan menjaga warnet dengan gaji ratusan ribu. Tapi, tak peduli seberapa keras aku bekerja, tetap saja kurang di mata Ibu, aku tak pernah sedikitpun membanggakan di matanya.
Rasa bersalah kepada diri sendiri terus menghantui. Ijazah SMA-ku seolah tak berarti, karena tak membantuku mendapatkan pekerjaan yang layak. Di setiap detik, rasa bersalah itu tumbuh, merayap di dalam pikiranku, menghantui setiap langkahku.
***
Memang benar kata pepatah, hidup itu tidak selamanya datar, lurus, bahagia, dan baik-baik saja. Namanya juga hidup, pasti ada naik turun seperti roda pedati yang terus berputar—kadang di atas, kadang di bawah. Seperti lautan yang tenang, tak selamanya tanpa ombak; kadang gelombang datang menghempas, menguji seberapa kuat kita bertahan di tengah badai.
Kupikir dengan sikap Ibu yang perlahan berubah sedikit lebih baik—jarang mengomel hanya karena terus kuberi asupan uang—hidupku akan jauh lebih tenang dari sebelumnya. Namun siapa sangka, badai kali ini datang dari tempat yang tak pernah kuduga: Abid, adikku sendiri.