Jalan Pulang

Widiyati Puspita Sari
Chapter #29

29. Benteng Kesombongan

           Keras kepala adalah warisan yang tumbuh dalam diriku seperti akar yang menjalar di tanah gersang. Mungkin ini caraku bertahan, atau mungkin memang inilah bagian diriku. Seperti ketika Ibu menghukumku dengan melarang makan, aku tetap memilih membiarkan perutku kosong, tanpa takut akan sakit atau pingsan. Bagiku, mempertahankan pendirian adalah harga mati, hingga orang yang seharusnya bertanggung jawab—entah langsung atau tidak—mengakuinya.­­ ­­

           Sudah sepuluh bulan berlalu, aku hidup bersama keluargaku tanpa komunikasi. Aku sengaja membangun tembok tinggi, menghindari pertemuan keluarga, acara apapun yang melibatkan keluarga, bahkan saat beribadah ke gereja pun, yang tak lagi dibatasi, aku memilih tidak bersama mereka.

           Aku hanya menutup semua cela komunikasi yang tak perlu. Meskipun Bapak selalu memancing obrolan dan Ibu sering memancing dengan omelan, aku memposisikan diri sebagai orang tuli. Sampai akhirnya, Ibu lelah ngomel sendiri.

           “Makan, Sera,” pinta Bapak, untuk entah yang keberapa kalinya. Nada suaranya terdengar lelah namun tetap lembut. Aku hanya mengangguk, tanpa ada niat menyentuh masakan Ibu.

           "Kenapa sih, kamu selalu seperti ini? Ibu kamu sudah perlahan berubah, Nduk." gumam Bapak lagi, suaranya terdengar memohon.

           Aku tetap tak bergeming. Protes ini adalah caraku memberontak, setelah segala upaya komunikasiku untuk membela diriku gagal dan tak dianggap. Aku tidak mau lagi selalu menjadi pelampiasan kesalahan dan amarah orang lain.

           Aku memilih sibuk melakukan apa pun yang menghasilkan uang. Bahkan setiap kali ada tawaran mengajar nyanyi yang mengharuskanku datang ke rumah siswa, aku tetap menerimanya. Padahal, jadwal deadline menulis novel online serta copywriting-ku mepet. Tidak jarang aku tidur lebih dari jam sepuluh malam demi menyelesaikan pekerjaan. Tentu, semua ini kulakukan dengan bahagia, meskipun kalau aku mau sejenak diam dan merasakan lebih dalam, ada rasa kesal yang kuat. Terutama ke Ibu dan Abid, yang sering melampiaskan emosinya padaku.

           Siang ini, selesai masak untuk makananku sendiri, aku mendengar percakapan Ibu dari kamar.

           “Abid kasihan, Pak. Belum juga dapat pekerjaan,” ucap Ibu dengan nada yang terdengar mengeluh. Aku mendengus pelan. Padahal sebenarnya bukan kasihan, salah sendiri dia resign tanpa persiapan. Aku juga tidak tahu apa alasannya, tapi seharusnya kalau sudah berencana demikian, Abid punya uang darurat agar ia tidak menyusahkan diri sendiri.

           “Ya, nanti kan juga dapat, Bu,” sahut Bapak berusaha tenang.

           “Duitnya sudah habis, Pak. Itu katanya dia mau jual kamera. Ibu juga tidak bisa kasih uang lagi. Tahu sendiri tabungan kita juga sering diambil terus,” Ibu bicara dengan suara memelas.           Memang, sudah hampir satu tahun pekerjaan Bapak tidak lancar. Tapi aku yakin, Ibu masih punya simpanan uang, meskipun beberapa bulan ini uang yang aku beri tidak diambilnya di meja, dan dikembalikan oleh Bapak kepadaku. Namun, aku tetap membelikan bahan pokok yang langsung kutaruh begitu saja di dapur.

           “Ya sabar, Bu. Bapak juga sudah berusaha, tapi bagaimana lagi, di mana-mana pada bilang sepi,” Bapak mencoba meredakan ketegangan.

           “Ya, makanya, Pak, usaha. Jangan mengandalkan satu pekerjaan saja. Ini tiap hari kita makan loh, kelihatannya memang enggak mewah, tapi habis banyak, tahu sendiri Abid kalau makan enggak ingat kalau makannya buat orang serumah.” keluh Ibu.

           “Bapak coba contoh itu, tetangga yang kena PHK, atau nganggur sebentar, enggak mengandalkan satu bidang, ada yang ngojek, ada yang usaha jualan kerupuk lah, tape lah, sayur keliling lah. Pokok tetap ada usaha,” lanjut Ibu.

           “Bapak ya pengin, Bu, mau ngojek tidak punya motor, mau jualan, jualan apa juga bingung.” jawabnya agak bingung.

Lihat selengkapnya