Jalan Pulang

Widiyati Puspita Sari
Chapter #30

30. Guncangan Tanpa Peringatan

“Pak, aku mau pinjam Kartu Keluarga,” kataku saat kami berdua saja di dapur.

Bapak menghentikan aktivitasnya mengupas singkong dan menatapku dengan bingung. “Buat apa?”

“Mau pisah KK,” balasku dengan tegas.

“Apa?” Bapak mendekat, ekspresinya berubah serius. “Kamu sudah tidak mau menganggap keluarga ini lagi?!” kedua bola mata Bapak melotot, membuatku refleks memundurkan langkah.

“Enggak kebalik ya Pak?” jawabku, mencoba tetap tenang meskipun hatiku bergejolak.  “Kan justru bagus, Bapak dan Ibu tidak lagi terbeban dengan kehadiran aku.”

Bapak menatapku dalam-dalam, seolah mencoba menemukan niat tersembunyi di balik kata-kataku. “Bapak benar-benar tidak mengerti jalan pikiranmu sekarang, Nduk. Kenapa harus seperti ini?”

Aku menatap singkong yang setengah terkelupas di tangan Bapak, merasa semakin terasing di dalam rumah ini. “Terserah kamu ngomong apa, tapi Bapak enggak akan kasih KK itu kecuali kamu sudah menikah,” tegasnya.

“Ibu itu dari kecil tidak pernah menginginkanku, Pak. Sudah lelah loh Sera sabar sama Ibu!” kataku, suaraku mulai bergetar, menghempaskan emosi yang sudah lama terpendam.

“Kalau kamu mau begitu, silakan. Tapi Bapak tidak akan kasih KK itu,” kata Bapak sambil kembali mengupas singkong dengan tangan yang gemetar. Namun, aku bisa melihat bahwa keteguhannya lebih karena ketidakberdayaan daripada kemarahan.

Aku menghela napas panjang dan melangkah masuk ke kamar, mencoba menghindari kehadiran Ibu yang sedang mendekat ke dapur. Hatiku terasa seperti terbelah, antara rasa bersalah karena merasa menjadi anak durhaka dan kemarahan terhadap Ibu yang terus-menerus menorehkan luka di hati.

Setelah obrolan itu, aku mulai mencari tempat kos yang nyaman, namun tak kunjung menemukan yang cocok. Ketika akhirnya menemukan yang sesuai, Bapak langsung mengancam, mengatakan seolah aku menginginkan kematian beliau. Aku menjadi plin-plan dan selalu membatalkan rencana.

Suatu siang, Ibu memanggilku dengan nada lembut. “Sera, ayo makan. Makanan sudah siap.”

Aku memilih bungkam, seperti biasanya. Bapak terus mencoba merayuku dengan berbagai cara agar aku bersikap lebih lunak terhadap Ibu, tapi tidak ada yang berhasil.

“Jujur, Ibu merasa tidak enak kalau kamu selalu memenuhi kebutuhan rumah, tapi tidak mau makan masakan Ibu. Kamu itu sebenarnya kenapa?” Tanya Ibu, suaranya kali ini terdengar lembut dan penuh keputusasaan.

Lihat selengkapnya