“Kamu selalu diikuti oleh sosok yang jelek sekali, seperti gendruwo tapi wanita.kemanapun kamu pergi dia selalu ada” ucap sepupu Bapak dengan nada serius. Aku menatapnya dengan alis berkerut. Ucapannya sungguh tidak masuk akal. Aku percaya ada makhluk halus yang tidak kasat mata, namun sulit bagiku untuk menerima begitu saja tanpa bukti bahwa aku sedang dikuti oleh sosok tersebut. Apa mau mereka?
Berkali-kali sepupu Bapak mencoba membuatku percaya dengan melihat sosoknya di dalam kaca yang ia perlihatkan, namun berkali-kali pula aku tidak melihat sosok itu selain wajahku sendiri. Bahkan sepupu Bapak sampai kebingungan sendiri, lalu ia menyalahkanku karena aku kurang konsentrasi, padahal jelas-jelas aku mengikuti semua sesuai instruksi darinya.
Ini semua bermula ketika aku menjerit tengah malam, karena melihat sosok nenek-nenek berbaju compang-camping dengan rambut berantakan mirip mak lampir di serial tv, menatap tajam ke arahku dan merusaha mencakarku dengan tangannya yang tajam. Sungguh, aku tidak bermimpi, sosok itu benar-benar terlihat nyata di depanku. Iini bukan pertama kalinya, tapi baru kali ini ketika aku mengerjapkan mata sosok itu masih terlihat, biasanya kalau aku melihat apapun yang menyeramkan, ketika aku menutup mata sekejab saja, sosok yang aku lihat itu pasti hilang. Namun malam itu sosoknya justru makin ingin menerkamku. Saat itu yang aku pikirkan adalah karena aku sangat kelelahan. Tapi, Ibuku melihatnya berbeda, ia mengaitkan peristiwa yang aku alami sebagai bagian dari hal mistis yang sedang menyerangku. Hanya soal ini, Ibu sangat menguatirkan keadaanku. Lebih tepatnya karena tidak ingin terus-menerus malu perkara anaknya yang belum juga laku.
Di usiaku yang hampir 30 tahun, Ibu khawatir aku menjadi perawan tua, sehingga setiap peristiwa dalam hidupku selalu dikaitkan dengan guna-guna. Apalagi didukung dengan banyaknya masalah yang menghampiri keluarga sebelumnya, dari Bapak yang tiba-tiba mengalami luka bakar serius di tempat kerjanya, Ibu yang mendadak sakit, hingga aku yang sering histeris tiap tengah malam. Ibu mencurigai salah satu saudara kandungnya mengirimkan guna-guna, terutama setelah anaknya ketahuan mencuri uang biaya kursuku tetapi enggan mengakui kesalahannya.
“Ini kamu sering kan dekat dengan lawan jenis, tapi tidak ada perubahan?” tanya sepupu Bapak, yang sebaya dengan Bapak, karena jarak usia Bude dan Bapak lebih dari dua puluh tahunan.
Aku hanya mengangkat bahu dan menggeleng. Sejauh ini, aku tidak merasakan ada yang aneh dalam urusan percintaanku. Aku lebih sibuk memikirkan masalah hidupku sendiri. Ada lawan jenis atau tidak, aku tidak mempermasalahkan itu
“Ini ada orang terdekat yang memagari kamu, agar berat jodohnya. Kalau kamu mau bebas, ada ritualnya,” katanya. Aku menatap Ibu dan Bapak, lalu menggeleng. Dalam keputusasaanku, aku tidak akan melakukan hal-hal yang tidak masuk akal ini. Untungnya, Bapak menolak dan memilih untuk mengatasi masalah ini dengan doa. Namun, Ibu terus menerus mengeluh dan menganggapku susah diatur.
***
Aku pikir ketakutan setelah digigit ular akan lenyap setelah mencoba menenangkan diri dengan meditasi. Apalgi luka di kakiku sudah mengering tanpa tanda-tanda aneh. Namun, tubuhku masih gemetar seperti dialiri aliran listrik halus. Sensasi ini familiar—seperti gejala awal depresi yang pernah kualami. Tapi, aku tidak langsung mengatur jadwal konsultasi ke psikolog. Keras kepalaku mengatakan: Bukankah aku sudah banyak belajar tentang self-healing?
Aku berusaha menjalankan aktivitas seperti biasanya. Meskipun saat mengajar, pikiranku terasa kabur. Suara muridku, Vika, terdengar samar seperti dari kejauhan, sampai aku merasa mengajar tidak dengan kesadaran.
“Kak Sera, kok minta ngulang lagi yang ini? Kan, kemarin kata Kak Sera nadanya sudah benar,” katanya dengan kening berkerut. Vika tampak bingung dengan sikapku yang plin-plan.