Jalan Pulang

Widiyati Puspita Sari
Chapter #32

32. Menelusuri Ruang Sembuh

Aku membuka mata dengan rasa tidak nyaman yang menghimpit dada, perasaan takut yang tak bisa dijelaskan, dan sesak yang tak tahu dari mana datangnya. Berharap menemukan secercah kelegaan, aku justru merasakan seluruh tubuhku tertimpa beban tak terlihat, seolah tercekik oleh sesuatu yang tidak tampak.

Udara di kamar ini terasa seperti menekan dadaku, membuat setiap napas terasa sangat berat dan sulit. Jantungku berdebar kencang, lebih cepat dari biasanya, seperti ada alarm bahaya yang berdering di dalam tubuhku tanpa henti. Suara detaknya menggema di telinga, membuatku hampir tidak bisa mendengar apa-apa selain desiran napas yang aku coba atur dengan susah payah.

Aku memaksakan diri untuk bangkit dari tempat tidur, karena hari ini aku harus mengajar salah satu muridku yang jadwalnya paling pagi. Saat aku berdiri, seluruh tubuhku terasa nyeri, seolah baru saja bertarung semalaman. Otot-ototku tegang dan kaku, setiap gerakan kecil membawa rasa sakit yang menjalar. Lengan dan kakiku terasa berat dan sulit digerakkan, seolah mereka bukan milikku. Kepalaku berdenyut dengan teratur, menambah kesulitan napas dalam-dalam yang kuusahakan, dan tidak ada rasa lega yang kurasakan.

Kecemasan semakin menyelimuti pikiranku, ada rasa enggan untuk mengajar. Aku bahkan sudah meraih ponselku untuk membatalkan jadwal mengajarku, namun saat aku ingat bahwa ini adalah tanggung jawabku, aku kembali meletakkan ponselku di kasur.

Aku tidak ingin menyerah, jadi sekuat tenaga, aku memaksakan diriku untuk bergegas menuju kamar mandi, berharap bisa menyegarkan diri dengan membasuh wajahku. Masih ada beberapa jam sebelum jadwal mengajar, dan aku berencana untuk berjalan kaki menikmati udara segar di jalan belakang rumah, yang masih asri dengan petakan sawah, sungai, dan kebun. Dulu rutinitas ini sangat membantu masa pemulihan depresiku, jadi akupun berharap usaha kecil ini bisa mengurangi rasa tidak nyamanku.

Mulai hari ini, aku berkomitmen untuk memulai kembali rutinitas self-healing yang diajarkan oleh beberapa healer yang kuikuti. Mulai dari bangun pagi sebelum matahari terbit, lalu jalan kaki tanpa alas minimal 30 menit, minum air perasan lemon dicampur jahe dan madu, serta mandi dengan air hangat dicampur garam Epsom atau garam laut natural.

Aku sudah berusaha sebaik mungkin, mengikuti setiap langkah dengan teliti, namun perubahan yang kuharapkan tak kunjung datang. Ketika aku mandi dan bersiap untuk mengajar, rasa mual mendalam justru melanda. Muntah-muntah yang kualami membuatku tak bisa menahan kesedihan yang semakin menggerogoti, hingga akhirnya aku hanya bisa terisak. Rasa sakit ini terasa lebih dari sekadar masalah mental—ada sesuatu yang tidak beres dengan fisikku. Terlebih lagi, selama periode sibuk yang lalu, aku sering kurang tidur dan salah makan. Dengan segala ketidakpastian ini, aku merasa perlu memeriksakan diri ke puskesmas, berharap bisa menemukan jawaban tentang penyebab keanehan yang tiba-tiba menyerang tubuh dan pikiranku.

Di momen mengajar, pikiranku seolah diteror oleh ketidakpastian. Kecemasan yang menggerogoti membuat perutku mual dan tenggorokanku kering. Beberapa gelas air mineral yang kuhabiskan seolah tidak memberi efek apapun. Aku mencoba duduk, setelah berdiri dan memberi contoh gerakan menyanyi pada murid, tapi setiap gerakan hanya menambah nyeri dan memicu detak jantungku semakin cepat. Yang biasanya jarang buang air kecil saat mengajar, kali ini aku harus bolak-balik ke kamar kecil dua sampai tiga kali.

Aku yang biasanya sangat menikmati momen mengajar kini hanya bisa menatap jam dengan rasa tak sabar. Anehnya, setelah selesai mengajar, tubuhku yang awalnya terasa nyeri, sakit, dan mual, tiba-tiba berkurang hampir delapan puluh persen. Yang lebih aneh, saat aku memeriksakan diri ke puskesmas, semua hasil tes normal—tekanan darah, gula, semuanya dalam batas wajar. Dokter hanya mengatakan kemungkinan aku kekurangan vitamin B, D, dan magnesium, dan memberi vitamin sambil menyarankan agar aku tidak stres. Meskipun dokter menegaskan jika gejala fisik memberat, aku harus segera ke rumah sakit.

Rasa bingung memenuhi pikiranku, membuatku sulit berkonsentrasi pada pekerjaan atau mencari pekerjaan sampingan. Aku merasa terperangkap dalam ruang sempit tanpa jalan keluar, di mana kecemasan dan ketidakpastian menghantui setiap langkahku. Seperti terjebak dalam kegelapan yang pekat, aku hanya bisa merasakan diriku yang terpuruk dan waktu yang seolah berhenti, membuatku semakin tertekan.

Lihat selengkapnya