Menetapkan untuk berhenti mengajar menyanyi bukanlah pilihan yang mudah. Pekerjaan ini adalah satu-satunya sumber penghasilan tetapku, dan tanpa itu, aku tak lagi memiliki pemasukan bulanan seperti sebelumnya. Mengajar bukan hanya soal uang, tetapi juga soal perasaan aman dan bahagia. Namun, semakin lama aku mengajar, gejala fisik yang aneh semakin sering muncul—tangan gemetar, keringat dingin, jantung berdegup kencang, dan rasa mengganjal di tenggorokan. Bahkan ada saat-saat di mana aku merasa seperti kehilangan kendali atas diriku sendiri. Ketika aku tidak mengajar, semua gejala itu hilang. Tubuhku seolah berteriak menolak pekerjaan ini, namun aku tidak tahu pasti apa yang membuatnya merasa seperti itu.
Aku sudah mencoba berbagai teknik penyembuhan diri: meditasi, terapi holistik, dan ritual-ritual lain yang diklaim bisa menenangkan jiwa. Tetapi, gejala-gejala itu justru semakin sering muncul. Bahkan, setelah berkonsultasi ke dokter, ia hanya bilang aku mungkin stres di tempat kerja dan menyarankan cuti. Tapi apakah benar hanya dengan cuti semuanya akan membaik? Aku terus bertanya-tanya.
Setelah hampir tiga bulan berpikir dan merenung, dengan berat hati aku memutuskan untuk berhenti mengajar. Aku pun mulai menghubungi murid-muridku satu per satu.
“Iya, maaf, Ce. Aku ada pekerjaan lain yang jadwalnya bentrok dengan jam mengajar Vika,” ucapku kepada mama Vika, salah satu orang tua muridku.
“Memang tidak bisa ya, Kak, diselipin gitu? Pasti Vika sedih banget. Selama ini dia selalu nyaman kalau diajarin kamu,” jawab mama Vika dengan nada memohon.
“Ini sementara kok, Ce. Semoga Vika bisa sabar ya. Aku juga berharap bisa kembali mengajar nanti,” jawabku, menyisipkan harapanku sendiri—suatu hari bisa kembali mengajar dengan bahagia, tanpa beban dan ketakutan.
Aku tahu mama Vika kecewa, dan aku pun merasakan hal yang sama. Tapi, memilih untuk melepaskan adalah bagian dari latihan melepaskan kemelekatan—melepas sesuatu yang selama ini mungkin aku banggakan. Satu per satu murid kupamiti. Meski ada perasaan kehilangan, bukan hanya soal finansial, tetapi juga kehilangan sesuatu yang selama ini terasa seperti bagian dari diriku. Namun, ada juga rasa lega yang sulit dijelaskan, seolah-olah aku sedang memberi ruang bagi diriku sendiri untuk beristirahat.
Aku teringat, pertama kali aku mengalami depresi, saat aku dulu memutuskan resign dari salah satu tempat kursus menyanyi, tubuhku juga perlahan pulih dari nyeri yang terus-menerus. Mungkin, kali ini pun aku akan kembali pulih.
Seharusnya, di saat seperti ini, aku segera menghubungi Bu Diah untuk menjadwalkan konsultasi. Tapi aku tetap enggan melakukannya. Entah kenapa, untuk sekadar keluar rumah saja terasa seperti perjuangan melawan ketakutan yang tak beralasan. Meminta tolong pada anggota keluarga untuk mengantar? Tidak ada yang menggubris. Mereka tahu bagaimana aku muntah-muntah setiap kali mau berangkat mengajar. Semua diam, tidak ada raut kuatir, termasuk Bapak. Semua orang terlalu sibuk dengan urusan masing-masing; tak ada satu pun yang bisa kumintai bantuan. Atau mungkin, mereka memang enggan sejak dulu.