Tiga tahun yang lalu, bahkan di tahun-tahun sebelum itu, saat aku memutuskan untuk masuk Sekolah Menengah Atas daripada Sekolah Menengah Kejuruan, aku yakin bisa masuk ke perguruan tinggi. Tapi kenyataan tak sesuai harapanku. Sekarang, setelah lulus sekolah, meskipun aku mendapatkan beasiswa, Ibu tetap saja tidak memberi izin. Berkali-kali aku memohon dengan segala keyakinan yang kupunya, tapi jawabannya tetap tidak.
Sekarang, di sinilah aku, menangis di dalam kamar, meratapi semuanya. Kesedihan ini begitu dalam, seperti jurang tak berdasar yang menelanku perlahan. Air mata jatuh membasahi pipi, tanpa suara. Perasaan kecewa, marah, dan putus asa menggelayuti pikiranku, membuatku semakin terbenam dalam kegelapan yang kubuat sendiri.
"Jangan di kamar saja, Ra! Keluar sana, cari kerja! Anak lain itu habis lulus sekolah, sibuk melamar sana-sini. Kamu malah mengurung diri di kamar, malas-malasan!" Suara Ibu terdengar dari luar pintu kamar, sepeerti biasa, selalu penuh amarah dan ketidaksabaran.
Aku tidak ingin berdebat lagi. Ibu selalu menuntut hasil, tetapi saat diminta terlibat dalam prosesnya, dia lepas tangan. Tidak mau bertanggung jawab. Padahal Ibu harusnya tahu, melamar pekerjaan itu juga butuh uang. Harus beli kertas, amplop cokelat, belum lagi kalau memerlukan SKCK. Itu semua butuh ongkos. Kalau aku mau berhemat, aku harus membuat banyak lamaran sekaligus dalam satu kali jalan. Sedangkan kalau aku minta uang pada Ibu, jawabannya selalu sama, “Makanya, usaha!”
Dia tak pernah tahu, atau mungkin pura-pura tak tahu, kalau kebanyakan orang lain yang melamar pekerjaan didukung secara finansial. Mereka diantar ke tempat tujuan oleh orang tua mereka. Sementara aku? Aku diminta berjuang sendiri tanpa diberi bantuan sedikit pun.
Sudah beberapa hari aku mengurung diri di dalam kamar. Aku melihat uang di dompet yang hanya tersisa dua puluh ribu rupiah. Aku memandangnya cukup lama, menimbang-nimbang bagaimana memanfaatkannya. Jika uang ini kupakai untuk melamar kerja, uangnya akan habis, dan belum tentu aku langsung mendapat pekerjaan. Setelah berkali-kali melamar, ujung-ujungnya tidak ada panggilan. Kalaupun ada panggilan wawancara, hasilnya tidak selalu diterima. Pernah ada satu yang diterima, tapi harus membayar sejumlah uang sebagai jaminan.Tentu aku tak mampu memenuhi syarat itu. Jangankan uang jaminan, untuk ongkos angkutan umum saja aku pas-pasan. Sering kali aku harus berjalan kaki untuk pergi melamar kerja.
"Kalau nggak kerja, nggak usah makan!" Suara Ibu memotong lamunanku lagi. "Atau pergi ke pasar sana, belanja, masak buat orang rumah! Percuma Ibu sudah keluar uang banyak, ujung-ujungnya kamu menganggur." Lagi Ibu mengomel
Aku tahu kebiasaan Ibu, jika aku diam, dia akan terus memancing emosiku. Tapi aku sudah terlalu lelah untuk membalas. Aku bangkit dan pergi ke kamar mandi, berharap air dingin bisa sedikit mendinginkan kepala dan membantuku berpikir jernih.
Tak lama kemudian, terdengar suara Bu Nani dari arah ruang tamu. "Assalamualaikum!” ucap beliau sembari mengetuk pintu.
Aku merasa Ibu tidak ada di rumah, jadi aku membukakan pintu dan mempersilakan Bu Nani masuk. "Waalaikumsalam, Bu.”
“Ibunya ada, Mbak?”
“Sepertinya Ibu masih keluar ke warung, Bu. Silahkan masuk dulu."