Rasanya aneh berada di sini lagi, duduk di deretan kursi gereja setelah sekian lama absen dari ibadah Minggu. Lagu-lagu pujian berkumandang, melodinya masih akrab di telinga, tetapi terasa asing di hati. Suara musik yang dulu menggetarkan setiap sudut gereja kini hanya meninggalkan gema yang hampa. Jemaat tetap bersemangat, tangan-tangan terangkat tinggi, mata terpejam khusyuk, beberapa terlihat menangis tersentuh. Namun, aku hanya duduk diam, merasakan kehampaan yang mencekam. Seperti ada dinding kaca yang memisahkanku dari mereka, memisahkan aku dari momen ini.
Di sekitarku, orang-orang tampak hidup dalam pujian mereka, tapi aku merasa seperti roh yang terperangkap dalam tubuh yang beku. “Kapan ibadah ini selesai?” pikirku, merasa jenuh, dadaku berat menanggung kehampaan yang entah dari mana datangnya. Seharusnya, di sini aku merasa damai, tapi mengapa yang kurasakan justru sebaliknya?
Pemimpin pujian akhirnya memanggil pendeta untuk naik ke mimbar. Suasana sedikit berubah; ada kelegaan tipis yang menjalar. Namun, rasa takut tetap bersemayam. Keringat dingin membasahi telapak tanganku saat pendeta memulai khotbahnya. Kepanikan datang tak diundang, menjalari setiap sarafku. Nafasku sesak, seolah ada beban tak kasat mata yang menindih dadaku.
Aku menoleh ke Abid yang duduk di sebelahku. Ia memandang dengan sorot mata cemas, mungkin ia mengerti apa yang sedang terjadi padaku. Aku berusaha mengatur napas, mencoba menenangkan diri, tetapi perasaan itu terus mencengkeram. “Tuhan, tolong, jangan sekarang,” bisikku dalam hati, memohon ketenangan yang tak kunjung datang. “Apakah aku bahkan tidak bisa merasa damai di sini, di rumah-Mu?”
“Kemenangan atas Kesesakan,” kata pendeta membuka khotbahnya, suara yang seketika mengusik pikiranku. Kata-katanya seperti menyentuh sisi terdalam jiwaku yang sedang bergulat dengan ketakutan. “Kita seringkali menginginkan hidup yang mudah, bukan? Uang berlimpah, kesehatan, kebahagiaan tanpa ujung,” lanjutnya dengan senyum kecil, “Tapi, hidup kita ada dalam rencana Tuhan. Ada masa-masa sulit yang diizinkan Tuhan untuk memurnikan iman kita.”
Aku terdiam, memproses setiap kalimat yang diucapkan pendeta. Mungkin benar, selama ini aku lebih memilih menghindari ketidaknyamanan daripada menghadapi masalahku. Kecemasanku mulai mereda perlahan, meski tidak sepenuhnya hilang. Entah kenapa, khotbah yang terasa lebih panjang dari pujian dan penyembahan justru berlalu lebih cepat. Mungkin, karena kali ini pesannya mengena padaku.
Setelah ibadah selesai, kami diundang ke rumah salah satu jemaat untuk doa syukur. Tubuhku kembali gelisah; sensasi ketidaknyamanan muncul berulang.
“Aku pulang dulu ya, Bu, enggak usah ikut.” kataku pada ibu, berharap ia mengerti.
“Sebentar saja, kamu harus ikut, demi sopan santun, enggak enak kalau enggak datang,” desaknya. Aku mengangguk lesu, menurut saja.
Di rumah jemaat itu, kecemasan kian mencekik, bahkan kali ini lebih hebat. Perutku mendadak seperti dipenuhi gas. Tubuhku gemetar. Aku mencoba bertahan, tapi otakku seakan memberi sinyal bahaya. Aku tahu, ini adalah reaksi traumatis tubuhku yang takut sesak napas. Tapi, lagi-lagi aku selalu gagal menyakinkan diriku sendiri kalau semuanya akan baik-baik saja.
“Bu, aku pulang dulu ya, enggak enak badan,” kataku akhirnya, tidak tahan lagi.
“Ya sudah kalau itu mau kamu.” Ibu menghela napas panjang, tidak mau merayuku lagi.