Jalan Pulang

Widiyati Puspita Sari
Chapter #36

36. Membuka Setiap Luka yang Terpendam, Memutus Rantai TraumaTrauma

 

           Akhirnya, aku membuat keputusan. Memaksakan diri untuk berani menghadapi ketakutan ini. Selama bertahun-tahun, aku menjadi tawanan rasa sakit dan dendam yang menggerogoti tanpa kusadari. Jika aku ingin sehat, aku harus menyelami rasa sakitku, menerimanya, dan perlahan melepaskannya.

           Esoknya, dengan tekad yang baru, aku memutuskan untuk benar-benar menghadapi masa lalu yang menghantuiku. Aku mengambil jurnal dan mulai menulis semua perasaan yang pernah terkubur dalam. Setiap kalimat yang kutulis mengalir seperti air yang membasuh luka lama. Aku tahu ini baru permulaan, tapi aku siap.

           Aku akan menempuh jalan ini, menghadapi ketakutanku satu per satu, tidak peduli seberapa sulitnya. Hari ini adalah langkah pertama. Aku bahkan berjanji ke diri sendiri, untuk tidak mudah menyerah bagaimanapun prosesnya. Karena aku percaya, di ujung jalan ini, aku akan menemukan diriku yang baru — yang lebih kuat, lebih berani, dan akhirnya... bebas.

           Sesuai saran dari Hana, untuk memulai proses menyelami luka bawah sadar, aku tidak hanya harus mempersiapkan diri, tapi juga meluangkan waktu yang tidak boleh diganggu oleh apapun dan siapapun. Kini, aku duduk bersila di atas kasur, di samping diffuser yang menghembuskan aroma terapi  lavender yang menenangkan. Aku mulai memejamkan kedua mataku, meresapi kesunyian. Proses ini seperti meditasi, tapi bedanya, aku memposisikan diri sebagai pihak ketiga—mengamati setiap perubahan, tidak hanya di pikiran, tapi juga sensasi yang muncul di tubuh fisik.

           Di lima menit pertama, aku merasa ada yang menekan dadaku. Berat. Seperti beban yang ditindihkan dari dalam, tepat di tengah. Aku berusaha untuk tetap tenang, mencoba menjadi pengamat yang netral. Aturannya adalah, saat muncul sensasi apapun di fisik, aku harus berterima kasih atas kehadirannya.

           "Terima kasih tubuhku untuk rasa tertekan di dada yang muncul," gumamku, meskipun ada keraguan yang menggelitik pikiranku. Benarkah ini akan berhasil? Aku tetap melanjutkannya.

           Rasanya begitu asing, berusaha berbicara dengan tubuh sendiri. Tapi, aku percaya pada Hana. Semua ini adalah bagian dari proses sembuh itu sendiri.

            "Sekarang, apa yang ingin kamu sampaikan?" tanyaku dengan lembut, berharap jawaban akan datang dari dalam.

           Namun, menit-menit berlalu dalam keheningan. Tidak ada memori yang muncul, tidak ada penglihatan, hanya rasa tertekan di dada yang semakin menyakitkan. Napasku semakin berat. Aku membuka mata, merasakan kepanikan mulai menyerang. Segera aku membaringkan tubuhku, mencoba teknik TFT yang pernah kupelajari untuk menenangkan diri. Aku mengetuk-ngetuk area dada lalu menggoyangkannya. Perlahan, kepanikan mulai mereda, tapi rasa kecewa mengintip dari balik kelegaan itu.

           “Apa beban emosiku terlalu banyak?” gumamku sembari menghela napas panjang. Aku bangkit, meneguk air putih yang kuraih dari meja samping. Ketika rasa dingin air itu menyentuh bibirku, pikiranku tiba-tiba tertuju pada Mbah Uti. Sosok yang selalu menghantui masa kecilku dengan kata-katanya yang tajam dan sikapnya yang tak adil.

Sebenarnya, Mbah Uti meninggal beberapa bulan setelah menuduhku suka mengadu, dan membuat lukaku makin dalam. Kematiannya saat itu tidak membuatku sedih ataupun bahagia; hanya kosong. Namun kini, ketika ingatan tentangnya kembali muncul, ada sesuatu yang lebih dalam.

           Rasa sakit.

           Memori perlakuan Mbah Uti—dari aku kecil hingga dewasa—datang seperti banjir. Kata-katanya yang selalu menyudutkanku, tatapan mata yang membuatku merasa menjijikkan dan tidak diinginkan selalu berhasil membuatku merasakan sesak.

            Aku kembali duduk bersila, memejamkan mata lagi, mencoba menghadapinya. “Terima kasih sudah membuka memori menyedihkan ini bersama Mbah Uti,” bisikku di tengah tangis yang tak bisa kutahan.

           “Hari ini, izinkan aku melepaskan semua rasa itu, rasa yang tidak sepatutnya terpendam dalam diriku.” Aku mengatur napasku yang kian sesak beberapa saat.

Lihat selengkapnya