Proses membuka luka lama selalu berakhir dengan gejala yang tak terduga. Kemarin, aku merasa tubuhku seperti memberontak; diare dan sedikit demam datang menyerang. Para healer menyebut ini sebagai healing crisis—proses di mana tubuh bereaksi terhadap usaha seseorang untuk mengembalikan keseimbangannya. Tubuh menerima perintah itu dengan cara memperbaiki dan menyembuhkan diri sendiri. Aku hanya bisa berbaring lemah di kamar, menunggu krisis ini berlalu.
Aku melangkah keluar kamar dengan tubuh yang masih terasa lemas. Rasanya seperti berjalan di atas awan yang berat.
“Makan dulu, Ra,” suara Ibu terdengar pelan, hampir ragu. Kupikir setelah sikapku kemarin, Ibu akan mendiamkanku, nyatanya tidak.
Aku hanya mengangguk, tak mampu berkata apa-apa.
“Ibu masak sop kesukaan kamu,” lanjutnya, nada suaranya lebih lembut dari biasanya.
Kata-katanya menghantam hatiku seperti gelombang. Seketika, air mataku menggenang. Aku terharu. Benar kata Hana, pasti Ibu juga menjalani hidup yang tidak mudah. Selama ini aku tidak pernah tahu, kalau hidupnya pun berat. Apalagi, tadi pagi, saat aku terbangun, memandang langit-langit kamar, aku kembali melihat cuplikan film di benakku—fragmen hidup yang tak pernah kulihat begitu jelas sebelumnya.
Di cuplikan itu,
Ibu tampak lebih muda, sedang berdiri di hadapan Bude, kakak perempuan Bapak. Wajahnya menyiratkan kebingungan dan kecurigaan.
“Surat dari siapa itu, Mbak? Kok menyebut nama Mas?” tanya Ibu dengan nada penuh tanya, matanya mengamati Bude dengan seksama.
“Oh, bukan. Ini surat buat saya kok,” sahut Bude gugup. Terlihat jelas bahwa ada sesuatu yang disembunyikannya.
“Saya boleh lihat, Mbak?” pinta Ibu, suaranya semakin mendesak.
Bude menolak, tapi Ibu terus memaksa. Akhirnya, dengan tangan yang gemetar, Bude menyerahkan amplop berwarna putih dengan perangko yang tampak sudah lama.
Begitu Ibu menerima surat itu, tangannya ikut bergetar. Namanya tertera di amplop, tapi yang tertulis di dalamnya adalah nama seorang wanita yang ditujukan kepada Bapak.
Ibu berjalan cepat menuju kamarnya. Dengan tergesa-gesa, ia merobek amplop dan membaca isinya. Detik itu juga, air matanya jatuh tak tertahankan.
Tiba-tiba, Bapak muncul di pintu kamar. “Kenapa, Dek?”
Ibu hanya bisa mengangkat surat itu dan melemparnya ke arah Bapak. “Kalau tahu ada wanita lain yang kamu janjikan, buat apa aku hamil seperti ini? Susah payah, mual setiap hari, dibuang sama keluarga sendiri!” Isak tangisnya semakin keras, dan kata-katanya dipenuhi kepahitan yang mendalam.
“Aku sudah tidak ada hubungan dengan dia lagi, Dek. Itu sudah lama sekali. Sekarang kan aku pilih kamu,” jawab Bapak dengan nada menenangkan, mencoba mendekat.