Angin sore yang dingin menyapu lembut, menggoyangkan dahan-dahan pohon di kiri-kanan jalan setapak yang sempit dan berliku. Rumput liar tumbuh tak beraturan di tepiannya, seolah menantang setiap langkahku. Ini pertama kalinya aku ke sini. Ketika Mbah Uti meninggal, aku bahkan tidak ingin melihatnya untuk terakhir kali, apalagi mengunjungi makamnya.
Ibu pernah bercerita tentang percakapan terakhir Mbah Uti beberapa hari sebelum kepergiannya. “Kira-kira kalau aku meninggal, Sera mau datang ke pemakamanku tidak ya?” Seolah Mbah Uti sudah tahu betul betapa dalam luka yang ditinggalkannya, sampai-sampai ia merasa perlu bertanya tentangku.
Tak pernah terbayangkan sebelumnya aku akan berdiri di sini, di pemakaman Mbah Uti. Dalam pikiranku, setelah Mbah Uti pergi, semuanya sudah selesai. Aku tidak perlu lagi memikirkan apalagi mengingatnya. Aku tidak membencinya, tetapi aku juga tidak ingin memaksakan diri untuk menyayanginya.
Namun, pilihanku ini sepertinya menyisakan luka yang tidak terlihat, seperti monster yang menggerogoti dari dalam. Setelah sekian lama menunda, aku akhirnya memutuskan untuk menyelesaikan ini. Ada dorongan kuat dalam diriku untuk bertemu Mbah Uti, meski sudah berwujud nisan dan tanah basah.
Aku menggenggam erat keranjang anyaman berisi bunga melati dan mawar, seolah-olah bunga ini bisa memberiku keberanian. Bau tanah lembab bercampur dengan harum bunga menciptakan aroma yang asing, mengusik ingatanku. Pikiranku berkecamuk, jantungku berdegup kencang—seolah aku menghadapi seseorang yang sangat penting atau mungkin hanya takut menghadapi perasaanku sendiri.
Langkahku terhenti di depan nisan Mbah Uti. Nisan-nisan tua yang kusam berjejer di sampingku, seolah menjadi saksi setelah saling bercerita tentang hidup yang telah berlalu. Matahari mulai tenggelam, memberikan semburat oranye pada batu-batu nisan yang diam membisu. Dadaku seketika terasa sesak.
“Mbah, maaf baru kali ini aku datang,” gumamku, air mata tak tertahan mengalir di pipiku. Aku sengaja datang sendirian, sementara anggota keluarga lain memilih menunggu di pos depan pemakaman.
Aku meletakkan bunga melati dan mawar yang kubawa di atas makam, berharap aromanya bisa menembus tanah dan menyampaikan penyesalanku. Aku memandangi nisan itu, berusaha menemukan kata-kata yang tepat. Namun, seperti ada sesuatu yang menahan lidahku.
Angin bertiup lebih kencang, seolah merespons kegundahanku. Suara dedaunan yang berdesir semakin kuat, seperti bisikan yang datang dari segala arah. Hatiku terasa melorot, seolah ada sesuatu yang mengawasi. Aku menoleh ke belakang. Tidak ada siapa-siapa, hanya pepohonan tua yang bergoyang tertiup angin.
“Mbah Uti, aku berharap Mbah Uti bisa mendengarku,” suaraku pecah di antara isak tangis.
“Maafkan Sera, Mbah. Pasti sulit hidup Mbah selama di dunia ini, sehingga yang keluar dari mulut Mbah bukanlah cinta kasih, melainkan kata-kata yang menyakitkan hati.”
Aku berbicara seolah Mbah Uti masih di sini, dan kata-kataku bisa menembus dimensi waktu dan ruang. “Sera datang ke sini tidak hanya untuk meminta maaf, tapi juga untuk melepaskan semua rasa sakit yang secara tidak sengaja Mbah Uti beri kepadaku.”
“Mbah Uti harus bahagia di sana, ya. Sera juga janji akan bahagia dan tidak lagi menyimpan rasa sakit hati yang selama ini Sera sembunyikan rapat-rapat dalam kebencian.”
“Biarlah semua trauma antar generasi ini berhenti di aku ya Mbah Uti, sehingga nanti keturunan Sera dan seterusnya tidak lagi mewarisinya.”
“Terima kasih sudah menjadi guru terbaik bagiku ya Mbah Uti, walaupun aku baru menyadarinya sekarang.” Tangisku kian pecah.
Hening. Hanya ada deru angin dan bunyi daun-daun kering yang bergesekan. Aku menutup mataku sejenak, berdoa dengan segenap hati untuk tempat terbaik Mbah Uti. Perlahan, rasa sesak di dadaku memudar, digantikan oleh rasa lega yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Aku membuka mata, dengan sisa air mata yang membasahi pipiku, kemudian tersenyum lebar ke arah batu nisan Mbah Uti, sambil menaburkan bunga yang tersisa.