Jalan Setapak Chalondra

dhsers
Chapter #2

#1 Si Kecil, Chalondra

Mata Chalondra terbelalak berfokus ke sudut kamar. Bagian kamar yang minim pencahayaan karena terhalang almari.

Di sana, berdiri sosok Harry Singgih Yogaswara. Tangan kirinya memegangi sebilah pisau yang tertancap di perutnya, sedangkan tangan kanannya melambai kepada Chalondra, seolah hendak menjangkaunya.

“Tolong .…” Lemah dan hampir tidak terdengar, suara Singgih meminta pertolongan Chalondra yang tengah bergidik.

Pikiran Chalondra tengah terbelah antara ingin menolong kakak kesayangannya atau kabur meninggalkan kamar.

Separuh otaknya mengirimkan pesan bahwa kakaknya itu sudah meninggal.

“Ddiiiikk .…” Kembali terdengar rintihan Singgih yang menyayat hati.


“TIDAAAKK!” Chalondra berteriak nyaring dalam tidurnya.

Di kamar sebelah, Bobby meloncat kaget dari dipannya. Bergegas didatangi ruang tidur putrinya. Tergopoh ia meraih tombol saklar lampu.

Dilihatnya Chalondra menggeliat-liat dalam selimut. Keringat tampak menghiasi keningnya. Napasnya berat, dengan mulut menggumankan sesuatu yang tidak jelas.

“Sayang … bangun, Nduk!” Bobby berusaha mendapatkan kesadaran Chalondra, “Londra, ayo bangun!” Tangan Bobby mengguncang pelan bahu anak gadisnya itu.

 “Ada apa? Mimpi buruk lagi?” Esther memasuki kamar. Tangan kanannya memeluk perut, sedang kiri mengelus pelan lehernya.

Tidak menjawab, Bobby tengah sibuk mendekap putrinya yang sudah terbangun. Kini sedang terisak.

“Bentar, Mama buatkan minuman hangat, ya,” ujar Esther dan berlalu ke arah dapur.

Tahun ini Chalondra genap dua belas tahun. Bulan depan seragam putih merahnya sudah menjadi putih biru.

Usia yang menyenangkan seperti bunga-bunga mekar di kebun— penuh warna.

Namun, Chalondra adalah bunga yang unik. Hanya tumbuh di pinggir taman, tanpa ada pemerhatinya. Dia adalah bunga putri malu.

Penuh duri dan pendiam.

****


Ruangan tiga kali tiga meter itu tidak ubahnya kapal sedang dirampok bajak laut. Mainan berserakan menutupi hampir seluruh lantainya.

Tampak seorang gadis kecil sebagai pusatnya, tengah asyik memainkan puzzle. Jemarinya aktif memindahkan potongan demi potongan. Terkadang dia berhenti sejenak hanya untuk memeriksa hasil pekerjaannya. Jika dirasa belum pas, tidak segan dilepaskannya kembali potongan puzzle yang telah tertata.

Tidak disadarinya kehadiran seorang anak lelaki mendekatinya.

Lihat selengkapnya