Jalan Setapak Chalondra

dhsers
Chapter #3

#2 Hadiah Ulang Tahun Terburuk

24 Juli 2011.

“Sayang, hari ini Papa dan Mama sudah menyiapkan pesta ulang tahunmu di gereja,” ujar Bobby.

“Kita sengaja ambil jam ibadah sore, agar kamu bebas mengundang temanmu juga,” imbuh Esther.

Gereja keluarga Chalondra adalah gereja Protestan beraliran karismatik, dengan jemaat yang lumayan banyak. Ada dua kali ibadah setiap Minggu, pagi dan sore hari.

Kebanyakan jemaat lebih memilih pagi hari. Selain suasana masih segar, juga tidak menjadi penghalang jika akan melakukan aktivitas lain sesudahnya.

Sore hari biasanya sangat sedikit jemaat yang menghadiri ibadah. Namun, ada juga yang setia datang, terutama mereka yang berkerja di toko, karena tidak mendapat libur di hari Minggu.

“Iya, Pa,” jawab Chalondra, “terima kasih, Ma … Pa,” imbuhnya sambil memeluk Bobby dan Esther.

Diciumnya wanita yang telah melahirkannya sepuluh tahun yang lalu itu. Tangan Bobby meraih dua wanita dalam hidupnya itu. Merengkuh dalam dekapan bahu lebarnya. Singgih tersenyum menyaksikan pemandangan indah di depannya.

“Dik, nanti Mas antar, ya.” Sambil bergaya, Singgih memutar-mutar kunci motornya, menawarkan jasa antar kepada Chalondra.

Tahun ini usianya genap 18 tahun. Kartu Izin Mengemudi pun telah berhasil ia kantongi.

Motor bebek 4-tak, yang terparkir di garasi saat ini adalah hadiah ulang tahunnya, dua bulan lalu.

Selain dirasa sudah memenuhi syarat, motor itu juga dibutuhkan sebagai mobilitas dirinya pergi kuliah tahun ajaran yang baru nanti.

“Harus dong.” Chalondra menghapiri remaja jangkung tersebut dan melingkarkan tangan ke lehernya, sedang tangan satunya berteger di pinggul. “Gimana? Kece ‘kan gayaku?”

Bobby dan Esther tertawa diikuti tangan Singgih yang mengacak-acak rambut lurus Chalondra. Terdengar jeritan protes Chalondra. Sejurus kemudian acara kejar mengejar pun terjadi. Jika saja Bobby tidak mengingatkan waktu terus berjalan, pasti dua kakak beradik itu belum mau berhenti.

Perayaan ulang tahun sederhana Chalondra sudah selesai. Waktu masih menunjukkan pukul 20.30. Masih terlalu sore untuk para jiwa muda meletakkan kepalanya di pembaringan.

Chalondra meminta agar Singgih dapat membawanya berkeliling naik motor. Menghabiskan sisa malam di hari lahirnya.

Udara malam ini agak sejuk. Itu karena bekas hujan sore tadi. Entahlah mengapa masih ada saja hujan di bulan Juli—bulan kemarau.

Sungguh Chalondra sangat menikmati setiap kilo meter yang dilaluinya.

Bersandar manja di punggung Singgih, terkadang ia mengangkat bokongnya, dengan posisi setengah berdiri merenggangkan kedua tangannya, menengadah ke langit, “Yyeee …!” serunya bahagia.

Singgih hanya membiarkan kelakuan konyol adik semata wayangnya itu.

Lihat selengkapnya