Jalan Setapak Chalondra

dhsers
Chapter #4

#3 Andai Waktuku Terhenti Bersamamu

Chalondra tidak bisa berhenti menangis. Tidak dinyananya jika kakak tersayang harus meregang nyawa dalam pelukannya.

Selama tiga hari ia mengurung diri dalam kamar. Chalondra menolak segala upaya keluarga untuk menghiburnya. Juga upacara pemakaman Singgih, dia lewatkan begitu saja.

Ia tidak mau melihat tubuh kaku kakaknya terbaring dalam peti kayu beraroma Eau De Cologne itu.

Dalam kamar ia sibuk menyesali segalanya.

Jika saja dia tidak diantar oleh kakaknya.

Jika saja mereka langsung pulang setelah pesta usai.

Jika saja mereka menempuh jalan biasanya, walaupun itu berarti tiba lebih lambat.

Jika saja dia bisa membantu kakaknya saat berduel maut.

Jika saja dia lebih cepat menelepon orang tuanya untuk segera datang, dan bukannya sibuk menangisi kakaknya

Jika saja—

Kini ia mengerti, mengapa ada hujan di bulan Juli. Mengapa ada mendung di hari ulang tahunnya.

****

“Sudah tidur Pa, si Londra?” bisik Esther ketika melihat suaminya muncul di kamar tidur.

“Syukurlah tidak berlangsung lama ….” Bobby menjawab sambil menghempaskan tubuhnya kembali ke ranjang, “yang lalu hampir setengah jam dia menangis.”

“Kita tidak bisa memaksanya untuk melupakan Singgih, mereka sangat dekat,” komentar Esther seraya ikut membaringkan diri di sebelah suaminya. Sorot matanya mengisyaratkan kepedihan.

“Iya, Ma, walaupun ini sudah dua tahun berlalu,” timpal Bobby. “Yuk kita istirahat. Besok masih banyak hal yang menanti.”

Esther berbalik membelakangi lelakinya. Lelehan hangat membasahi bantal. Setiap tetes yang ia keluarkan, berbau kerinduan yang dalam.


Sepasang suami istri itu telah terlelap ditelan lelah mereka. Suasana rumah kembali sunyi. Detak jarum jam berbunyi lebih nyaring di tengah keheningan itu, menemani derai air mata tanpa suara yang meleleh di pipi Chalondra, dari balik selimutnya.

Chalondra sayang, Chalondra malang. Ibarat mawar yang bergerak untuk mekar. Ia merekah dengan enggan. Memilih bersembunyi di balik bayangan kelam. Terjerat tipu daya masa lalu yang membelitnya, menyulitkannya bergerak.

Namun, itu adalah pilihannya. Pilihan untuk menolak melupakan tragedi Singgih dan menyimpannya jauh dalam hatinya sebagai trauma.

Tidak ada lagi energi tersisa dalam hidupnya. Semua aktivitasnya mengingatkan kepada sosok kakaknya yang sangat ia kagumi. Hal itu lalu membuat ia menghentikan segalanya.

Memilih diam di dimensinya sembari berharap akan bisa mengulangi masa lalu.

Hilang sudah senyum lebar ciri khas seorang Chalondra. Tidak ada lagi lesung pipit kebanggaannya.

Lihat selengkapnya