Jalan Setapak Menuju Rumah

Rafael Yanuar
Chapter #11

Gereja di Tengah Ladang

Konon, saat senja, seluruh kota disinari cahaya dari masa lalu.


 

Matahari hanya menyisakan semburat jingga ketika Kak Farah melangkah menyusuri jalan setapak. Bulir-bulir padi membentang di sisinya, jemari angin membelai rambutnya. Waktu merona bagai batang pari yang matang—serasi dengan lembayung yang bermekaran di ufuk. Malam sebentar lagi tiba, menaburkan sejuk di sela senyap. Detik-detik menolak bersuara. Sunyi semata.

Dipenuhi perasaan tenteram, Kak Farah melangkahkan kaki, setapak demi setapak, setahap demi setahap. Dahan-dahan pepohonan melambai dimainkan angin. Pada pokok kayu dan daun-daun, matahari menciptakan bayang-bayang. Segala yang disentuh cahayanya menjadi menyerupai panorama pada sebuah potret tua.

Saat berjalan menikmati hamparan persawahan di senja yang ranum ini, adakalanya Kak Farah ingin mengabadikan segalanya dalam berlembar-lembar foto saja, bukan dengan pensil dan kertas. Tetap saja, dia memeluk buku sketsanya dengan antusias, dan melangkah tak sabar, menuju suatu tempat yang sudah lama ingin dilukisnya.

Rembulan mulai menggantikan matahari, meski belum benar-benar terang cahayanya—masih pucat bagai tembus pandang, nyaris tanpa warna. Kabut mengisi udara, meredupkan suara lonceng di kejauhan. Karena dingin mulai menyongsong, dia merapatkan jaket merahnya dan menudungi kepalanya. Di suatu jarak, dia melihat seorang perempuan berjalan dengan langkah ringan dan pelan. Perempuan itu membawa sepeda, tapi menuntunnya perlahan, bukan mengayuhnya, mungkin ingin menikmati panorama indah yang kini terlukis di hadapannya. Karena mengenalnya, Kak Farah menghampirinya.

”Hai, hai!”

“Hai. Halo, Farah.“

“Halo, Kak Peri.”

“Mau ke mana?” Peri berhenti mengayun langkah dan menunggu.

Kak Farah berlari kecil, lalu mengangkat bukunya dan menceritakan rencananya melukis Gereja.

“Gereja di Tengah Ladang?” tanya Peri.

“Kakak tahu?”

Peri mengambil sesuatu di tasnya, dan memakainya di kepalanya. Mantila.

“Aku ingin mengunjunginya juga. Berdoa sebentar sebelum pulang.”

“A-aku mau melukis,” Kak Farah menutup bibirnya dengan buku. “Aneh, ya—malah melukis di Gereja.”

Peri menggeleng, lalu melepas lagi tudung putih yang baru saja dikenakannya. Setelah menyibak hoddie merah yang menghangatkan kepala Kak Farah, Peri memakaikan mantila itu padanya. Rona merah segera merekah di pipinya ketika Peri menatapnya. “Melukis juga berdoa. Segala yang melahirkan kebaikan adalah doa, dan aku yakin gambarmu adalah salah satunya. Aku senang melihatnya, karena kamu selalu melukiskan kedamaian di sana. Aku hanya bisa berdoa dengan kata-kata, sementara kamu berdoa dengan warna. Bayangkan kalau Tuhan tidak menciptakan warna dan hanya kata-kata?”

Kak Farah tertawa kecil karena tidak tahu harus menjawab apa. Dengan langkah pelan, dia berjalan di samping Peri dan melihat wajahnya yang selalu tersenyum meski tak sedang tersenyum. Senja yang menyemburat di angkasa seolah menyimpan jingganya di mata Peri yang tak kalah meneduhkan. Tidak ada yang menghitung jumlah langkah yang terayun, tapi akhirnya yang dituju terlihat juga.

Lihat selengkapnya