Duduklah dengan nyaman, Sayang,
dengarkan aku bercerita
Syahdan, di bukit belakang sekolah, di samping sungai dangkal berair jernih, berdirilah sebuah pondok yang semula dihuni para pertapa. Tentu saja, selain yang aku sebutkan, tersebar pula desas-desus lain bagaimana ia bisa ada di sana. Ada yang mengatakan, “Ini pasti gudang tua!” “Bukan, ini gubuk manusia purba!” “Rumah pemancing?” hingga yang lumayan ekstrem, tapi paling disukai teman-teman kecil kita, “Sudah jelas. Ini markas bajak laut."
“Oke, itu enggak mungkin,” Kuning membetulkan letak kacamatanya, lalu mengeluarkan kaca pembesarnya, entah untuk apa. “Karena pantai terdekat jaraknya—sebentar aku hitung dulu,” dia merapatkan bibir, menerawang sedikit, dan menopang dagunya dengan sidik jempol, “Kalau ditempuh pakai bus, sekitar lima jam perjalanan.”
“Tapi kan bisa saja,” Biru memprotes.
“Eits, no no no,” Kuning menutup bibirnya dengan telunjuk sebelum dia melanjutkan, “Dokter Watson, dilihat dari mana pun, markas kita enggak mungkin punyanya bajak laut. Sesuatu yang mustahil tetap saja mustahil meskipun menggoda untuk dipercaya.”
“Oke, Sherlock.”
“T-tapi, kata mama, tidak ada yang mustahil,” Merah ikut berpendapat.
Kuning memandang adiknya yang mengenakan baju merah purna, tanpa gambar apa pun. Dia melompati meja dan membelai-belai rambut Merah tanpa menyanggah. “Iya, iya, enggak ada yang mustahil. Persis lagu gereja.”
Iya, iya. Aku sendiri heran kenapa si Kuning tidak memprotes gubuk manusia purba. Mereka, ‘kan, tinggalnya di goa.
Tapi lupakan perdebatan itu, karena sekarang, pondok ini sudah jadi markas Biru, Kuning, dan Merah—tiga anak Sekolah Dasar yang tergabung dalam “Kelompok Pelindung Kota”. Tetapi, nantinya mereka lebih sering disebut "Panda Jawa", seperti yang tertulis dan tergambar di panji depan pondok—panda berblankon.
Nah, agar tidak bingung, aku ingin mengenalkan seperti apa teman-teman baru kita ini.
Hampir setiap hari, Biru, Kuning, dan Merah memakai baju dengan warna yang sama. Biru memakai baju biru. Kuning memakai baju kuning. Dan Merah memakai baju merah. Tentu saja, ada kalanya mereka kehabisan stok dan memilih pakaian dengan warna-warni lain, seperti kaos putih dengan sedikit titik biru, atau busana pusparona yang hanya mempunyai senoktah bercak kuning, tapi jangan didebat! Kuning dan Biru akan mati-matian memaksa siapa pun mengakui bahwa baju yang mereka pakai memang kuning dan biru.
Merah selalu konsisten, karena dia sangat bangga dengan ke-Merah-annya.
Biru adalah gadis kecil berambut panjang yang selalu mengenakan topi lemas tukang becak. Kakaknyalah, Farah, yang memberikannya. Kak Farah memang punya selera yang sedikit berbeda—kalau tidak mau dikatakan ‘unik’—meski kata yang tepat memang ‘nyentrik’. Logo Panda Jawa juga diciptakan olehnya.
Teman sebaya Biru, Kuning, sangat suka membaca buku. Dia selalu ingin mempelajari hal baru dan memahami dan memamerkannya. Jika dia bicara, kita tidak pernah tahu, dia serius atau bercanda.
Kuning mempunyai adik semata wayang yang sangat pendiam. Merah, namanya. Saat Kuning dan Biru berdebat, Merah hanya memperhatikan tanpa bicara. Namun, sesekali muncul juga suaranya, dan biasanya, kata-kata yang dia ucapkan bisa menghentikan perdebatan. Kuning dan Biru selalu mengalah dan mengelus-elus rambutnya penuh sayang.
Biru dan Kuning duduk di kelas lima sekolah dasar, sementara Merah, satu-satunya bocah lelaki dalam kelompok itu, baru saja lulus taman kanak-kanak dan sebentar lagi resmi menjadi murid SD. Sekarang, setelah ujian yang memberatkan hati, akhirnya libur kenaikan kelas datang dan mereka bisa menghabiskannya dengan berkeliling kota tanpa memusingkan pekerjaan rumah dan pelajaran.
"Jadi, ada kasus apa hari ini?”
“Kucing Chan, si Cing, hilang,” jawab Kuning.
“Who is Chan?” sebagai pemimpin, Biru berusaha terlihat pintar.
“Teman sekelas kita. Masa lupa?” orang pintar tak mungkin melupakan teman.
“Hehehe.”
“Seperti apa ciri-ciri kucingnya?”
“Kita, ‘kan, sering main ke rumahnya?”
“Jangan. Merusak. Suasana.”
“Cing,” ujar Kuning, mengalah, “adalah kucing berbulu putih berusia kurang lebih tiga tahun yang tubuhnya lumayan tambun karena sering diberi camilan oleh Chan, pemiliknya. Chan adalah gadis kecil berusia sepuluh, teman sekelas Kuning dan Biru di SD Santo Wili.”
“Ke mana biasanya dia pergi?”
“Entahlah, enggak tahu,” Kuning mengangkat bahu, tapi segera memperbaiki sikap. Dia heran kenapa tahu-tahu berperan jadi informan, “Karena dia berbulu putih, mungkin dia keasyikan main di warung-warung. Biasanya jenis mereka—kucing putih—pandai mencari makan.”
Memangnya ada berapa jenis kucing?
Beginilah catatan Kuning setelah mengobservasinya, lengkap dengan sifat-sifat khasnya.
“Kucing abu-abu biasanya kalem, bijak, jaim, tapi mendadak brutal kalau ketemu kucing oren.
“Kucing oren petualang dan bandel, makanya sering ditemukan di tempat-tempat enggak terduga.
“Kucing hitam-putih adalah kaum bangsawan yang enggak bisa nyeberang sendiri.
“Kucing hitam itu ninja yang pandai sembunyi. Datang diam-diam, pergi pun diam-diam.
“Kucing putih adalah seksi konsumsi, pandai mencari tempat makan strategis.”
Setelah berdiskusi cukup lama, mereka mengambil sepeda yang diparkir di depan markas. Biru sendiri. Merah dibonceng Kuning. Bendera besar bergambar panda berblangkon dengan tulisan “PANDA JAWA” berkibar di tiang kayunya, tampak keren disorot matahari siang.
Misi pencarian kucing pun dimulai. Let’s go!
“LET’S GO!” kata mereka, serempak.
Seperti yang sudah dijelaskan di atas—atau belum?—markas rahasia Panda Jawa terletak di bukit belakang sekolah. Namun, meski disebut ‘rahasia’, tak ada yang perlu dirahasiakan. Semua sudah mengetahuinya. Pintunya pun tidak pernah dikunci. Ada dua jalan yang bisa ditempuh untuk mencapai markas. Jalan pertama terletak di sisi selatan, di bagian depan sekolah Santo Wili. Di sana, ada jalur setapak yang tidak terlalu curam dan bisa dilewati sepeda. Jalan lain yang lebih lebar ada di utara, tapi jarang digunakan karena dipenuhi semak. Teman-teman baru kita selalu memilih rute pertama, karena dekat dan mudah. Jika ingin melintasinya, kamu harus hati-hati, sebab sering ditemukan batu-batu besar dan lubang yang merintangi laluan. Syukurlah, Kuning dan Biru sudah menghapal letaknya dan mampu menghindarinya.
Sesampainya di kaki bukit, setelah melewati sekolah dan bangunan-bangunan tua, Biru memelankan kayuhannya di sisi sekumpulan ruko berlantai dua, lalu berhenti di depan salah satunya. Kuning dan Merah menyusul di belakang. Di ujung jalan beraspal yang sisi-sisinya dipenuhi pot bunga, ada sebuah pintu berwarna jati dengan lonceng kecil tergantung di tengahnya. Begitu mereka membukanya, harum karamel dan susu mengisi udara. Di dalam toko, tidak ada siapa-siapa selain Kak Farah yang sibuk menjaga bakery dengan tertidur di kasir, dalam posisi bosan yang sangat sempurna. Fuwa. Pipinya menempel di permukaan meja, tangannya melandai turun. Di sampingnya, seperti biasa, tergeletak sebuah buku bersampul cokelat dan sekotak pensil.
Barangkali kalian lupa, Kak Farah adalah kakak semata wayang Biru. Dia sudah duduk di kelas 2 SMP, tapi tubuhnya masih seperti anak kelas lima sekolah dasar, tidak jauh berbeda dengan adiknya. Rambutnya panjang—sedikit melewati bahu setelah dipangkas beberapa hari lalu. Dia selalu terlihat mengantuk karena sering menghabiskan malam dengan menggambar. Dia memang gemar mengabadikan segala sesuatu dalam garis dan warna, hobi yang kerap dilakoninya semenjak ayahnya memberinya buku sketsa ketika Kak Farah masih berusia tiga tahun dan belum mengenal bahasa. (Lama kemudian, saat menemukannya lagi di pojok kontainer, tempatnya menyimpan benda-benda masa kecilnya, Kak Farah menyadari, ada patahan kertas di sisi dalam buku—beberapa halaman sudah digunakan sebelum dia memilikinya, tapi ditoreh entah oleh siapa. Dia juga menemukan nama ayahnya di bagian dalam sampul. Ketika bertanya kepada ibunya, dia mendapat jawaban, "Semasa muda, Papa memang bercita-cita menjadi pelukis, tapi karena satu dan lain hal, dia harus merelakan mimpinya. Dia tak mau kamu bernasib sama sehingga selalu mendukung apa pun yang kamu cita-citakan.”)
Kak Farah dan Mama menjaga toko kue kecil di sudut kota, sementara Papa mengelola yang lebih besar di pusat—jaraknya sekitar enam puluh kilometer lagi, satu setengah jam jika ditempuh dengan mobil. Papa memang kehilangan mimpi lamanya, tapi dia tetaplah pribadi yang tekun. Sebagai pebisnis, dia pandai melihat peluang dengan menerapkan strategi samudra biru. Biru tidak mengerti maksudnya, tapi karena papanya sering mengatakannya, dia jadi tertarik. Dia menyangka, biru pasti warna yang istimewa, dan merah tidak—karena papa kerap menyinggung samudra merah sebagai sesuatu yang harus dihindari. Begitulah sebabnya kenapa Biru, sebagai pemimpin Panda Jawa, memilih biru alih-alih merah. Dengan sukarela, sekaligus tanpa beban, dia menyerahkan jabatan merah yang mentereng kepada adik Kuning.
Kuning memilih warna kuning hanya karena dia menyukai matahari.
“Halo, Kak!” sapa Biru dengan nada riang, tanpa memedulikan kakaknya yang butuh sedikit peregangan untuk mengembalikan kesadarannya. Tertidur-ayam di meja dengan posisi tak nyaman membuat lehernya ngilu.
“Eh—oh?” Kak Farah megap-megap. Matanya masih separuh terbuka, tapi segera tertutup lagi.
“Si Cing ke sini, enggak?”
“Eh, oh.”—Enggak.
“Padahal ini toko makanan, kan?”
“Iya. Tapi mana ada kucing doyan roti,” Kuning mendesah dan menyandarkan kepalanya di setang sepeda.
“Kalau Sioren?” Biru menyebut nama kucing peliharaannya. (Sebenarnya, Sioren hanya kucing liar yang hampir setiap hari mengunjungi toko, tapi karena Biru dan kakaknya sering memberinya makan, lama-lama ia jadi peliharaan.)
“Eh, oh. Eng—”
“Lagi keluar, katanya,” Biru menerjemahkan bahasa kantuk Kak Farah.
“Biasanya Sioren main di mana?” tanya Kuning.
“Pasar?”
“Eh oh,” Kak Farah mengiyakan.
“Benar juga. Di pasar banyak makanan. Siapa tahu di sana ada Cing juga.”
Setelah berpamitan pada Kak Farah, Biru mengajak Kuning dan Merah bergegas menuju pasar. Jaraknya cukup jauh jika ditempuh dari bakery itu, sekitar setengah jam lagi dengan bersepeda. Letaknya di dekat bangunan bersejarah yang menjadi ikon kota. Tempatnya luas, dan memuat hampir semuanya. Kebutuhan sandang dan pangan hanya dipisahkan lantai. Di bagian depan, ada jajanan dan buah dan aneka sayuran. Berbagai macam daging—udang, ikan, ayam, sapi, kambing, hingga kodok, ada di pelosok terdalam. Lantai dua dikhusukan untuk aneka sandang—baju, celana, dan hordin—dengan aroma tekstil dan motif yang beragam. Jarang sekali Panda Jawa bermain di sana. Biasanya mereka berkeliling di luar saja, di sekitar penjaja kudapan dan buah-buahan.
Sesampainya di pasar, mereka berhenti di warung Bik Asih. Kiosnya tersembunyi di antara meja-meja buah dan toko plastik, tapi rombongan Panda Jawa segera menemukannya karena sudah terbiasa menghampirinya—Bik Asih pun sudah terbiasa dihampiri. Meskipun dipajang dengan sederhana dan apa adanya, kualitas buah yang Bik Asih jual sudah terkenal di kalangan pembeli karena selalu manis dan segar. Di meja yang sudah dihitamkan lumut, tersaji setumpukan mangga berbagai warna dan ukuran, serta sekotak alpukat yang hijau-hijau.
“Siang, Bi!” seru Biru sambil memarkir sepeda kecilnya di samping kios. Kuning menyusulnya. Setelah menuruni sadel penumpang, jari-jari kecil Merah langsung mencari tangan kakaknya. Segera Kuning menyambutnya lembut. Sini, sini, katanya.
“Siang, Biru dan Kuning dan Merah,” kata Bik Asih.
“Bibi lihat Cing?”