Saat senja datang, seusai mandi dan bedakan, kelompok Panda Jawa berkumpul lagi di taman Sore Hari. Oh, bukan. Nama sebenarnya bukan “Taman Sore Hari”, melainkan sesuatu yang lain. Tetapi, karena selalu ramai di jam-jam menjelang magrib, penduduk kota menjulukinya "Sore Hari" saja—seperti puisi Sapardi. Tahu, 'kan? Itu, lo, yang aku kutip di depan.
Selalu, setiap libur panjang, sekitar pukul empat sore, seorang pria berbusana Mario Bros—kaos merah di balik overal biru, topi merah dengan logo M, dan kumis palsu (tentu saja ada kumis palsunya)—duduk dalam rindang beringin di sudut taman. Semua menjulukinya Paman Mario—dan terkadang "Paman Pendongeng". Setelah bermain seharian, ketika matahari sudah tak terik lagi dan hampir tergelincir di hilir barat, anak-anak senantiasa datang menghampirinya. Biasanya, mereka-lah yang lebih dulu tiba, dan menyibukkan diri dengan permainan-permainan kecil. Meskipun tidak pergi jalan-jalan di hari libur, tak sekali pun rajuk terdengar. Sebab, kapan lagi bisa mendengarkan dongeng dengan mata kepala sendiri? Apalagi Paman Mario sudah menjadi salah satu ‘legenda’ di kota ini. Suaranya dalam, tetapi teduh, bagai pohon yang semakin tua semakin gemar menawarkan rimbun.
Di sana pula Biru menemui Chan.
“Cing sudah kami temukan,” bisik Biru, hati-hati, seolah menyampaikan rahasia penting.
Wajah Chan langsung semingrah. “Di mana? T-tapi, sebelumnya, terima kasih, Biru,” katanya lega.
“Aku mencarinya bersama Kuning dan Merah. Malah kami menemukannya berkat ide Kuning. Jadi aku simpan terima kasihnya buat kami bertiga, ya," kata Biru yang tak pernah melupakan teman.
Biru menceritakan petualangannya mencari Cing—sejak berdiskusi di markas rahasia, berjualan mangga di pasar, hingga menyusuri bangunan setengah jadi yang hampir roboh di sebuah perumahan baru. Chan tertegun karena tidak ada aksi spionase dalam penjelasan Biru kecuali mengikuti kucing yang jelas-jelas hanya main-main. Dia juga sama sekali tidak menduga kucingnya hamil, meski, setelah dipikir lagi, tanda-tandanya sudah terlihat sejak lama.
Bukankah beberapa bulan belakangan, Cing kerap lesu? Dia lebih sering tidur saat berada di rumah dan mengabaikan ajakan bermain Chan. Mungkin dia capai setelah berjalan-jalan semalaman, pikirnya, selalu. Siapa sangka Cing sebenarnya mengandung. Dia menyesal kenapa kucing kesayangannya tidak bersalin di rumahnya saja? Tapi, setelah merenungkannya, Chan memakluminya. Kebunnya terlalu bersih dan terbuka, sementara induk kucing biasanya membutuhkan ruang gelap biar bayi-bayinya tetap hangat dan terlindung.
“Anaknya cuma dua. Mungil-mungil,” Biru tersenyum.
“Imut-imut, ya?”
"Banget."
“Warnanya apa?”
“Yang satu hitam-putih, yang lainnya putih polos.”
“Enggak apa ditinggal?”
“Kata Kuning, enggak apa. Cing dan bayinya pasti sudah lama menginap di sana. Tadinya mau kami bawa, tapi takut. Induk kucing biasanya galak kalau anaknya diutak-atik. Besok pagi, kita kembali ke sana, sambil membawa kardus.”
“Jam berapa?”
“Sesiapnya saja.”
Chan terbiasa terjaga saat matahari baru saja membuka hari. Baginya, kata ‘sesiapnya’ berarti sangatlah pagi, karena sebelum pukul enam, dia sudah mandi dan sarapan dan menyapa bunga-bunga dan membantu ibu membuat kue dan banyak lagi. Namun, dia tahu, tidak semua anak bangun sepagi itu, apalagi pada libur sekolah.
“Kuning dan Merah mana?”
Biru menunjuk salah satu sudut dengan jempolnya.
Kuning duduk di samping Kak Farah dan memperhatikan buku sketsanya.
(Biasanya, di mana pun berada, Kak Farah senantiasa membuat sketsa dengan pensil, lalu menyempurnakannya dalam kamar. Seringkali, dia bertekun dengan gambarnya hingga tanggal berganti. Kuning menyukai gambar-gambar itu—bahkan sekalipun hanya arsiran kasar.)
Merah berkumpul dengan teman-temannya di ranah yang rumputnya lebih sedikit dan bermain kelereng.
Ketika langit senja berubah merah, lelaki dengan kostum Mario datang dan menyapa dengan suara khasnya.
“Halo, anak-anak. Selamat sore!”
Paman Mario berjalan pelan dan melendutkan tubuhnya dalam naungan rimbun beringin. Dengan segera, semuanya duduk di tikar yang sudah disediakan entah oleh siapa. Beberapa yang tidak dapat sela, dengan sukarela mengalaskan sandal.
Di sudut taman, ada tiga bangku besi yang biasa diduduki ibu-ibu. Para ayah lebih senang berdiri di luar taman seraya merokok dan membincangkan pekerjaan. Namun, ada pula yang bersandar di belakang anak-anak seraya mendengarkan dongeng-dongeng dengan saksama. Aku tidak heran, karena adakalanya, ketika dewasa, kita ingin bermimpi sekali lagi dengan mendengarkan dongeng-dongeng yang pernah mengisi masa kecil kita.
Seperti julukannya, Paman Mario selalu mengenakan kostum Mario Bros. Tahu, kan? Tukang leding berbaju biru dan merah yang bertugas menyelamatkan Putri Raja yang diculik Naga Jahat. Naga ini punya begitu banyak kastil, dan putri yang ditawannya selalu berada di kastil yang lain. Paman juga mengenakan kacamata yang lensa kirinya retak. Tak pernah diganti. Tak ingin diganti.
Dulu, beliau sangat atraktif. Mampu mendongeng sambil berdiri dan berjalan berkeliling. Dengan lincah dan penuh semangat, beliau memeragakan berbagai tokoh dengan sifat-sifat yang pusparagam dengan nyaris sempurna. Beliau dapat memerankan ular yang culas tapi cerdas, pun merpati yang polos tapi tulus. Sayangnya, seiring bertumbuhnya usia dan bertambahnya uban di kepala, karena tidak lagi memungkinkan, beliau lebih sering duduk. Gurat-gurat penuaan bermunculan di sisi matanya—begitu banyak, seolah hendak mengabadikan senyumnya.
Satu yang tak kunjung berubah, tak sekali pun Paman mengharapkan jasa. Tidak pula mengedarkan topi memohon bayaran. Baginya, mendongeng saja sudah sangat menggembirakan.
Sudah beberapa hari berselang, beliau gemar menceritakan pengalamannya saat mengadar di berbagai negeri. Tentu bukan negeri biasa, melainkan ‘Negeri-Negeri Perasaan’. Dalam pengembaraannya, Paman hanya menetap selama tiga hari. Meski demikian, adakalanya beliau menemukan daerah yang benar-benar indah, yang membuatnya ingin menetap lebih lama.
Kuning berpendapat, jika benar-benar ada, Negeri-Negeri Perasaan pastilah sangat kecil. Mungkin letaknya begitu berdekatan, karena bisa ditempuh dalam sehari perjalanan dengan menggunakan mobil.
“Mobil?” tanyamu.
Hampir saja aku lupa. Paman mempunyai teman bertualang—mobil hijau cerewet bernama Luigi.
“Pada akhirnya” beliau mengaku, “Setelah lama melancong, Paman menetap di sini. Tentunya kalian tahu alasannya, bukan?”
“Sekarang, Paman tinggal di mana?”
“Di sudut kota.”
“Sebelah mananya?”
“Di sana,” Paman mengubah posisi duduknya dan menunjuk suatu arah nun jauh di selatan dengan matanya.
Banyak anak yang mengaku pernah mengikuti Paman. Namun, beliau selalu menghilang di celah-celah pandangan. Di gang-gang sempit. Di balik pohon. Di bayangan rumah. Di sekejap kedip. Di mana pun beliau mau. Tapi hanya sedikit yang percaya.
Paman hanya berkunjung saban sore, sebelum tenggelamnya seri matahari. Ketika dongengnya selesai, langit sudah hampir seluruhnya gelap, dan anak-anak diharuskan pulang. Kalaupun boleh bermain lagi, pastilah setelah lewat jam rawan, sekitar pukul tujuh malam. Paman tentu sudah pulang dan barangkali duduk nyaman di pondoknya sendiri, sambil menikmati secangkir kopi yang dibuatkan istrinya—nenek yang barangkali dapatlah dijuluki ‘Bibi Mario’. Jadi, kecil kemungkinan ada yang sempat mengikutinya.