Jalan Setapak Menuju Rumah

Rafael Yanuar
Chapter #4

Chan dan Kucing Kecilnya

Ketika ayam menebas sunyi dengan tangisannya yang menyayat hati, bagai seorang ibu yang terkaget saat anaknya terjaga di larut pejam, matahari membuka mata pelan-pelan dan menenangkannya. Sebagai penghiburan pada kota yang baru membuka mata, dengan jari-jarinya yang hangat dan bermandi cahaya, matahari mewarnai dunia dengan berpalet-palet warna. Langit yang semula kelam, perlahan mekar bagai bunga-bunga lembayung, yang kemudian merekah seperti semak asoka di dekat jendela kamar Chan. Awan-awan yang tadinya kelabu, berubah menjadi putih cemerlang.

Selamat pagi, Chan mendengar sapa matahari.

“Selamat pagi,” balasnya, dengan kata yang hanya mampu didengar dengan hati.

Seraya mengemban seember kecil air suam-suam kuku, gadis kecil itu memutar selot dan berjalan menyusuri halaman. Begitu telaten, dia menyiram tanaman-tanaman yang dirawatnya. Selamat pagi, sapanya lembut kepada bunga-bunga, yang membalasnya dengan harum semerbak.

Para pejalan yang melintasi rumah Chan selalu terberkati kerapkali melihat kelopak-kelopak pusparona di balik pagar putihnya. Meskipun hanya petak-petak yang tidak terlalu besar, karena dipelihara dengan penuh kasih sayang, perasaan cintanya tersampaikan pada siapa pun yang lewat. Jika aku harus menjelaskannya dalam kata-kata yang bersahaja saja, mungkin kebun kecilnya seperti Taman Rahasia dalam novel Frances Hodgson Burnett.

Biasanya, Cing sudah menunggu di halaman ketika Chan membuka pintu. Sering pula dia menemukan Cing berlari di permadani rerumputan, mengejar kupu-kupu yang hinggap di antara daun-daun—bermain bersama pucuk-pucuknya nan lembut dan hijau. Adakalanya, ketika Chan tidak mampu menemukannya di mana pun, dia memanggil nama Cing berulang kali dan memicingkan mata. Ketika sudah hampir menyerah, wajah menggemaskan Cing menyembul di antara bunga-bunga kuning di dekat pagar.

Melihat Cing dengan segala tingkah lucunya, membuat Chan merasa dunia adalah tempat yang indah untuk ditinggali.

Akan tetapi, sudah hampir satu bulan, Cing tak lagi hadir mengisi hari-harinya. Dia pergi dan tak kembali. Di mana dia—kucing kesayanganku itu? Tanpanya, pagi menjadi muram. Kata “selamat pagi” yang dibisikkan bunga-bunga, tak lagi menyenangkan hatinya. Memang, Chan masih rajin menyirami kebunnya dengan hangatnya air, tapi dia melakukannya tanpa kesadaran, sering pula sambil melamun. Seandainya aku tahu Cing hamil, aku pasti menyediakan tempat yang nyaman baginya bersalin. Aku bisa meminta kardus besar di toko kelontong dekat rumah dan melapisinya dengan baju-baju bekas. Namun, dia tak tahu—dan itu bukan salahnya. Perut Cing tidak membesar meski mengandung dua ekor anak kucing. Lagipula, sedari dulu Cing memang bukan kucing yang betah di rumah. Dia sering pergi berhari-hari, dan kemudian kembali lagi pada suatu pagi. Jadi, ketika Cing menghilang, Chan tak langsung menyadarinya.

Chan melamun, mengenang ketika pertama kali bertemu dengan Cing. Saat itu, dia mendengar meong lirih di bawah mobil ayahnya, Chan menunduk dan menemukan seekor kucing yang masih sangat kecil, berdiri tak berdaya dengan kaki-kakinya yang gemetar. Dengan ratap penuh harap, Chan mengemban dan menunjukkannya kepada Papa dan Mama. Dia berharap ayah dan bundanya mengizinkan merawatnya—setidaknya hingga kucing itu sudah cukup besar untuk bisa hidup sendiri.

“Boleh 'kan, Ma, Pa?”

Tetap saja yang keluar dari mulut mereka adalah tidak. Chan yang tidak pernah memaksakan kehendak, mengemban kucing itu dalam pelukannya. Dengan lembut, dia menyuapinya sepiring kecil air. Karena kucing di pangkuannya sudah cukup besar dan sepertinya tidak terlalu memerlukan induknya lagi, dia berencana membeli susu saat warung kelontong di sebelah rumahnya buka. Lalu, saat hari beranjak siang, dia hendak berkelana keliling kompleks; siapa tahu salah satu temannya berkenan merawatnya. Semua rencana sudah matang dalam benak Chan, tapi sekarang, setelah air pemberiannya habis, Chan hanya bisa merelakan makhluk mungil yang begitu cepat merebut hatinya itu kembali ke jalanan. Kucing itu mengeong lirih dengan suaranya yang tipis dan serak, seolah menangis, tapi Chan tidak bisa melakukan apa pun. Dan dia benci ketika merasa tidak berdaya. Dengan langkah-langkah kecil dan gemetar, kucing itu berjalan mendekati kaki Chan. Dengkurannya begitu keras dan lembut, memohon elusan. Chan merasakan setetes air gugur, lantas dua, kemudian menyungai menjelma air mata di pipi kiri dan kanan, disusul isak yang pelan. Chan jarang menangis, dan sekalipun menangis, dia tak pernah berteriak, hanya mengisak lirih, tapi bisa sangat menghancurkan hati. Karena tidak tega, ayahnya mengambil kucing itu dan menyerahkannya pada Chan.

“Kamu boleh memeliharanya,” kata ayahnya, lembut. “Tapi ada beberapa syarat.”

“Apa itu, Pa?”

“Kucing itu harus tetap di luar. Dan satu lagi, kamu sendiri yang harus merawatnya.”

Tentu saja Chan menyanggupinya. Dia sudah merawat sendiri kebun bunganya, seekor kucing tidaklah menambah beban berarti. Air mata yang sempat menderas, lenyap begitu saja disibak lengan bajunya. Senyum semingrah terbit setelahnya. Anggukan menyusul kemudian. Dan diakhiri sebuah pelukan.

Pagi di rumah Chan selalu dihiasi aroma harum nan manis. Ibunda Chan mempunyai usaha katering kue dan roti. Bukan bisnis besar, hanya sekadar perintang waktu ketika ayah bekerja di kantor. Chan pun sangat bisa diandalkan. Dia tidak segan membantu—justru sangat senang.

Setelah menyiram bunga-bunga, memberi Cing makan, dan membersihkan kotorannya, Chan segera mandi dan menemani ibunya di dapur. Tanpa perlu disuruh, dengan sigap dia mengelap loyang, mencuci peralatan mixer, atau sekadar menunggui oven. Sarapan sederhana biasanya sudah tersaji di meja. Chan tidak suka menyarap dengan lauk berlebihan, jadi ibunya hanya menyiapkan beberapa menu sederhana yang dapat disantapnya dengan cepat. Memang, setelah Cing menghilang, semangatnya menguap sedikit demi sedikit. Tapi dia mampu mengalihkan perhatiannya dengan kesibukan-kesibukan kecil.

Syukurlah, penantiannya usai sudah, karena sebentar lagi, Chan bisa bertemu dengan Cing. Semenjak pagi membuka mata, senyum selalu menghias wajahnya. Biru, teman sekelasnya, sudah berhasil menemukan Cing yang menetap bersama bayinya di salah satu perumahan di dekat pasar.

Sudah lama Chan tahu teman sekelasnya membentuk ‘Kelompok Pelindung Kota’. Dia biasa menyingkatnya KPK. Markasnya terletak di belakang sekolah—di pondok misterius yang menyimpan banyak cerita.

“Mungkin rumah pemancing?” kata Chan saat menghabiskan waktu bersama sahabatnya, Kuning dan Biru, di kantin Sekolah Dasar, beberapa hari sebelum libur kenaikan kelas. Namun, pendapatnya segera disanggah Kuning, “Memangnya, apa yang bisa dipancing di sana? Cuma ada sungai cetek yang enggak ada ikannya.” Tapi, siapa tahu pondoknya kosong karena ikannya sudah habis dipancing.

Sebenarnya dia tidak terlalu berharap ketika meminta pertolongan teman-temannya, tapi siapa sangka Cing berhasil ditemukan dalam waktu sehari saja. Karena rumahnya tidak begitu jauh dengan rumah Biru dan Kuning, hanya berbeda kompleks dan dapat ditempuh dengan lima menit bersepeda, dia tidak sabar mengunjunginya. Namun, dia takut teman-temannya belum terjaga. Karena sekarang masih pekan liburan, tak ada alasan untuk bangun lekas-lekas.

Tidak semua anak serajin kamu, Chan.

Mungkin sebaiknya aku menunggu di pondok saja. Chan mengambil sepedanya dan memohon izin ibunya yang sedang berdiri di depan oven, ditemani satu asisten yang membantunya membuat kue.

“Aku ke tempat Elaina ya, Ma.”

Lihat selengkapnya