Jalan Setapak Menuju Rumah

Rafael Yanuar
Chapter #5

Perpustakaan Bambu

Kak Farah menopang dagu di meja kasir. Dengan mata separuh terbuka, dia menguap lebar. Rasa kantuk memberati matanya. Tidak seperti biasanya, dia tidak tergoda menghampiri lahan kosong di samping toko rotinya. Untuk menghalau angut, dia mendorong tubuhnya berdiri. Dibukanya pintu agar angin segar masuk menyejukkan seantero seluk. Disibaknya pula tirai jendela, agar terik cahaya merambat di sela-sela terali. Setelah pencahayaan dalam ruangan tak lagi redup, seraya menjulurkan tangan dan menyandarkan pelipisnya di lengan, dia memejam dan menggumam di hadapan kipas listrik yang menyapa wajahnya dalam separuh putaran. Fuwaah.

“A-aku ro-ro-robot-bot-bot,” begitulah gaungnya.

Di depan jendela, tidak ada yang lewat, hanya rimbun pepohonan bergemerisik dengan suara yang samar, disusul gemerincing lonceng onthel, dan sesekali genta Gereja. Di sela senyap, cahaya melindap diredupkan awan. Derik tonggeret dan dering jangkrik yang mengendap di lembap siang menambah geming suasana. Kak Farah bangkit dan membuka-buka buku sketsanya untuk melukis pemandangan yang sudah ratusan kali dikekalkannya: bagian dalam toko roti; pemandangan di balik jendela; adiknya, Biru, yang entah di mana sekarang, tapi wajahnya sudah begitu dihapalnya.

Toko “Orange Cake Bakery” memang tidak besar, tetapi roti-rotinya yang lembut dan manis sudah terkenal di seantero kota. Ada jendela oriel di sebelah kanan dengan pot-pot bunga beraneka warna mengitarinya. Menu andalannya, seperti namanya, adalah roti berwarna oranye dengan selai jeruk kental yang lumer pada gigitan pertama. Lantainya dikeramik sewarna senja dengan motif pepagan. Udara di dalamnya beraroma manis, seperti campuran karamel, jeruk sunkist, dan susu. Kak Farah menyumbang beberapa kreasi kuenya di rak dan etalase. Namun, karena masih belajar, bentuknya tidak sesempurna buatan para pastry toko, yakni ibunya sendiri dan beberapa asisten yang sudah dikenalnya sejak masih sangat kecil. Kak Farah sering iseng melukisi bolu gulungnya dengan motif batik dan bunga. Karena keindahannya, beberapa karyanya lumayan digemari. Rasanya juga tidak buruk, empuknya pas, harumnya sanggup menghangatkan indra penciuman siapa pun. Hanya kurang manis.

Kak Farah juga suka menulis diary. Malah, mengabadikan momen-momen yang dialaminya sehari-hari telah menjadi tujuannya melukis. Dalam sebulan, dia menghabiskan dua sampai empat buku sketsa yang membaurkan mimpi-mimpi dan kenyataan. Dia memisahkan lukisan-lukisan yang disadurnya dari dongeng Paman Pendongeng. Karena Paman Pendongeng hanya mendongeng di sela libur sekolah, Farah hanya perlu satu buku per tahun untuk menggambar dongeng-dongengnya—dan sekarang sudah buku ketujuh. Berarti sudah tujuh tahun, ya?

Ada pula satu buku yang tidak menyisakan bekas selembar pun, karena setiap lembarnya selalu dipersembahkan kepada Nenek Penyair Desa.

Siapa sangka, Paman Pendongeng bukan satu-satunya dongeng hidup di kota kecil itu. Ada lagi yang lain, yakni Penyair Desa. Meski hobi menulis puisi, dia bukan penyair—setidaknya begitulah yang dikatakannya—melainkan pemilik perpustakaan kecil di bukit bambu pinggir kota. Dia mempunyai cucu bernama Elvira yang dipanggilnya 'Peri'.

Langit di sekitar rumahnya tertutup dahan-dahan berdaun lebar dan anginnya beraroma sejuk bambu. Nenek membangunnya dengan menghabiskan sebagian tabungan masa mudanya—sebagian lagi dibiarkannya berbunga di deposito. Sudah lama Nenek bermimpi mempunyai perpustakaan di kaki gunung, di hutan yang hijau bestari, siapa sangka baru pada usia senja dia sanggup mewujudkannya. Di seberang rumahnya, ada railing besi yang menghadap tegalan.

Penyair Desa tidak memagari rumahnya. Alih-alih, dia justru membangun setapak untuk menyambut siapa pun yang ingin mengunjunginya. Di kiri dan kanan, terangkai kebun yang ditumbuhi bunga-bunga pusparona, dilengkapi bangku kayu berkanopi yang menyerupai halte. Di samping bangku, ada kotak pos merah tua. Di sanalah biasanya Kak Farah meletakkan gambarnya yang tidak dibungkus apa-apa.

Tidak ada janji. Kak Farah dan Penyair Desa hanya bertukar lukisan dan sajak tanpa menentukan kapan dan bagaimana. Setiap Kak Farah memasukkan lukisannya dalam kotak surat, selalu ada sehelai puisi yang menantinya, terlipat dalam origami yang membentuk burung-burung dan serangga hutan—bangau, jangkrik, hingga kumbang. Tidak pernah tidak. Dan sesekali, Penyair Desa mengundangnya meminum teh di rumahnya. Di mata Kak Farah, di usianya yang sudah tak lagi muda, Penyair Desa masih terlihat cantik. Umurnya mungkin sepantaran Paman Pendongeng. Sudah nenek-nenek.

Bukit Bambu, begitulah desa tempat Penyair Desa tinggal. Jaraknya cukup jauh dari toko roti Kak Farah, apalagi jika ditempuh dengan sepeda. Kita bisa saja mencapainya dengan mengitari permukiman di dekat situ, tapi jalan terdekatnya memang harus menembus perumahan baru di dekat pasar buah Ranumsari.

Seraya membayangkan Penyair Desa, Kak Farah memikirkan apa yang hendak dilukisnya, tapi lalu menyerahkan segalanya pada pensilnya saja. Biarkan insting bekerja. Dan benar saja, tangannya langsung menentukan apa yang ingin dikekalkannya, tanpa perlu banyak berpikir. Dengan lincah, dia menyapukan ujung kelabu pensilnya pada selembar kertas putih dan mengembuskan nyawa melalui medium garis dan warna. Dia penasaran, seperti apa hasil akhirnya. Tanpa sadar, senyum semingrah tergurat di wajahnya. Diusapnya keringat di kening sebelum jatuh. Di permukaan kertas, perlahan-lahan mewujud seekor kucing dan dua bayinya. Biru dan Elaina membawanya pagi tadi dan dia mengenal salah satunya sebagai Cing, kucing Chan.

Setelah memberinya judul, Kak Farah merasakan keberadaan seseorang di belakangnya. Dia, secara refleks, langsung menyembunyikan gambarnya.

“Mama! Jangan ngagetin, dong!”

“Kamu lagi asyik menggambar, Mama mana berani ganggu.” Mama berjalan menyusuri ruangan, membuka satu bungkus roti, dan menyantapnya. “Kamu kok enggak pernah menggambar mama—atau papa? Padahal sering menggambar adikmu.”

Kata siapa?

“Pernah, kok. Mama sering mengintip gambarku. Masa enggak pernah lihat?”

“Betul?”

“Iya.”

“Coba sekarang buktikan.”

“Sebentar.”

Kak Farah segera mengayunkan jemarinya seraya mengerutkan kening. Dia mengangkat pensil dan mengapitnya dengan jempol. Dengan saksama, dia memejamkan sebelah matanya, lalu mengukur skala dengan tangan kanan dan kirinya. Setelah menemukan sudut yang pas, dia menorehkan ujung pensilnya di permukaan kertas. Setelah bermenit-menit bertekun, dia menyerahkan hasilnya kepada Mama dengan sorot mata bangga. Mamanya menerima dengan tak sabar—senyap—membalik kertasnya dan memperlihatkannya kepada Kak Farah—senyap—lalu mendelik kesal saat gambar simpanse, lengkap dengan pisangnya, menghadap putri sulungnya.

“Fa-rah. Ini. Apa?”

“Kerabat dekat kita, Ma,” katanya, seraya berlari menuju pintu dan mengayuh sepedanya lincah—sangat lincah—menghindari terkaman mamanya yang tidak dapat menyembunyikan tawa dan kesal.

“Gantikan jaga ya, Ma! Aku mau main!”

“Tak hih kamu nanti!”

Untuk mencapai rumah Penyair Desa, Kak Farah selalu memilih jalan perdesaan yang dipenuhi rimbun pepohonan, bukan perumahan kelabu dengan bangunan-bangunan yang masih setengah rampung. Karena angin yang tenang seolah tak henti-hentinya bertiup, dia nyaris tidak berkeringat meski harus melewati jalan yang sedikit menanjak. Mega bergumpal-gumpal dan daun-daun merindangkan perjalanannya. Dia melambatkan kayuh saat melewati tikungan. Meskipun jarang, adakalanya sepeda lain dan tukang sayur merintangi jalannya. Dia membunyikan lonceng ketika berpapasan dengan seseorang yang dikenalnya.

Lihat selengkapnya