Seperti malam-malam sebelumnya, cuaca di depan jendela sedikit berawan. Mendung menggantung di antara muram, tapi tak ada tanda-tanda hujan. Seraya berjinjit, Nitara terpaku menatap kota, berharap dapat menemukan hal lain selain kelabu, tapi di seberang apartemennya, gedung bank menghalangi pandangannya selalu. Dia menengok sisi lain dengan percuma. Di mana-mana berjejer bangunan-bangunan pencakar langit yang sama.
Dipenuhi perasaan melankolis, Nitara menyentuh jendela dengan tangan kanannya, lalu meresapi suhunya. Cuaca lengas sepanjang siang masih tersisa gerahnya meski malam sudah melebarkan sayapnya yang membekukan.
Di kamarnya, mesin pendingin yang menyala hampir sepanjang hari, menebarkan sejuk yang sudah dikenalnya sejak lama, meski tak terlalu disukainya. Deru statisnya menjadi satu-satunya suara yang tersisa, selain detak samar yang tak henti mendetik di ujung dinding. Dia menyapukan pandang, mencari jam di pojok ruang. Jarum pendeknya sudah di angka sepuluh. Ayah dan ibunya memang tidak membatasi jam tidurnya, tapi Nitara sudah harus terjaga paling lambat pukul enam—atau pukul tujuh selama libur sekolah. Selalu ingat jam bangun, bukan jam tidur, ibunya mengingatkan senantiasa. Biasanya, Nitara lelap sebelum pukul sembilan. Namun, sekarang berbeda. Karena besok Papa dan Mama berjanji mengajaknya mengunjungi rumah kakek di pinggiran kota, dia jadi terlalu bersemangat. Rasanya sulit sekali memejamkan mata.
Dia senang bisa mencapai jendela tanpa harus menggunakan bangku dingklik, meski hanya sepasang matanya yang mampu melampaui bagian bawah bingkai. Apartemennya terletak di lantai yang cukup tinggi. Dan masih ada banyak lantai lagi di atasnya. Karena lelah berdiri dengan mengandalkan ujung jari kakinya saja, dia menaiki ranjang, dan menengok daun jendela bagian tepi, merenungi lalu lintas yang tak pernah sepi, lalu memandangi kunang-kunang yang berbaris rapi di jalan raya. Dia selalu menyebut lampu-lampu kendaraan sebagai ‘kunang-kunang’. Kunang-kunang merah. Kunang-kunang kuning. Kunang-kunang merah di sisi kanan jalan, kunang-kunang kuning di sisi kiri. Satu, dua, tiga, empat, lima. Beberapa kunang-kunang berbaris dua-dua. Beberapa sisanya bergerumbul tak beraturan. Ada kunang-kunang yang memadamkan pendar di bahu jalan, ada yang baru menyala. Enam, tujuh, delapan, sembilan, sepuluh. Nitara berharap cahaya kunang-kunang membuatnya mengantuk. Dia menempelkan ujung hidungnya di kaca, dan memandang riuh kota. Saat mengangkupkan telinga di sisi jendela, dapat dia dengar suara-suara diredupkan jarak. Sudah berapa kunang-kunang berhasil dia hitung? Dia membisikkan angkanya asal saja, berharap merasakan jenuh, lalu jatuh tertidur, tapi kantuk tak datang jua. Sebelas, dua belas, tiga belas, empat belas, lima belas. Menurutnya, menghitung kunang-kunang jauh lebih melanutkan ketimbang menghitung domba, karena dia tidak pernah melihat domba kecuali di buku-buku bergambar. Bukan berati dia pernah melihat kunang-kunang, tapi entah kenapa dia merasa memang pernah melihatnya, mungkin di suatu masa yang tak lagi tersentuh ingatan. Namun, dia juga tidak benar-benar yakin, kunang-kunang masih ada di dunia. Enam belas, tujuh belas, delapan belas, sembilan belas, dua puluh. Pada hitungan keseratus dua puluh tiga, Nitara turun dan berjalan pelan menuju lemari di sebelah pintu dan mengambil beberapa buku bergambar, tiga buah, lalu melihat-lihat isinya. Dia berharap angut sudi datang saat dia menekuni lembar-lembarnya, sebelum malam benar-benar larut dan kurang tidur mengganggu aktivitasnya esok hari. Dia tidak berencana membacanya, hanya ingin menekuri gambarnya, tapi siapa dapat menolak sihir kata-kata? Dengan bantuan cahaya dari jendela dan lampu tidur di meja samping kasurnya, dia memasuki dunia yang diciptakan imajinasi, dan terlelap sebelum bab satu selesai.
Malam pun berlalu secepat datangnya. Bulan terbenam di ufuk, di antara gedung-gedung kelabu. Kota tak memejamkan mata barang sejenak pun. Subuh membayang tanpa pendar ungu di cakrawala. Matahari memancarkan cahaya pucat di seberang jendela. Tanpa kehangatan.
“Nitara sayang. Ayo, bangun, sudah pagi.”
Nitara tidak langsung membuka matanya, melainkan mengerjap singkat. Dia mencari jam. Namun, karena ruangan gelap, dia sulit menemukannya.
"Sudah jam tujuh," kata mama.
Nitara heran kenapa jendelanya sudah terkatup, padahal semalam dibiarkannya terbuka. Kamar pun remang. Lampu tidurnya padam. Dan bukunya diletakkan dalam kondisi tertutup, lengkap dengan pembatas berpita di tengah halaman, di meja samping lelapnya. Pasti Mama. Dia selalu merasa, mamanya punya kemampuan istimewa yang dapat mengetahui saat-saat dia sudah terlelap.
“Pagi, Ma. Papa sudah berangkat kerja, ya?”
“Selamat pagi, Tara. Kamu lupa, hari ini kita mau ke mana?”
“Rumah kakek!” Nitara bangkit, menggandeng tangan ibunya, dan bernyanyi riang. Lagu Tasya. Libur telah tiba! Libur telah tiba! Hore—hore—hore! Padahal kemarin dia terus memikirkannya, tapi kenapa malah lupa esok paginya?
“Hai, Sayang,” Papa sudah duduk di ruang tamu. Menyesap kopinya dengan nikmat ketika Tara membuka pintu kamarnya. Tumben tidak ada koran di tangannya.
“Pagi, Papaku sayang.”
“Pagi, gadis kecilku sayang.”
Mama sedikit cemburu karena tidak dipanggil ‘sayang’ oleh suami maupun anaknya.
“Pagi, mamaku yang cantik!”
“Pagi, istriku yang cantik.”
Karena antusiasmenya kembali, Nitara mandi dengan cepat, makan dengan cepat, dan—oh, ternyata dia sudah siap-siap sejak tiga hari lalu, jadi apa saja yang mau dibawa telah dimasukkan dalam ransel. Pakaian, buku-buku, dan peralatan tulis, semua telah siap sedia. Boneka Winnie-the-Pooh kesayangannya malah sudah lebih dulu duduk anteng di bangku tengah. Akhirnya, karena tidak tega menunda lebih lama, Papa segera memanaskan kendaraannya dan—
"Berangkat!"
Meski harus terjebak macet di beberapa titik, dengan Kijang hijau tuanya, akhirnya Papa berhasil melewati bagian kota yang sesak, lalu memasuki daerah-daerah yang lebih lengang. Jika ditempuh dengan mobil, jarak menuju desa menghabiskan waktu sekitar tujuh jam perjalanan. Kemungkinan, Nitara dan keluarganya baru sampai di rumah kakek pada pukul setengah lima sore. Bukan hal mudah bagi anak umur tujuh tahun, tapi Nitara justru sangat bersemangat. Seperti anak-anak lain, dia suka bepergian. Dia malah sudah menyiapkan ‘kamar khusus’ di bagasi. Kursinya dilipat, kasur palembang digelar. Kebetulan tidak terlalu banyak bawaan, jadi ruang yang tersisa cukup lega. Meski begitu, Nitara malah lebih betah duduk di kursi tengah karena dekat dengan papa dan mamanya.