Semenjak Nitara dan keluarganya menginap di rumah Paman Mario, tak ada lagi dongeng-dongeng di taman Sore Hari, sebab Eyang, melalui Nitara, mengundang anak-anak yang tidak bepergian selama libur sekolah bermain di rumah beliau. Kak Farah sedikit kesal, karena rahasia yang semula miliknya, bukan lagi semata miliknya. Tak ada lagi anak-anak yang penasaran dengan asal-usul Paman Pendongeng—atau apakah Luigi, mobil yang bisa bicara itu, benar-benar ada? Namun, dengan cepat Kak Farah melupakan kemengkalannya.
Rumah di pinggir kota yang biasanya hanya dihuni Eyang dan istrinya, perlahan mulai disesaki tawa ceria anak-anak. Hampir setiap hari, ada saja anak yang datang mengunjunginya, dan Eyang selalu menyambutnya dengan senyum semingrah. Tentu saja, Merah, Biru, Kuning, Chan, dan Kak Farah bukan kekecualian.
Ternyata, nama Eyang Hora tidaklah asing di dunia literasi. Beliau sudah menulis sejak usia belasan, dan masih menulis bahkan di usia senjanya. Selama kariernya yang panjang, beliau sudah menelurkan begitu banyak buku. Tidak sedikit penghargaan yang sudah diraihnya. Karena menyusun buku membutuhkan ketenangan, sebisa mungkin Eyang menjauhi ingar bingar. Beliau jarang tampil di muka umum, kecuali sebagai pendongeng—sesuatu yang sudah dicita-citakannya sejak lama. Satu-satunya keramaian yang disukainya hanyalah tawa anak-anak. Kini, di usia senjanya, beliau masih terus menulis setiap hari, meski hanya satu paragraf. Supaya tidak pikun, jawabnya, ketika suatu media mewawancarainya. Beliau juga tak pernah melupakan pengetik tuanya. Suara tak tik tak tik-nya padu dengan geming cuaca. Ketika mendengarnya, dia terkenang masa lalunya saat masih menjadi penulis muda. Inspirasi yang sempat mandeg di kepalanya, kembali mengalir.
Sebagai penulis, koleksi buku Eyang ternyata tidak terlalu banyak. Di rumahnya, hanya ada satu rak yang mungkin berisi seratusan judul saja.
“Bertahun-tahun lalu, Eyang mempunyai lebih banyak buku. Semuanya tersimpan rapi dalam lemari-lemari yang tingginya hampir mencapai langit-langit. Koleksi Eyang mungkin mencapai ribuan. Namun, setelah membaca puisi karya Borges, Eyang mulai menyumbangkan sebagian besar buku pada siapa pun yang membutuhkan, termasuk papamu, dan hanya menyisakan sedikit yang sangat Eyang sayangi,” jawab Eyang ketika Nitara bertanya.
“Seperti apa bunyi puisinya?”
Ada sebaris kalimat Verlaine yang tak kuingat lagi,
Ada jalan di dekat sini yang tak bisa dilalui kaki-kakiku lagi,
Ada cermin yang telah melihat wajahku untuk yang terakhir kali
Ada pintu yang telah kututup untuk penghabisan kali,
Di antara buku-buku di perpustakaanku
Ada beberapa yang takkan pernah kubuka kembali.
“Jika ada buku yang sudah lama berdebu di sudut rak, biasanya Eyang bersepeda menuju rumah Penyair Desa, dan menyumbangkannya. Karenanya tak heran jika di Perpustakaan Bambu, ada banyak buku dengan nama ‘Hora’ di halaman muka. Eyang juga kerap menukarnya dengan meminjam buku lain di tempat yang sama, dan pulang dengan sekantung judul yang Eyang sebut harta karun.”
Semenjak Nitara datang, petualangan Eyang di Negeri Perasaan ditunda sementara, digantikan dengan adaptasi cerita-cerita lama yang tokohnya diganti menjadi Gadis Kecil—sebut saja namanya Tara. Salah satu yang paling Nitara suka adalah dongeng tentang bintang laut yang Eyang ceritakan beberapa sore lalu. Ada yang pernah mendengarnya? Begini ceritanya.
Pada suatu subuh yang masih bermandikan embun, seorang gadis kecil bernama Tara, berdiri menghadap laut. Di pesisir, ada ribuan bintang laut yang terjebak. Didorong perasaan iba, Tara mengambilnya satu dan mengembalikannya kepada ombak. Dia melakukan hal yang sama berulang-ulang, hingga matahari mulai muncul di timur, menyapa dengan cahayanya yang lembut.
Seekor camar datang dan mendekatinya, lalu bertanya dengan suaranya yang serak tetapi dalam, “Kenapa kau buang-buang waktu? Ada banyak sekali bintang laut di sini, mustahil perbuatanmu mampu menciptakan perbedaan!”
Tara merenungkan sejenak kata-kata si burung. Namun, tak lama kemudian, dia mengambil seekor bintang laut dan melemparkannya kembali kepada laut, seperti yang sudah dilakukannya berulang kali. “Mungkin kamu benar, tapi setidaknya aku membuat perbedaan untuk yang satu itu!”
Entah kenapa, beberapa hari belakangan, hujan begitu sering turun merimbunkan seluruh kota. Langit yang semula hanya berawan, mendadak mendung, dan menumpahkan hujan yang tidak diawali dengan gerimis, melainkan langsung deras seolah tidak ingin memberi siapa pun kesempatan untuk berteduh. Tak terkecuali pagi ini. Cuaca yang mendadak muram membuat kelompok Panda Jawa langsung memarkir sepeda sesampainya di rumah Eyang. Nitara buru-buru mengambil handuk saat memandang teman-temannya hampir kuyup. Setelah mengelap rambut dan pakaian, Biru, Kuning, dan Merah memutuskan duduk di teras sambil memandang hujan yang menetes lembut membentuk semacam selubung. Tak lama kemudian, Eyang muncul di pintu dan tersenyum ramah. Biru, Kuning, dan Merah masih belum terbiasa melihat Eyang tanpa kostum Mario.
“Tara, kamu pernah bermain hujan?” beliau bertanya setelah mengempaskan badannya di kursi dan menyesap kopinya yang sudah mendingin.
“Belum pernah, Eyang. Soalnya bisa pilek—kata Mama.”
Beliau terdiam sejenak, lalu menjawab dengan penuh nostalgia, “Ketika mama masih seumuranmu, di rumah yang sama, di beranda yang sama pula, dia tak pernah menuruti larangan nenek. Jika hujan turun merimbunkan kota, dia merayakannya dengan menari dalam renyainya. Tak pernah sekali pun dia menjadi pilek. Sesudah kuyup, toh kamu bisa langsung bilas dengan air hangat. Kalaupun betulan pilek, kamu bisa langsung mengobatinya dengan bergelung nyaman di balik selimut, tentu setelah menelan sesendok obat sirup. Eyang pikir, kamu harus bermandi hujan setidaknya sekali, karena kalau sudah tua, apalagi seusia Eyang, banyak sekali yang tak bisa lagi kamu lakukan."
Mendengar kata-kata Eyang, Merah segera berlari dan berdiri di taman, kepalanya menengadah—merasakan hujan yang turun dengan lembut. Ribuan tetes air tumpah bagaikan shower di wajahnya, membasahi rambutnya dan melembapkan sekujur badannya.
“Ayo, Tara, tidak apa, kok,” kata Merah.
Nitara memandang Biru dan Kuning, seolah memohon persetujuan, tapi yang ditanya hanya mengangkat bahu.
“Aku bawa buku,” kata Kuning, seraya mengangkat tas selempangnya yang cukup besar. “Tapi tenang saja, aku bawa baju buat Merah, karena ada dua yang biasanya dia lakukan saat hujan—malas-malasan atau hujan-hujanan. Di kota yang selalu dirimbunkan gerimis, meski bukan musimnya, persiapan harus selalu matang. Siapa tahu langit seketika buyar menjadi badai.”
“Tara saja,” Biru menimpali.
“Hujan di sini berbeda dengan di kota. Lebih segar, dan bersih, karena belum tercampur emisi karbon. Aman.”
“Emisi kar—, apa?” timpal Biru.
“Di kota asal Nitara, ada banyak kendaraan yang asapnya mengendap di udara. Saat musim penghujan tiba, hujan jadi mengandung asam karena bercampur dengan polusi. Tapi di sini aman.”
Tentu saja Nitara tidak terlalu mengerti dengan penjelasan Kuning, tapi dia menurut. Dengan perlahan, tanpa mengenakan sandal, dia masuk dalam deras. Rerumputan basah menggelitiki telapak kakinya dan memberikan sensasi geli yang menyenangkan. Dia melangkah pelan menyusul Merah yang sedari tadi menunggu seraya menjulurkan tangannya. Keduanya segera berlari di jalan yang diteduhkan rindang, menikmati tetes air yang membasahi seluruh tubuh. Nitara berlari dengan gembira di samping sahabatnya.
Kuning dan Biru duduk di teras seraya menendang-nendang udara. Sambil mengisi waktu, Eyang menceritakan dongeng singkat yang segera menemui kata ‘tamat’ setelah Nenek datang mengantarkan sepiring kudapan dan dua cangkir teh susu.
“Kamu tinggal di kota mana?” Merah menggenggam tangan Nitara.
“Kak Kuning belum cerita?”
Merah menggeleng.
Nitara menyebutkan nama suatu kota yang tak asing di telinga Merah, karena dia kerap mengunjunginya saat libur Natal bersama keluarganya—kota yang indah dengan gemerlap lampu beraneka rona saat malam, tapi entah kenapa terlihat begitu kelabu di bawah terik siang.
“Kamu senang berlibur di sini? Tidak bosan?”
Nitara memejamkan mata. “Enggak, kok. Sebaliknya, Tara senang berkenalan denganmu, dengan Kak Kuning, dan dengan Kak Merah. Nama kalian lucu.”
“Di Power Rangers, Merah biasanya memimpin,” kata Merah dengan nada bangga, seraya memeragakan pose Ranger Merah favoritnya. “meski dalam kelompok kami, pemimpinnya justru Biru.”
Nitara tertawa. Mereka duduk di bangku yang disediakan di pematang jalan. Hujan yang semula masai, menjadi stabil, meski tak berkurang derasnya.
“Seperti musim gugur,” kata Nitara, saat memandangi daun-daun jingga yang berjatuhan di sepanjang jalan. Seperti lukisan pemandangan, dan kamu berada di luar bingkainya. Kamu memperhatikan setiap garis dan warna dengan saksama, lalu dikuasai perasaan haru yang entah apa namanya. Dan kamu menyesal karena tidak pandai menggambar.
Merah, yang tidak dapat melihat dan memahami kata-kata Nitara, hanya duduk bergeming di sebelahnya. Karena hujan semakin lebat dan bibir Nitara mulai bergetar, Merah mengajaknya pulang. Sesampainya di rumah, papa dan mama sudah berdiri di teras berkanopi, mengobrol dengan Biru dan Kuning.
Nitara sedikit gentar melihat mamanya yang bersedekap menghadapnya. Dia takut dimarahi. Namun, bagaimana mungkin Nitara mampu menahan godaan? Memang, memandang tetes-tetes air yang jatuh di jendela apartemennya selalu mampu membuatnya sentimental. Terkadang, dia senang menyentuh rinainya dengan jemari ketika berdiri di teras jemuran. Namun, baru sekarang dia merasakan hujan. Merasakan setiap tetesnya, pelukannya, dan mengalaminya. Dengan langkah gontai, dia menghampiri mamanya. Syukurlah, rasa cemasnya tidak beralasan, karena yang ditakutinya tak pernah terjadi. Mamanya justru tersenyum geli, seolah tak mampu lagi menahan tawa. Putri semata wayangnya begitu mirip dengannya ketika masih kanak-kanak, dan Merah persis suaminya. Getar nostalgia tumbuh di benak mama dan membuatnya melangkahkan kaki menerabas hujan, yang disusul gelengan kepala papa.
“Ma, ingat umur.”
“Tapi umur hanya angka.”
“Tapi umur hanya angka!” Papa segera membalasnya dengan mengejar mama.
Nitara hanya termangu memandang papa dan mamanya menari di bawah hujan. Siapa sangka, mereka bisa begitu kekanak-kanakan, tapi dia menyukainya. Mereka terlihat indah dan bahagia. Bukan berarti sebelumnya tidak bahagia, hanya saja—, jika Nitara saja tak mampu menjelaskannya, apalagi aku. Biru memandang Kuning seraya mengangkat bahu, lalu menyesap habis susu cokelatnya.
Dasar bocah, kekeh mereka.
Hei!
Hujan masih turun ketika Nitara dan teman-temannya duduk bersantai di teras. Sudah tidak sederas tadi, tapi masih menganginkan gerimis. Ritmis dan melanutkan suaranya, berguguran di genting dan talang. Beberapa tetesnya membentuk sungai kecil dengan desir yang merayu. Jika kau sudi memejamkan mata, dan menajamkan telinga, dapat kaudengar kicau burung bersahutan di suatu jarak yang tidak begitu jauh. Dan tak hanya satu. Mungkin puluhan, bahkan ratusan.
Matahari yang tertutup awan membuat langit hampir seluruhnya gelap, angkasa bagai bagian dalam cangkang kerang. Obrolan yang diselingi gelak tawa, perlahan pudar dan mengendap dalam senyap. Namun, bukan senyap yang menyesakkan. Menenangkan, justru. Tak ada satu pun kendaraan yang melintas di depan rumah. Padahal biasanya tak pernah sepi. Sekalipun sepi, tak pernah begini sepi. Setidaknya, masih ada sepeda-sepeda saling sapa dengan kerincingannya yang jernih. Namun kini, hanya sesekali terdengar ketuk hiasan bambu yang dipermainkan angin.
Setelah mendongeng singkat, Eyang memasuki ruang kerjanya. Suara mesin tiknya menembus jendela, berpadu dengan gerimis, seolah membawa kembali yang telah lalu. Papa dan mama Nitara, setelah puas bermandi hujan, langsung memasuki rumah, dan tidak keluar lagi. Di teras, hanya ada anak-anak dan Nenek yang duduk di pojok sebelah pintu. Nenek tidak banyak bicara, hanya sesekali senandungnya terdengar menebas hening. Sepertinya lagu lama. Nyanyiannya begitu padu dengan suara hujan di latar belakang, dan begitu membius sehingga membuat Biru menjadi lembam dan mengantuk, meski lebih karena kenyang. Kuning membuka-buka buku sketsa Kak Farah yang dipinjamnya, Nitara dan Merah ikut mengintip sambil sesekali berdecak kagum.
Hujan masih turun.
Hujan turun tanpa henti. Detik jatuh tanpa suara, tapi tak ada yang merasa diburu-buru. Di kebun bunga, rinainya memeluk. Di kelopaknya, mengilau.
Pagi terpantul jelas dalam kristal-kristal embun. Di dalam hati, ia menjelma puisi yang tak henti-henti ditulis. Di lubuk jiwa, ia menjadi yang menghidupkan. Dan seketika, tak terdengar suara selain hujan, seolah di luar sana hanya ada hujan. Nitara memandangnya takjub. Segenap indranya terbuka. Terkenang kembali ketika dia memandang tetes-tetes air yang merenjis di jendela apartemennya. Samakah dengan di sini? Dia tidak begitu yakin. Hujan di sana terdengar berat dan sarat, tapi juga sepi. Namun, di sini berbeda. Hujan seolah merimbun dan menghidupkan segala yang disentuhnya. Tetesannya bagai alunan nada dan mendentingkan tala. Dia bahkan dapat mendengarnya membentuk simfoni.
Benar, aku dapat mendengarnya.
Dia berjalan dengan langkah-langkah lebar memasuki ruangan dan membiarkan teman-temannya termangu. Tara kenapa?
Nitara memutar kenop salah satu pintu di ruang tamu, melompati ubin dengan warna berbeda, lalu mengambil tas yang diletakkan di samping meja jati—meja yang dulu dipakai mamanya saat seusianya. Dia membuka risletingnya dan mengemban isinya, lalu mengencangkan bow-nya, serta mengolesinya dengan rosin. Dia tidak mengingat biolanya ketika berangkat berlibur, tapi syukurlah papa dan mama membawanya. Mungkin mereka tahu, di sini segalanya bisa menjadi lagu, dan Nitara pasti senang memetiki nadanya satu persatu. Dalam beberapa jenak, gadis mungil itu sudah muncul di teras dengan mengemban peralatan musiknya, lantas memainkan sebuah lagu yang tidak pernah didengar siapa pun. Lagu pertama yang diciptakannya sendiri, dan jelas bukan yang terakhir. Di ruang kerja, suara ketikan Eyang seketika terhenti. Tertegun, dia berjalan menuju beranda dan menatap cucunya dengan jari bergetar. Di sampingnya, Nenek hanya tersenyum dan memejamkan mata, menikmati setiap alun lagu yang terangkai indah. Papa dan mama menyusul di belakang. Panda Jawa tak kalah senyapnya. Namun, Nitara seolah tidak peduli dan terus memainkan biolanya.
Satu menit, dua menit, tiga menit. Mama segera mengambil alat perekam dan menyalakannya. Matanya berkaca-kaca, tapi jua bahagia. Empat menit, lima menit, enam menit. Detik telah berubah menjadi simfoni ketika Nitara menyelesaikan nada terakhir. Hujan sudah hampir berhenti, hanya menyisakan gerimis tipis-tipis ketika suara tepuk tangan menggemuruh.
Nitara menunduk menyembunyikan rona merah di pipi.
“Kamu hebat!” kata Biru.
“Keren!” Kuning menimpali.
Merah hanya ber-oh sambil melongo.
Di depan pintu, Mama tak mampu berkata-kata, tapi bahasa tak selalu harus diungkapkan dalam kata, bukan? Bisa juga dengan pelukan. Semuanya berdiri melingkari Nitara yang tersenyum girang, terkejut dengan sambutan yang didapatkannya. Merah langsung bertanya, apa judul lagunya? Namun, yang ditanya hanya diam seraya memandang halaman. Matahari mengintip dari balik awan. Lapisan dalam kulit kerang seolah terbuka, dan menyajikan hamparan biru yang menyenangkan. Hangat menjalar di sekujur tubuh. Hujan, jawab Nitara. Judulnya Hujan.