Jalan Setapak Menuju Rumah

Rafael Yanuar
Chapter #8

Dalam Unggun Dongeng

Malam berkemah akhirnya tiba. Sebelum matahari terbenam dan senja memadamkan seri, tenda telah dipasang. Anak-anak menempati ruangan di dalam pondok, sementara yang lebih tua membangun tenda di sampingnya. Ada dua kemah yang disediakan—satu untuk papa dan mama, sementara yang lainnya Eyang dan Nenek Hora. Ada kayu bakar kecil yang juga berfungsi sebagai kompor darurat. Menu yang dimasak tentu saja beraneka ragam. Soto, kari, hingga ayam bawang, tapi semuanya dalam bentuk mi instan. Nikmatnya bertambah dengan campuran telur dan sayuran. Sebagai penyedap dan kaldu, nenek memasukkan kulit ayam dan bawang putih ketika merebus. Tentu tersedia nasi juga, dalam periuk yang mengepul hangat, dan terasa pulen dan manis. Terhidu sisa-sisa aroma arang pada uapnya, yang herannya justru menambah selera. Sayangnya, tak ada yang menyadarinya—mengawali segalanya dengan makan, hanya membuat badan jadi enggan bergerak. Perut kenyang, mata lembam, kantuk datang.

Kursi disusun di seputar perkemahan, dan tidak ada yang memakainya. Semuanya lebih senang duduk beralaskan rerumputan seraya menyelonjorkan kaki. Cahaya meredup setelah malam datang. Udara mendingin dengan cepat. Kabut meruap di tanah, putih kelabu warnanya. Penerangan yang tersisa tinggal setumpukan kayu bakar kecil, dengan desar yang memercikkan kembang-kembang api. Bulan lebih sering tertutup awan, cahayanya meleleh di sudut-sudut mega. Maka, semuanya, bukan hanya anak-anak, memandang Eyang dan memohonkan sebuah dongeng. 

Eyang tidak mempersiapkan dongeng apa pun, tapi tergerak juga hatinya. Adakah sesuatu yang bisa diceritakan? Dongeng yang cocok dengan suasana malam ini? Beliau memandang sekitar, membuka seluruh indranya. Matanya menatap bintang-bintang yang tak terlampau banyak karena tertutup mega.

Awan sudah kehilangan warna semenjak matahari terbenam seluruhnya. Angin terasa membawa hujan, tapi tak ada tanda-tanda cuaca akan berubah. Gemercik sungai menyejukkan suasana. Derik jangkrik dan tonggeret sayup membuai. Unggun menggigil bagai seorang anak terjaga di pagi yang dingin. Mungkin ada puluhan bunyi di luar sana, tapi hanya menggemakan hening.

“Bagaimana kalau aku saja yang bercerita?” bisik Kak Farah, seolah tak ingin mengganggu sunyi yang mengisi udara. “Aku ingin mendongeng buat Eyang. Sebagai balasan untuk kisah-kisah yang Eyang ceritakan padaku.”

Eyang tersenyum dan tak mampu menyembunyikan rasa bahagianya, “Boleh. Sudah lama juga Eyang tidak didongengi.” Dan beliau benar. Beliau tak ingat lagi, kapan terakhir kali seseorang menyampaikan dongeng padanya.

Ada satu masa ketika kita beranjak dewasa dan meninggalkan dongeng-dongeng masa kecil kita. Kita bertumbuh dan mempelajari hal-hal baru; menerima pengetahuan-pengetahuan baru. Bintang-bintang di langit bukan lagi peri-peri. Hujan hanya peristiwa alam biasa, bukan air mata yang diteteskan malaikat. Kita pun tahu yang terbenam dan terbit bukanlah Matahari, melainkan Bumi. Matahari diam di peraduannya, Bumilah yang bergerak mengitarinya. Kita tumbuh besar, meninggalkan masa kanak-kanak, dan mulai menolak keajaiban yang tak pernah jenuh ditawarkan hidup. Namun, ketika sudah jauh berjalan, pada akhirnya kita sampai pada suatu titik, ketika kita ingin membuka kembali dongeng-dongeng yang dulu pernah menghias malam-malam sepi, dan menjalani mimpi-mimpi yang tak lagi sekadar mimpi. Sekali lagi.

“Seperti apa dongengnya, Kak?” tanya Nitara, yang entah sejak kapan sudah duduk di pangkuan Kak Farah. Eyang tersenyum, sepertinya beliau harus pasrah menyerahkan dongeng yang sebentar lagi diceritakan Kak Farah, pada cucu semata wayangnya.

“Aku pertama kali mendengarnya ketika mengunjungi rumah Kak Peri di sempadan hutan. Dia menyampaikan padaku sebuah kisah, tentang Perempuan Berambut Perak.”


Perempuan Berambut Perak 

Syahdan, di permukaan batu besar di tengah luas padang, perempuan berambut perak duduk termangu tanpa mengucapkan sepatah pun kata. Dalam rembang petang sehabis hujan, matanya lembut menatap langit yang masih terkatup mendung. Rambutnya yang putih sehalus gerimis, berayun tertiup kesiup angin yang ritmis. Air mata, sungai mungil yang menyimpan kedalaman itu, meninggalkan jejak kelabu di pipinya. Di sekelilingnya, terhampar kekar hutan cemara yang derai daunnya terdengar sampai jauh. Dia sudah ada di sana untuk waktu yang lama—lebih lama dari yang mampu kauduga, sebab tubuhnya mulai sedikit transparan.

Pada zaman yang tak tercatat waktu, dia senantiasa diselubungi duka dan isaknya menggema tiada jeda. Namun, setelah hatinya diselubungi tenteram ingatan, tangis tak lagi membasahi matanya. Kenangan, ternyata, tak ada bedanya dengan perjumpaan, sekalipun tak lagi tersentuh jemari. 

Kini, dia mengisi harinya dengan memandang kupu-kupu bersayap kuning yang lahir dari rahim matahari. 

Saat senja beranjak lalu, dan malam berjalan dengan gaun hitamnya, dalam senyap cuaca, dia belajar tersenyum pada rembulan yang selendang cahayanya memeluk tanpa pamrih.

Bertahun-tahun silam, ketika hidup manusia masih sederhana, dia kerap mengunjungi rumah di pinggir desa yang dihuni sebuah keluarga. Sekalipun tak mempunyai harta berlimpah, tawa ceria senantiasa hadir di tengah mereka. Sang ibu tidak mampu melihatnya, hanya dapat merasakan hadirnya. Namun, buah hatinya—satu lelaki dan satu perempuan—masih celik matanya menangkap hal-hal di luar indra. Kata mereka, dia begitu cantik, laiknya peri yang diceritakan dongeng-dongeng tua. Tatapnya lembut tapi menyimpan ketenangan yang begitu dalam, geraknya halus, namun teguh. Hanya saja, dia nyaris tidak bersuara dan enggan mengatakan apa pun. 

Sehari-harinya, perempuan berambut perak mengenakan jubah panjang yang mengalun lembut seayun kaki melangkah. Walaupun bergerak sepanjang hari, busananya senantiasa sehalus dan sebersih cahaya fajar—seolah noda lenyap segera begitu menyentuhnya. Dia senang bermain bersama anak-anak dan mengembannya, serta berkejaran di pematang, hingga dua-duanya terlelap dalam pangkuannya. 

Dia kerap membantu sang ibu membersihkan rumah dan memetik sayur ranum di kebun. Sang ayah, yang pulang selepas matahari terbenam, sama sekali tidak dapat melihatnya, tapi dia percaya dan menganggapnya roh leluhur. Dia tak pernah lupa meletakkan sesajen di pintu rumah, yang diterima dengan hati gembira. 

Saat malam menjelang, perempuan itu berjalan di hutan dan menghilang di balik kabut. Tak ada yang tahu apa yang tersembunyi di sana. Dan, sekalipun mencari sekuat daya, mustahil manusia dapat menemukannya. Ada semacam mantra yang menyelubunginya sejak manusia masih begitu muda. Siapa yang mengucapkannya sudah dilupakan waktu, tapi sihirnya akan bertahan hingga akhir zaman.

Tapi, jika kau benar-benar penasaran, bunga kecilku, biar kubisikkan sedikit yang aku tahu. 

Kabarnya, terdapat sebuah ranah yang begitu elok di dalam hutan, di balik kabut. Pelangi kekal menghias langitnya dan awan-awan yang putihnya begitu cemerlang melayang pelan sepanjang musim. Setiap penghuni memiliki rumah kecil—hanya gubuk beratap jerami—di ranting-ranting pepohonan yang sekuat beton. Bunga-bunga beraneka rona menghias pintunya. Serangga-serangganya bercahaya dengan berbagai warna. Ada semut yang berpijar merah muda, capung yang pendarnya keunguan, dan cicada yang redup-terang silih berganti. Satu di antaranya, kunang-kunang, sering terbang menembus kabut untuk menari-nari dalam lebat hujan. Mereka sering menyamar di antara arwah-arwah yang belum lama meninggalkan Bumi. Melayang, dalam kesunyian yang ditawarkan malam, sesaat sebelum fajar menyingsing. Tapi kunang-kunang pun jarang terlihat kini, mungkin karena Bumi semakin rusak karena ulah kita.

Pada mulanya, manusia dan penghuni hutan bersahabat erat dan hidup berdampingan. Meskipun di mata makhluk setengah kekal, umur kita mungkin hanya buih yang menghilang secepat datangnya, tak pernah sekali pun dipandang sebelah mata. Justru sebaliknya. Sejak mula, kitalah masalahnya. Dengan sifat serakah yang sudah diembannya sejak lahir, manusia merasa berhak atas seisi Bumi. Para makhluk hutan, lebih karena malas ketimbang takut, akhirnya membangun perlindungan di suatu ranah yang tak terlihat di peta agar tangan-tangan kita tidak lagi mengusiknya. 

Kini, setelah abad-abad berganti, secara perlahan kita mulai terputus dengan alam, melupakan hutan, dan menganggap hijau hanya satu di antara ribuan warna. Kita menciptakan kota yang dilengkapi gedung-gedung kelabu; membangun dinding yang memisahkan kau dan aku; menumbuhkan rasa curiga kepada dan di hati siapa pun. Kita jadi begitu menyukai angka, menilai segala sesuatu, secara otomatis menimbang untung dan rugi, serta tak lagi terhubung dengan makhluk di balik kabut—sementara penghuni Bumi selain manusia, kita dorong hingga jurang kepunahan, kecuali beberapa jenis yang kita butuhkan sebagai ternak—untuk dimakan, tentu saja—dan peliharaan. 

“Maaf jika aku bicara terlalu banyak, muram, dan melantur tak tentu arah. Tapi aku tak bisa mengabaikannya. Segalanya saling bertaut, berkelindan, mustahil diuraikan,” kata Peri yang menceritakannya padaku.

Bagi perempuan berambut perak, yang hidup sangat lama, tahun demi tahun berakhir secepat bergantinya malam. Seperti yang sudah aku sampaikan, takdir manusia begitu singkat, nyaris nirmakna, di mata keabadian. Tapi tetap saja, kehilangan sama di hati siapa pun. Ketika pada suatu pagi, dia terjaga di dunia yang berbeda—dan segalanya tak lagi seperti sedia kala, dia termangu tanpa kata.

Setelah suaminya meninggal, sang istri membawa anak-anaknya merantau ke pulau seberang, dan menetap di rumah keluarganya. Gubuk di desa dibiarkan kosong, tanpa ada seorang pun penghuni. Beberapa jenis serangga mulai membangun bahtera keluarga. Lumut menjalar di sudut dinding. Labah-labah dan angin bergelung di sudut ruangan. Langit-langitnya rapuh, jendelanya retak, atapnya terkikis cuaca. Rayap-rayap yang sepanjang hari menggerogoti kusen dan kasau, akhirnya menjadi laron yang meninggalkan serpihan sayap di mana-mana. Karena para tikus bertambah banyak, alam mengudang ular-ular untuk juga membangun sarang. 

Dikikis kerinduan, gadis berambut perak masih sering berkunjung dan menjenguk kenang-kenangan di dalamnya, meski yang dia temukan hampa belaka. Namun, sekuat apa pun daya, waktu yang sudah berlalu mustahil kembali. Segalanya hanya bayang-bayang pudar yang menghilang begitu kausentuh—desas-desus yang padam ditiup waktu. 

Alangkah malang nasibnya, terkutuk dalam kekekalan, merasakan sedih berulang kali. Apa benar, kebahagiaan hanyalah duka yang menyembunyikan wajah aslinya di balik topeng? Apa mungkin semua makhluk sejatinya sendirian—bahwa kesenangan, kebersamaan, dan segala perasaan hanya ilusi yang diciptakan keadaan? Saat kenyataan yang kaupijak runtuh, kau jatuh dan terus jatuh, tanpa sekalipun tahu apakah jurang itu berdasar. Kau pun menjadi makhluk pemurung yang senantiasa berduka. 

Berkeliling di hutan dengan mengemban air matanya sendiri, dia kerap mendapat sindiran agar tak lagi berhubungan dengan manusia. Teman-temannya senantiasa berkata, “Manusia—mereka makhluk menjijikkan dan rakus dan perusak, lihat apa yang sudah mereka lakukan pada kita—pada hutan ini, rumah kita? Mereka menebang pepohonan hanya untuk dijadikan kayu bakar, berperang dan saling membunuh satu sama lain hanya demi sepetak lahan yang sejatinya bukan milik siapa-siapa. Apa yang membuatmu begitu terikat pada mereka?” 

Tapi perempuan itu hanya diam dengan air mata yang sepertinya tak pernah mengering. Jubahnya yang dulu putih, seolah tak mampu tersentuh noda, mulai sewarna tanah. Rambutnya yang keperakan, perlahan berubah menjadi uban belaka. Hanya wajahnya yang masih memancarkan keelokan tiada tara, bagai embun di ujung daun yang menyegarkan—sekalipun semakin lama semakin menyerupai air mata. 

Dan berembuslah kabar itu.  

Di desa-desa yang terjangkit kekeringan akibat kemarau panjang, dia dianggap pembawa musibah. Barangsiapa mendengar tangisannya, berarti ajalnya sudah dekat, begitulah katanya, dan sebuah tuduhan kejam juga tersiar di seantero desa. Ada setan laknat yang mengutuk kita—dia menangis sepanjang malam, tapi aku yakin itu sebenarnya suara tawa. 

Pada suatu malam yang getir, dalam duka dan kelamnya sunyi, dia memutuskan pergi. Tapi ke mana? Dia tak ingin menetap di balik kabut, sebab bukan di sanalah hatinya berada. Tapi dia juga tidak diterima di Bumi. Di bawah purnama yang berkilau terik, dia duduk dan menangis. Air matanya mengalir di pipi. Dengan hatinya yang pedih, dia mengasingkan diri di sebuah padang, jauh dari peradaban, jauh dari tatap siapa pun.

Dan tahun-tahun berlalu, begitu cepat bagai kerdip mata. Dan pertikaian usai. Dan zaman berubah. Dan manusia menyongsong fajar peradaban yang menjauhi segala bencana. Kita pandang sejauh mata, kelaparan hampir punah, harapan hidup meningkat, tidak ada lagi kecemasan akan perang selanjutnya. Kehidupan relatif tenang dan damai. Apa yang dulu kuncup telah jadi pohon tinggi nan kekar. Apa yang dulu primitif, sudah tersentuh pembaruan. Sayangnya, di tengah kemajuan yang berhasil diraih, hampir semua sungai berhenti mengalir, laut kehilangan birunya, dan langit lenyap kesegarannya. Dunia seolah ingin mengatakan, kita telah sampai di ujung sejarah. Akan tetapi, ranah baginya berdiam bagai tak tersentuh waktu. Tetap sama seperti dulu—seperti berabad-abad lalu—kau boleh tidak percaya, Sayangku, tapi begitulah adanya, kau dapat merasakan segalanya berjalan lebih lambat di sekitarnya. 

 

Lihat selengkapnya