Jalan Setapak Menuju Rumah

Rafael Yanuar
Chapter #9

Bintang Kecil Gemerlap

Malam sudah larut ketika dongeng terakhir menemukan kata tamat. Kantuk mulai datang tanpa dapat dibendung lagi. Nitara berkali-kali menguap. Kuning malahan sudah bersandar di bahu Biru, dengan mata hampir terpejam. Kak Farah yang terbiasa tidur malam, masih melamunkan unggun yang hampir padam, tapi masih tersisa hangatnya. Namun, pemandangan yang datang setelahnya, membangkitkan lagi seri di hati. Seekor kunang-kunang muncul di balik semak dan berkelap-kelip di antara dedaunan dan bergemerlapan bagaikan bintang tak terbilang. Satu per satu beterbangan dan puluhan mengikutinya dan membuat suasana bertambah terang meski tak lantas menjadi terik. Awan-awan yang tadi menutup langit tersibak dan menghamparkan angkasa yang dihuni bulan raksasa.

“Ternyata cahaya kunang-kunang bukan kuning dan merah, tapi kuning-kehijauan, berkelap-kelip bagai lampu-lampu di pohon Natal," gumam Nitara. Dia memandang tak jemu pijar lembut itu, di hatinya senandung Malam Kudus menggema—meski masih pertengahan tahun. Dia memandang Kak Farah yang memangkunya—dan membalas tatapnya dengan mata teduh—lalu kembali memandang kunang yang semakin banyak tak terbilang. Sungguh pemandangan yang layak diabadikan dalam lukisan, tapi herannya, Kak Farah tak ingin melakukan apa pun, selain menikmati setiap momen yang gugur tanpa suara.

Sayangnya, kantuk bukan lawan yang mudah dikalahkan. Mata Nitara lagi-lagi terkatup, kepalanya lunglai, dan sedikit lagi malam membawanya memasuki alam impian. Melihat anak-anak sudah lelah, semuanya memutuskan tidur dan lelap. Papa dan Mama di tenda satu, Eyang dan Nenek di tenda dua, sementara anak-anak dengan pengawasan Kak Farah di dalam pondok. Suara yang semula hanya derik, bertambah gembita ketika ruak katak ikut meramaikan. Meski begitu, hening kembali membuana. Geming mengisi udara. Angin berbau hujan—meski, seperti pula berjam-jam lalu, tak ada tanda-tanda cuaca akan berubah.

Ketika anak-anak sudah terlelap, Kak Farah diam-diam keluar pondok dan duduk bersandarkan dinding. Hasrat melukis yang sempat hilang, kembali mengisi hatinya. Dia ingin membuka lagi buku-buku sketsanya, tapi matanya pasti lelah jika harus mencari seberkas pudar dalam gelap. Bisa saja dia menyalakan lampu senter yang dia bawa, lalu menggurat pensil dengan penerangan yang ditawarkannya. Namun, dia mengurungkan niat dan memilih duduk saja di pojokan. Dirapatkannya jaket dan tudung merahnya. Masih ada sekerumun kunang-kunang yang cahayanya tercermin di sungai, tapi kunang-kunang lain yang tak kalah indah memercikkan pijarnya jauh di sana, di permadani langit. Rembulan tampak kecil, cahayanya tak setajam tadi. Jam berapakah sekarang? Kak Farah termenung—bertanya-tanya. Karena tak tahu jawabannya, dia memilih tak peduli. Ketika waktu mengalir tenang di hati, detik-detik menjadi sekumpulan kesan belaka.

Bukit ini sudah sangat tua, dan pasti bukan aku yang pertama kali duduk di sini—memandang panorama yang sama, siapa tahu dengan perasaan yang sama jua.

Dia bersenandung ringan dalam remang malam.


Bintang kecil gemerlap, 

temani ‘ku terlelap. 

Jauh di langit sana, 

kau serupa permata 

Bintang kecil gemerlap, 

temani ‘ku terlelap. 

 

Saat sang surya pulang, 

sinarnya pun menghilang,

Kau tunjukkan cahyamu, 

s’panjang malam tak jemu,

Bintang kecil gemerlap, 

temani ‘ku terlelap

 

Lihat selengkapnya