Jauh sebelum matahari menyapa di beranda Timur, ketika langit masih gelap, dan hening membuana di antara rimbun, burung-burung sudah lebih dulu terjaga dan menganugerahi pagi dengan kicaunya yang lembut. Kak Farah membuka mata. Dia sering terlihat bosan dan mengantuk sepanjang hari, tapi tak pernah bangun terlambat, seringkali justru mendahului matahari. Namun, mungkin karena semalam tidak tidur terlalu larut, dia menyambut hari dengan penuh semangat. Pipinya cerah merekah, bagai bunga di pagi belia. Semula dia sedikit bingung ketika telinganya menangkap suara burung-burung saja, bukan dengan yang lain. Biasanya dia terjaga ketika ayam-ayam berkokok sebelum fajar—dan ayam-ayam memang selalu berkokok sebelum fajar, bukan pukul enam. Keluarganya tidak memelihara ternak, begitupun tetangganya, Kuning dan Merah. Namun, tangisan ayam-ayam senantiasa tedengar setiap pagi di sekitar kompleks rumahnya.
Dia membuka mata lebar-lebar tapi tak mampu melihat apa pun. Kiri dan kanannya hitam, langit-langit hanya kelabu kelam. Kak Farah mengangkat tangannya dan berusaha melihat jarinya, sedikit berhasil. Banyak tidaknya. meski begitu, lama-lama dia terbiasa dan mulai mengenali suasana di sekitarnya. Biru, Kuning, Merah, dan Chan masih terlelap di sisi kiri dan kanannya, dengan gaya tidur yang berbeda satu dengan yang lain.
Perlahan, Kak Farah duduk dan termangu, lalu mengambil senter di dekat bantalnya, lantas bernapas pelan-pelan, menarik-embuskannya tiga kali, dan tiga kali lagi, sebelum bangkit dan berjalan dengan ujung jari kaki menuju pintu. Diputarnya kenop tanpa menimbulkan bunyi, meskipun gagal, karena engsel yang lama tidak diminyaki bersuara lengket seolah enggan bergerak. Syukulah, tidak ada yang terjaga.
Dengan memeluk jaket merahnya, dan senter yang bersinar redup, dia menyeberangi titian sungai, lalu dengan hati-hati menapaki rute menurun di jalur setapak. Kakinya menginjak daun-daun basah dan ranting patah. Hidungnya menghidu dalam-dalam aroma pagi di sekitarnya—rongga dadanya menyambutnya dengan senang. Satu tarikan penuh, tanpa sesak. Segar sekali. Meskipun di sini bukit kecil belaka, saat menajamkan telinga, dapat didengarnya suara-suara lirih yang bersahutan, gaib sekaligus galib, menggema menorehkan sunyi—ruak katak, kicau burung, jangkrik, tonggeret, dan serangga-serangga malam, serta burung-burung pelatuk nun di kejauhan. Beberapa kunang-kunang masih menyisakan pendar yang sudah agak pudar. Kak Farah mengulurkan jari dan mematikan senternya sebentar, berharap ada satu yang hinggap, tapi harapannya pupus tanpa menumbuhkan rasa kecewa. Lalu dia teringat tujuannya semula dan kembali berjalan. Setelah melangkah tak begitu jauh, sampailah dia di depan bangunan dengan penerangan redup di depan pintu-pintunya. Kamar mandi umum. Tak ada yang menjaga, tapi seluruh ruangan di dalamnya bersih. Dia menciduk air di baskom, terasa dingin di tangannya.
Setelah selesai, Kak Farah menutup pintu kamar mandi dan memulai langkah kembali. Jalan menurun yang baru saja dilaluinya tidak membuatnya letih, tapi menyusuri jalan yang sama lumayan melelahkan. Dia mengusap keringat di kening dengan lengannya dan lega ketika melihat Pondok Kunang-kunang di puncak tanjakan. Napasnya meruapkan uap putih. Dengan langkah terburu-buru, dan sedikit melompat, dia menyeberangi titian dan memasuki pondok. Segera dipadamkannya lampu senter dan diambilnya selimut.
Mata kecilnya memandang langit-langit rendah. Ada satu wadah lampu yang tak lagi berlampu. Di kamar mandi yang baru saja dihampirinya, listrik masih menyala, berarti seharusnya di sini pun mungkin, tapi sepertinya sudah lama dicabut. Di sudut-sudut dinding ada lubang angin yang melancarkan sirkulasi udara. Hawa dingin masuk melalui celah-celahnya. Di seberang matanya jendela terkatup, tirai putihnya yang menghalangi pandangan tidak bergerak selambai pun. Dia menyalakan lampu charge di belakang kasur lipatnya, mengatur tingkat kecerahannya agar tidak mengganggu yang lain, lalu membuka-buka buku sketsanya sambil berbaring telungkup. Dia tidak menambahkan apa pun, hanya melihat-lihatnya, memperhatikan sketsa-sketsanya, dan mengalami apa yang ditorehkannya di permukaan kertas. Beberapa di antaranya dilengkapi catatan. Elaina juga menyumbang ceritanya di banyak gambar. Sering pula meminta Arella dan teman-temannya melengkapi lukisan yang dibuatnya. Hasilnya selalu berhasil mengundang tawa dan haru.
Ketika mendengar kerpas daun di luar pondok, dia mematikan lampu charge-nya dan berjalan menuju pintu dengan ujung jari kakinya. Ternyata udara sudah tidak terlalu dingin, jadi dia membuka tudung merahnya. Angin berembus di belakang telinganya. Angin pagi. Dia merapikan rambut panjangnya dengan tangannya, mengambil ikat rambut di saku jaketnya, lalu menyatukan rambutnya yang terurai dengan tangan kiri, dan menguncirnya dengan ikat yang dia selipkan di bibir dengan tangan satunya. Lincah sekali. Seolah sudah sangat dihapalnya. Senyumnya semingrah ketika menengadah. Langit menyemburat ungu, pertanda subuh sebentar lagi habis, dan pagi segera menggantikannya. Kak Farah menyukai pagi dengan perubahan warnanya—bias nila yang berganti lembayung, lantas berubah kelabu dan membiru. Eyang duduk di depan kemah, begitupun Nenek. Orang tua Nitara membuka risleting tendanya.
“Pagi, Farah.”
“Hai, Kek. Hai, Nek. Hai, papa dan mamanya Tara.”
“Hai, Farah.”
“Pagi-pagi sudah bangun? Padahal semalam tidur larut,” tanya Nenek, seraya mengedipkan matanya.
“Sebenarnya aku biasa tidur saat ganti tanggal, Nek. Jadi semalam termasuk ‘tidur sore’.”
Nenek tertawa. “Mau lihat matahari terbit?”
“Di sini?”
“Ada jalan menurun di depan sana. Di dekatnya, ada pagar yang menghadap pemandangan kota. Sehabis menulis semalaman, biasanya Eyang dan Nenek berdiri di balik pagar untuk menantikan seri matahari,” kata Nenek.
Eyang mengiyakan. “Tapi, rasanya tidak banyak berubah.”
“Benar, masih sama seperti dulu.
“Bagaimana, kamu mau ikut?” tanya Nenek.
Kak Farah mengangguk. Dia melihat papa dan mama Nitara.
“Kalian pergilah, kami mau menunggu anak-anak bangun,” kata papa Nitara.
“Siap, Om. Siap, Tante. Chan biasanya bangun pagi, sebelum jam enam sudah terjaga dan menyiram bunga-bunganya. Biru dan Kuning jam tujuh. Merah menunggu dibangunkan. Nitara—” Kak Farah bingung karena tidak tahu jam bangun Nitara.
“Jam tujuh,” kata mama Nitara seraya mendorong pundak Kak Farah. “Sudah, jangan khawatir. Pergilah sebelum matahari telanjur terbit.”
Kak Farah berjalan didampingi Eyang dan Nenek. Dia menggenggam tangan keduanya dengan perasaan rindu. Neneknya sudah lama tiada saat dia masih kelas tiga Sekolah Dasar. Dia tidak pernah mengenal kakeknya yang konon wafat dalam peperangan. Entah peperangan apa.
Ternyata, letak pagar yang disebut Nenek tidak terlalu jauh dan Kak Farah sering melewatinya ketika bermain bersama adik-adiknya. Di balik birai besi bercat putih yang sudah sedikit berkarat, dipandangnya langit di ujung ufuk yang menyemburat ungu, pertanda matahari sebentar lagi membuka mata dan menata hari. Tak ada yang bicara, seolah hendak menikmati momen tanpa harus diterjemahkan dalam kata-kata.
Kak Farah memandang takjub ketika matahari benar-benar melayang di atas kota, menajamkan segala yang semula hanya bayang-bayang. Bagai pelukis yang begitu lihai menyapukan kuas, cahayanya mewarnai seluruh bidang dengan sempurna. Lampu-lampu padam satu persatu.
“Bagaimana?” tanya Eyang.
Tapi Kak Farah hanya diam, tidak menjawab. Terbius pemandangan di hadapannya.
“Indah sekali, Eyang.”
“Kamu mau Eyang ceritakan satu rahasia lagi?”
Kak Farah mengangguk dengan semangat.
“Seluruh bukit di belakang sekolah sebenarnya milik sekolah. Pondok kecil itu dibangun, semula, untuk ekstrakurikuler Pramuka, termasuk kamping, tapi sudah lama tak lagi dipakai. Karena mengenal baik kepala sekolah dan pengurusnya, Eyang kerap meminjamnya sebagai rumah menyepi saat tidak digunakan. Rasanya menyenangkan menulis di sana, seolah terisolasi dari dunia.”
“Benar, Eyang. Semalam, aku ingin sekali menggambar, tapi karena terlalu gelap, aku memutuskan memandang langit saja—dan ternyata menyenangkan.”
“Kamu menyukai langit?”
Kak Farah mengangguk. “Saat memandangnya, aku langsung membayangkan, bagaimana mengubahnya menjadi lukisan, dan pikiranku seperti melakukan perjalanan penuh petualangan—mencampur dan memilah warna—sebab tak ada warna yang sama, bukan? Melukis membuatku menemukan hal baru di mana pun berada. Melukis membuatku menyadari, begitu banyak hal di dunia yang menakjubkan.”
“Contohnya?”
“Aku sering bertanya-tanya, bagaimana mungkin langit yang beberapa menit lalu berwarna lembayung, berubah menjadi biru?”
Eyang merenungkan kata-kata Kak Farah. Dibetulkan kacamatanya yang retak sebelah.
“Kita bisa mencari tahu jawabannya di buku—hampir semua misteri sudah dipecahkan ilmu pengetahuan. Namun, mungkin mencarinya di dongeng-dongeng tua bukan suatu kesalahan.”
“Dan, karena siang sudah hampir menjelang, bagaimana kalau kita pulang?” ujar Nenek. “Siapa tahu anak-anak sudah terjaga.”
Eyang dan Nenek berjalan membelakangi matahari, menyusuri setapak yang sedikit menanjak, sementara Kak Farah, yang semula berada di antara, melambakan langkah dan berjalan beberapa jarak di belakang. Dia memperhatikan sekitar dengan tangan di punggung. Kuncirnya berayun kiri dan kanan seiring gerak. Dia membuka risleting jaket merahnya karena udara mulai hangat. Setelah matahari melintas di langit, waktu terasa lebih gegas. Tahu-tahu pagi sudah sepenuhnya naik dan berlalu secepat datangnya, seolah buru-buru.
Ketika kakinya mencapai dataran terbuka dengan suara air yang jernih, Kak Farah melihat Kuning dan Biru duduk seranggung di depan kandang Cing yang mengeong pelan, sementara Chan melihat bunga-bunga yang tumbuh di sisi sungai. Papa dan mama Nitara duduk di dekat sisa-sisa api unggun kecil—atau kompor darurat, tergantung bagaimana kamu melihatnya. Tenda sudah dibereskan dan sepertinya disimpan di mobil yang diparkir di area terbuka—letaknya tidak jauh, hanya beberapa meter dari perkemahan. Kak Farah menyapa adik-adiknya.
“Hai-hai!”