Esoknya, ketika matahari mengawali pagi dengan cahayanya yang lembut, Peri membuka hari dengan menyapu seisi perpustakaan, lalu memasak sarapan. Menunya sederhana saja, sepiring nasi dan telur urak-arik. Nenek sudah menyediakan teh di salah satu meja baca di samping jendela. Pagi di bukit bambu selalu sarat dengan kersik dedaunan dipermainkan angin. Tentu ada kicau burung yang bersahut-sahutan di antara rimbun, tapi teredam suara dahan yang beradu dirayu angin.
“Selamat pagi, Nek,” sapa Peri dengan senyuman.
“Pagi, bunga kecilku.”
Peri menyajikan sepiring sarapan di depan neneknya dan menata cangkir teh, lalu duduk di hadapannya. Dia selalu suka saat neneknya memanggilnya ‘bunga kecil’, sebesar rasa sukanya dipanggil ‘Peri’—dua julukan yang diberikan dua manusia yang paling disayanginya. Sejak dulu, neneknya bukan pribadi yang senang berbicara, kecuali saat menceritakan dongeng-dongeng yang konon, dan memang hanya konon, dipetik langsung dari pengalaman hidupnya. Ketika Peri masih kecil, Nenek menenangkannya dengan kisah-kisah yang dia piturkan hampir setiap malam. Terkadang, Peri juga membawanya ke dalam mimpi.
Meskipun jarang bicara, bukan berarti nenek sosok yang dingin. Justru sebaliknya. Ketika bersamanya, suasana tenteram hadir tanpa membutuhkan sepatah pun kata. Peri tak pernah gelisah, meski sunyi belaka yang membuncah di antara mereka. Nenek pernah berkata, dan dia sangat mengingatnya, “Dunia seringkali ironis. Hanya dalam kondisi tanpa cahaya, kita dapat melihat cahaya. Hanya dalam keheningan, kita mampu saling mendengarkan.”
Peri memandang jendela yang mulai hangat karena matahari memancar lembut di sisinya. Langit cerah dan awan seputih bulu domba merenangi angkasa.
“Mungkin sebentar lagi,” bisik nenek.
“Apanya, Nek?”
“Hujan.”
Tak ada satu pun mendung di angkasa, bagaimana mungkin hujan turun sebentar lagi? Namun, Peri hanya tersenyum dengan perasaan maklum. Meskipun kata-kata neneknya sering menumbuhkan tanya, dia tidak meragukannya sedikit pun. Dulu, dia takjub dengan kemampuan nenek membaca cuaca—yang seringkali tidak selalu tersirat jika hanya dipandang dengan mata. Ketika dia bertanya, nenek hanya memberinya jawaban enteng yang lantas membuatnya tertawa, “Lo, Nenek mendengarnya di radio, kok. Tidak ada yang ajaib.”
“Aku pikir nenek bisa meramal,” ujar Peri, terkekeh.
“Memang tidak bisa, tapi nenek bisa sihir,” jawab Nenek.
“Sihir?”
Nenek mengangguk, “Tentu saja nenek bisa sihir. Kamu juga. Apa yang nenek berikan padamu dan kamu berikan pada nenek, adalah sihir. Cinta itu, Peri, adalah sihir—sihir kecil yang seharusnya dikuasai semua manusia. Cinta dapat membuat dunia yang kita tinggali menjadi tempat yang lebih baik.”
Peri tersenyum semingrah. Dia selalu suka saat neneknya mengatakan sesuatu yang bersayap. Tanpa sengaja, Peri meniru gaya bicaranya di kemudian hari. Dia kerap dikenal di sekolahnya sebagai ‘gadis pujangga’ karena kosakatanya yang menyerupai puisi. Namun, adakalanya dia juga dianggap ‘unik’ karena sifat naifnya yang berlebihan—dan membuat predikat ‘pujangga’ yang diembannya harus bergeser menjadi ‘pelamun’. Peri bisa memandang sesuatu, misalnya pepohonan—atau langit—atau apa pun—selama bermenit-menit tanpa terganggu. Kecenderungan serupa sudah dimilikinya sejak kecil. Akan tetapi, nenek tidak pernah mempermasalahkannya, malah seringkali ikut duduk dan menyamakan sudut pandang, melihat apa yang cucunya lihat.
“Jadi, kira-kira apa yang dipikirkan anak lima tahun ketika memandang langit?” Peri mengingat pertanyaan neneknya dulu.
“Cacing, Nek.”
“Cacing?”
“Iya, ada cacing-cacing tembus pandang yang jatuh di udara. Itu apa, ya?”
Neneknya tertawa dan mengelus-elus rambut Peri, “Sayangnya, nenek tidak tahu.”
“...”
Peri melamun dengan rasa penasaran yang mendesak hati.
Ada banyak ‘tidak tahu’ lain yang neneknya katakan, tapi bukan berarti neneknya menyerah begitu saja. Biasanya, setelah Peri menanyakan sesuatu, beliau mencari tahu dengan membuka buku-buku di perpustakaan. Jika sudah menemukan jawabannya, beliau pasti mendatangi Peri.
Nenek tidak keberatan dianggap tidak serbatahu, malah berusaha sejujur mungkin—memang banyak yang belum dia ketahui, bahwa hidup ini masih merupakan misteri yang tak terselami. Jagalah rasa takjub agar hidup tak menjadi rutinitas belaka, begitulah neneknya pernah berkata. Sebanyak apa pun tahun yang telah dilalui, selalu ada sesuatu yang menumbuhkan decak kagum, selalu ada keajaiban-keajaiban baru.
Adakalanya Peri memperhatikan sesuatu hanya untuk membuatnya kembali pada masa kini—terutama saat benaknya dipenuhi penyesalan dan kecemasan. Melihat dengan matanya menciptakan suatu momen meditatif yang menenangkan. Terkadang dia melihat objek yang kosong dan hening untuk meredam pikirannya sendiri.
“Kenapa ada yang meninggal begitu cepat seperti mama dan papa, dan ada yang berumur panjang seperti nenek?” tanya Peri suatu hari, ketika dia masih duduk di kelas tiga Sekolah Dasar.
Neneknya tertegun. Dia harus berhati-hati memilih kata-kata karena dia sendiri tidak begitu mengerti, tapi merasa harus menjawabnya. Namun bagaimana?
“Nenek selalu membayangkan, barangkali hidup sama dengan berlayar. Masing-masing manusia mempunyai kapalnya sendiri. Nenek punya satu, Peri juga, begitupun mama dan papa. Setelah lama mengarungi lautan dengan segala suka dan dukanya, Tuhan menyediakan kematian sebagai dermaga—perhentian terakhir, tempat kita tak perlu ke mana-mana lagi. Beberapa sampai lebih dulu, beberapa harus terus mengarungi ombak dan badai sebelum saatnya tiba.
“Hidup juga bagai sebuah dongeng—yang terpenting bukanlah seberapa lama kita menceritakannya, melainkan seberapa baik. Jauh lebih berharga bagaimana kita menjalani hidup, ketimbang memikirkan panjang pendeknya usia.”
Sarapan telah selesai dan piring telah dibereskan. Nenek benar, langit yang semula cerah, perlahan berubah kelabu. Aroma petrikor langsung mengendap dan meruap di udara. Peri meletakkan kembali wadah air yang sudah disiapkannya untuk menyiram bunga-bunga dan berdiri di sebelah pintu perpustakaan. Nenek di sampingnya. Dia, sama seperti dulu, mencoba menyamakan pandangan dengan cucunya.
“Sedang melihat apa?”
“Kupu-kupu kuning, Nek.”
“Mau menceritakannya pada nenek, apa yang benar-benar kamu lihat?”
Peri memandang neneknya dan tersenyum. “Ketika pagi mendadak mendung, dan awan kelabu menghalangi cahayanya, ada seberkas sinar yang gugur ke tanah dalam satu garis miring,” ujar Peri, seraya menunjuk suatu jarak. “Di dalam cahaya itu, ada tiga ekor kupu-kupu bersayap kuning yang muncul begitu saja. Mungkinkah itu anak-anak matahari, Nek?”
Neneknya tertawa. Cucunya tak banyak berubah. Sebanyak apa pun waktu yang berlalu, hatinya tak pernah beranjak dewasa. “Nenek sempat berpikir bahwa matahari adalah jantung kedua nenek—dan berarti jantung keduamu juga. Kita semua berbagi jantung yang sama. Jika matahari suatu saat memadamkan cahayanya, kita pun ‘padam’. Namun, setelah mendengar kata-katamu, nenek mulai berubah pikiran. Mungkin sudah saatnya kita menganggap Matahari sebagai Ibu dan kita semua adalah anak-anaknya.”
Peri meletakkan tangan di belakang punggungnya, “Padahal aku hanya memikirkan kupu-kupu kuning, Nek, bukan yang lain, tapi nenek selalu bisa menemukan ‘yang lain’ dalam setiap perenunganku.”
Ketika angin membawa harum hutan, terdengar riuh riang di kejauhan.
“Sepertinya, sebentar lagi kita kedatangan tamu,” ujar Peri begitu mendengar suara yang begitu dikenalnya.
“Suatu keberuntungan,” Nenek tersenyum.
Perlahan-lahan, terlihat jua apa yang dinanti—empat anak menaiki dua sepeda dengan berboncengan sepasang-sepasang. Peri menoleh pelan dan menyembunyikan senyumnya di balik tangan. Ketika sampai di pondok perpustakaan, tetes hujan pertama jatuh membasahi Bumi. Kuning, yang segera turun disusul adiknya, Merah, merentangkan tangan dan berteriak, Safe! Peri hanya tertawa dan mengambil ‘topi becak’ Biru, yang juga melompat turun setelah Nitara menuruni sadel penumpang. Dia memakai topi lemas Biru di kepalanya, tapi langsung mengembalikannya karena tidak muat. Merah dan Nitara, seperti biasa, hanya berdiri ‘anteng’ di samping kakak-kakaknya yang heboh.