Hujan sudah reda ketika Peri mengajak anak-anak bermain di luar. Di ruang tamu, ada pintu yang terhubung dengan halaman belakang. Meski tidak terdengar satu pun suara, Peri tahu pengunjung sudah berdatangan, dan dia tidak mau mengganggu dengan melewati lorong-lorong buku di bagian depan.
Begitu pintu belakang tersibak, Peri terkesan memandangi genangan yang membasahi rerumputan. Tetes-tetes embun melekat di bulirnya. Dia melepas sandal dan membiarkan sisa hujan menggelitik langkah kecilnya. Saat merasakan jari-jari kakinya melesak dangkal dalam rerumputan, dia terdiam sejenak, lalu menghirup udara dalam-dalam dan membiarkan perasaan nyaman memeluk paru-parunya. Anak-anak menirunya. Aroma petrikor yang bercampur dengan wangi matahari mengisi udara.
Seperti apa wangi matahari? Begitulah tanya anak-anak ketika pertama kali mendengarnya. Peri hanya mengangkat dagu dengan sidik jempol tanpa mengucapkan sepatah pun kata.
“Mungkin seperti selimut yang baru dijemur?”
“Jawaban yang biasa saja,” tukas Kuning. “Tumben.”
“Aku gampang sakit hati, lo,” dan dipeluknya Kuning hingga yang dipeluk merasa risih.
Peri mengintip pintu depan perpustakaan dan benarlah dugaannya. Cuaca cerah seolah memanggil pengunjung yang sejak pagi entah di mana rimbanya. Meski begitu, ada tiga buah payung di samping pintu yang diletakkan dalam posisi terbuka, air masih menetes di tendanya, pertanda ada yang datang ketika hujan merenyai. Seorang paman ikut membantu membereskan buku-buku yang ditinggalkan peminjam. Dengan telaten, dia menaruhnya kembali di masing-masing rak. Nenek duduk di belakang meja tinggi, tapi tidak terlihat karena dia bersandar di bangku rendah. Padanya, Peri memohon izin untuk menemani anak-anak melihat-lihat jalan di belakang perpustakaan.
“Boleh?”
“Tentu saja,” senyum mengiringi jawaban Nenek. “Bersenang-senanglah.”
“Nah,” Peri berjalan dengan langkah santai. Di sisi kirinya Merah dan Nitara berdampingan, di sisi kanannya Kuning dan Biru bergandengan. “Saat hujan tadi, adakah yang mendengar suara kayu beradu?”
“Aku enggak, Kak," Biru dan Kuning menjawab serempak.
“Aku hampir tidak terjaga,” kata Merah—yang tetap bertahan menggunakan kata ‘tidak’ alih-alih ‘enggak’.
“Enggak memperhatikan, Kak,” dan akhirnya Nitara.
“Sayang sekali, padahal itu suara Roh Pohon.”
“Roh Pohon?”
“Farah belum cerita, ya?”
“Belum. Kakak hanya mendongeng tentang Perempuan Berambut Perak. Katanya, dia mendengarnya dari Kak Peri,” jawab Merah.
“Oh—si Perak? Tadi dia ada bersama kita di ruang tamu. Dia lumayan suka padamu, Kuning,” kata Peri.
“Bohong!”
“Benar, kok. Dia menari-nari mendengar Tara bermain biola, dan ikut menyanyi ketika aku bermain piano. Dia sudah hapal hampir semua laguku.”
“Bohong!”
“Elaina, Kuningku sayang, aku gampang patah hati, lo, dua kali dituduh bohong rasanya menyakitkan,” Peri berhenti berjalan dan duduk cangkung, lalu pura-pura menangis.
“Habisnya, mana mungkin Rambut Perak betulan ada. Buktinya, kami enggak melihatnya. Dia cuma dongeng Kakak, ‘kan?” Kuning duduk di samping Peri dan merangkulnya. Berusaha menghiburnya dengan kata-kata yang lembut.
“Kan kamu sendiri yang bilang. Saat aku mencari warna kuning di bajumu—yang hijau, kamu menjawab dengan nada mengeyel, ‘Di setiap hijau, pasti ada kuning. Bukankah hijau adalah campuran biru dan kuning. Jadi warna hijau pun, jika dilihat dengan saksama, juga ada kuningnya. Tapi kuning yang lain. Beda. Enggak kasatmata. Karena selain warna yang bisa dilihat manusia, juga ada warna yang enggak bisa dilihat, seperti ultraviolet dan inframerah.’ Begitu.”
“Tapi kan—” Kuning ingin menyanggah, tapi tidak mampu karena yang dikatakan Peri memang kata-kata Kuning sendiri.
“Siapa tahu hal yang sama juga berlaku untuk Perempuan Berambut Perak. Tidak terlihat bukan berarti tidak nyata.”
Kuning mengangkat tangan dengan kesal, tanda menyerah. Biru menutup mulutnya karena hampir tidak mampu menahan tawa, tapi tetap berusaha menghibur Kuning yang merengut.
“Nah, sekarang kita lanjutkan ceritanya, ya. Kita lupakan si Perak untuk sementara waktu,” Peri bangkit dan menepuk lututnya yang tidak kotor.
“Siap!”
“Ketika masih seumuran kalian, nenek pernah tersesat di hutan. Karena merasa sudah mengenalnya, dia melangkah memasuki rimba tanpa mencemaskan apa pun, dan berjalan sesuka hati. Tanpa dia sadari, kaki kecilnya memasuki hutan yang rimbun. Pohon-pohon semakin rapat dengan janggut yang lebat dan tua. Cahaya yang ditawarkan langit pun semakin pupus, terhalang dedaunan yang rapat. Ketika dia hendak pulang, jalan kembali yang dicari tak jua dia temukan. Lelah dan putus asa, dia duduk dalam naungan pohon yang daunnya tidak terlalu rimbun, dan menangis. Belum habis air matanya, dia bertemu dengan Sesuatu yang bentuknya seperti embun. Dia memandangnya dengan takut, tapi dibalas dengan tatapan nan hangat, disertai sepercik rasa penasaran. Nenek kelak memanggilnya Roh Pohon. Dia jarang terlihat, tapi selalu ada di setiap rimba. Dia bermata dan bermulut, meskipun hanya tiga titik hitam—dua membentuk mata, satu membentuk mulut,” Peri kembali membawakan dongeng yang beberapa hari lalu diceritakannya kepada Kak Farah. Anak-anak menyimaknya dengan hening, senyap langkah yang terdengar ketika mereka menyusuri setapak seolah padu dengan suara Peri yang membius.
“Di sana, juga ada penghuni lain yang oleh masyarakat dinamakan Rusa Kencana. Dia sering menyamar menjadi manusia ketika berjalan-jalan di luar hutan, meski tidak bisa jauh-jauh. Dia kerap terlihat sedang duduk di bangku kayu di sisi sungai, memandangi air yang mengarus lembut, terutama pada jam-jam rawan. Namun, ketika bertemu dengannya, mustahil kita mampu menebak usianya yang sebenarnya.
“Pada suatu waktu, dia hadir dalam sosok renta, lengkap dengan jaket cokelat tua yang penuh tambalan. Matanya bersembunyi di balik kacamata tebal berbingkai hitam. Beberapa saksi mencoba menebak umurnya. Mungkin kisaran 80-an. Namun, bisa juga lebih tua, jauh lebih tua. Meskipun janggut dan jambang dibiarkannya membelukar, dan kerah baju yang tak disingkap membuatnya tampak berantakan, matanya selalu mengesankan ketakjuban yang nyaris kekanak-kanakan, sekaligus sabar dan dalam. Rambutnya hitam keperak-perakan, panjangnya sebahu, dikuncir dengan karet seadanya.
“Namun, ketika kita mengalihkan pandang sejenak, mungkin saat suara katak menimbulkan bunyi ‘plung!’ di sungai, ternyata dia tidak setua dugaan semula. Wajahnya bersih. Jangankan janggut dan jambang, kumis pun dia tak punya. Jaketnya tidak sedikit pun kotor dan bertambal. Punggungnya tegap. Satu-satunya yang sama, mungkin hanya matanya yang dalam dan bijak. Dia memandang bulan dengan tatapan penuh rindu. Lagi-lagi tanpa bicara.”
Peri menghentikan ceritanya sejenak dan melangkah dalam senyap. “Sebenarnya, ketika aku mengingat Rusa Kencana, aku selalu bertanya-tanya tentang waktu. Apakah sebenarnya ‘waktu’ itu? Kenapa Rusa Kencana seolah hendak melanggar yang sudah ditetapkan oleh waktu, dengan menjadi tua terlebih dahulu, kemudian dewasa, lalu remaja, dan akhirnya—”
“Dan akhirnya?”
“Adakalanya, saat kita memejamkan mata dan membukanya lagi, sosoknya yang semula begitu renta seolah-olah mendekati purba, seketika menjadi anak-anak seumuran kalian. Lengkap dengan tingkah dan sorot mata yang polos belia. Dalam sosoknya yang mungil, dia sering menanyakan sesuatu, tentang langit, sungai, dedaunan, malam, rembulan, atau apa pun yang tertangkap mata. Persis seperti anak-anak yang selalu takjub pada apa pun. Namun, ada satu pertanyaan yang selalu mampu membuat siapa pun terdiam,” Peri termangu lagi dan berjalan dengan meletakkan tangannya di belakang punggung.
“Apa itu, Kak?”
“Bagaimana rasanya hidup?” katanya seraya menatap langit dan berhenti beberapa jenak. “Begitulah."
“Kakak pernah bertemu dengannya?” Merah bertanya dengan suara yang nyaris berbisik.
Peri menggeleng. Anak-anak tetap mengikuti di sisi kiri dan kanannya.
“Lalu, kalau ditanya begitu, Kakak akan jawab apa?”
“...”
“Bagaimana rasanya hidup?”
“Tidak tahu. Aku sudah sering memikirkannya, tapi tidak pernah menemukan jawabannya. Padahal aku hidup, tapi disuruh menjelaskan rasanya saja tidak bisa.”
“Sama saja, Kak. Aku disuruh menjelaskan rasa pisang juga bingung, apalagi hidup. Apa rasa pisang? Manis. Apa rasa manis? Eh oh,” kata Kuning, santai, lagi-lagi menirukan Kak Farah. “Yang jelas, manisnya pisang beda dengan manisnya gula, manisnya gula beda dengan manisnya madu. Manisnya madu beda dengan manisnya kamu.”
“Belajar gombal dari mana, sih?” Peri tertawa. “Tapi, kamu benar. Perasaan memang sukar dijelaskan, apalagi dengan kata-kata. Mungkin karena indra perasa kita sudah jauh berkembang sebelum kita mengenal bahasa. Sebelum menemukan kata pertama, manusia sudah lebih dulu memahami dan membeda-bedakan perasaan—mana yang menyenangkan dan mana yang tidak.”