Meskipun sudah ada toserba yang menawarkan lebih banyak produk dengan berbagai harga dan kemudahan, juga barisan ruko berpenampilan modern di tengah kota, beberapa bocah toh masih sering mengunjungi kios permen tua di seberang taman Sore Hari, meski jumlahnya tidak banyak—sekadar membeli gula-gula dan kudapan pusparasa, pun mainan-mainan sederhana yang harganya dapat dijangkau kantung anak-anak. Karena letaknya di persimpangan jalan, bagian depan toko tidak benar-benar menghadap taman, tapi salah satu kamarnya demikian. Pengelolanya adalah sepasang kakek-nenek yang usianya belum terlalu tua. Nenek masih berumur 55 tahun, sementara kakek 57. Meski begitu, karena sudah mempunyai cucu, sebaiknya kita tetap memanggilnya “Kakek” dan “Nenek” saja. Di sekitarnya, ada kios-kios lain yang menawarkan berbagai kebutuhan, baik sandang maupun pangan. Di sisi selatan, ada gerai kelontong dan rumah makan padang. Di timur yang menghadap bagian depan toko, ada warung nasi, butik yang selalu menawarkan diskon, peralatan kantor, serta jasa fotokopi.
Biasanya, toko-toko di seberang taman cukup ramai saat jam istirahat, dan bertambah ramai saat senja datang menjelang. Anak-anak yang melangkah ringan seraya menendangi jeriken dengan lututnya, kerap meminjam uang kembalian minyak tanah untuk membeli beberapa bungkus gula-gula. Bahkan, jika lebihannya cukup banyak, tidak jarang mereka berani membeli mainan juga, sesuai dengan yang sedang digandrungi di kalangan bocah ketika itu—seperti, izinkan aku mencatatnya di sini sebagai kenang-kenangan, mesin peramal nasib buruk (tabung kecil berisi kertas catatan kesialan), pensil raksasa (bayangkan pensil yang panjangnya 45 sentimeter dengan diameter dua senti yang jelas-jelas tidak mungkin dipakai menulis, tapi sempat trendi di kalangan anak-anak), lotere, gasing, Tamiya, serta kartu-kartu empat serangkai bergambar tokoh kartun dan pahlawan bertopeng. Semua kebutuhan anak-anak untuk jadi kekinian selalu ada di sana.
Sayangnya, sudah beberapa tahun berselang, toko itu kehilangan pesonanya. Peminatnya berkurang dan semakin berkurang. Anak-anak lebih memilih berbelanja di Toserba, meskipun barang-barang yang dijualnya boleh jadi lebih mahal dibandingkan kios pinggir jalan.
Tak heran jika rasa bersalah kerap muncul di dada ibu ketika melihat kondisi pasar yang tak sebaik dulu. Kenapa justru di saat begini, dia harus membawa putra dan putrinya, Nalda dan Nada, mengungsi di rumah orang tuanya, dengan hanya menawarkan sedikit bantuan. Siapa sangka, kakek dan nenek justru senang anaknya mau sejenak tetirah sebelum kembali melanjutkan langkah.
Meski masih merasa asing dan canggung ketika berhadapan dengan lingkungan baru, Nada, gadis kecil yang duduk di kelas lima sekolah dasar, tak begitu mempermasalahkan di mana harus tinggal, selama ibu dan kakaknya ada di dekatnya—aku baik-baik saja. Tapi kakak lelakinya, Nalda, berbeda. Sebagai murid kelas 2 SMP, dia telah memahami sukar dan getirnya hidup, tapi berusaha tegar dan tak menunjukkan kegelisahannya. Bagaimanapun, waktu terus berjalan. Berlama-lama larut dalam duka tak banyak gunanya. Nalda mulai belajar melayani pembeli yang kerap mendatangi toko. Dia menemani kakek dan Pak Lukas, karyawan yang setiap hari bekerja di sana, membereskan serta memajang berbagai penganan dan mainan. Dia mulai terbiasa dengan teriakan “Belanja!” dari anak-anak.
“Nada,” begitulah sapa lembut ibu saat memanggil putri bungsunya. Tidak lantang, tapi cukup untuk menembus pintu kamar yang tipis. Gadis kecil itu membuka selot dan melihat Nalda, kakak laki-lakinya, dan ibunya sudah duduk di lantai beralas tehel. Menunggunya. Lauk pauk sederhana tersaji di hadapan mereka; nasi yang mengepul hangat, sayur bening, serta sepiring tempe dan tahu goreng yang menguarkan aroma sedap. Dia melihat jam, jarum panjang dan pendeknya membentuk garis vertikal. Cahaya yang menembus lubang ventilasi meremang dan menghamparkan senja yang ranum sekaligus melayu. Neneknya datang beberapa saat kemudian, duduk di samping putri dan cucu-cucunya.
Nada menyendok setangkup nasi dan menyiramnya dengan kuah bayam, lalu mengambil tahu goreng karena tidak begitu menyukai tempe.
“Sudah tidak ada, ya?” tanya Nada setelah menelan suapan pertama.
Kakaknya mengangkat kepala dan menatap adiknya, berusaha mencari tahu apa yang dia maksud, tapi akhirnya mengangguk pelan, “Benar.”
“Apanya yang tidak ada?” ibunya bertanya dengan nada penasaran.
“Anak-anak yang berkumpul di taman, Bu. Saat kita baru pindah, saban sore di seberang jendela, aku melihat mereka duduk melingkar di hadapan kakek yang menggunakan baju Mario. Karena penasaran, kami ingin bergabung. Tapi mereka menghilang sebelum kami sempat melunaskan niat,” jelas Nalda.
Neneknya menjawab, “Oh, itu Paman Mario. Dengan dongengnya, dia menghibur anak-anak yang menghabiskan hari liburnya tanpa bepergian.”
“Di mana mereka, Nek? Kenapa menghilang? Padahal libur masih panjang.”
“Kurang tahu, Nak.”
“Anak-anak yang beli permen tidak mengatakan apa-apa ya, Kak?” Nada menoleh pada kakaknya.
Nalda tertawa kecil, “Aku belum sempat bertanya. Besok kamu temani Kakak jaga toko saja, siapa tahu bisa berkenalan dengan salah satu pembeli.”
“Malu.”
Ada lima ruangan di rumah itu. Bagian depan bangunan—yang mengarah ke timur—adalah ruangan yang khusus disediakan buat berdagang. Pintu belakang toko terhubung dengan ruang serbaguna yang merangkap ruang keluarga dengan satu televisi tabung, lemari piring, dapur, dan ruang makan. Di sebelah selatan, ada dua kamar tidur, dan di bagian belakang ada kamar mandi. Jika hujan turun, tetesannya merembes di plafon. Dibutuhkan kesigapan untuk menyebar mangkuk, kaleng, ember, dan baskom agar air yang berjatuhan di berbagai titik dapat ditampung dan tidak menyebabkan kebanjiran kecil. Terkadang, suara rintik yang tumpul maupun tajam pada wadah-wadah itu membentuk melodi yang merepihkan hati. Papan gipsum yang menutupi langit-langit sudah dipenuhi peta pulau yang bernoda kuning kecokelatan. Beberapa di antaranya bahkan kopong dan memperlihatkan rangka kasau dan kegelapan—yang seolah mampu menelan cahaya apa pun. Kusen pintunya digerayangi rayap, yang berubah menjadi laron pada waktu-waktu tertentu. Kakek membiarkan saja para rayap berkembang biak di sana, karena semenjak ‘dipelihara’ mereka tidak lagi merayapi kardus-kardus dagangan. Lagipula, tidak ada biaya untuk memperbaikinya. Dia pernah menyiramnya dengan cairan antirayap, Baygon, portas, hingga air garam, gula, bahkan pernah pula memelihara ayam—predator alami rayap, tapi hasilnya nihil, malah menambah masalah baru. Ayam-ayam itu buang hajat sembarangan, dan membuat seisi rumah menjadi seperti kandang, lengkap dengan baunya yang menyengat hidung.
Ibu terpaksa mengungsi bersama putra sulung dan putri bungsunya semenjak ditinggal pergi suaminya karena alasan-alasan yang terlalu pahit jika ditulis di sini. Dia tidak sanggup hidup di kota besar, dan berharap dapat menyepi di rumah masa kecilnya. Untuk sementara waktu, dia ingin sekali lagi menjadi seorang anak. Nada dan Nalda memahaminya. Nenek dan Kakek menyambut mereka dengan hangat dan menyediakan kamar yang semula digunakan sebagai gudang—meski lebih banyak ruang kosongnya. Seperti yang sudah aku tuliskan di pembuka bab, semenjak ada Toserba yang berdiri tiga tahun lalu di tengah kota, pengunjung yang berbelanja di kios permen kian berkurang. Di kiri dan kanan Toserba pun mulai menjamur toko-toko yang berpenampilan kiwari, serta pasar yang entah sejak kapan ada di sana—mulanya hanya satu dan dua pedagang kakilima, tapi lama-lama populasinya semakin banyak sehingga membentuk semacam pasar kecil.
Nenek lebih dulu menghabiskan makanannya dan bergantian dengan kakek yang berjalan masuk dengan langkah-langkah santai. Di dagu kakek ada janggut tipis. Matanya ramah tapi juga lelah, dan sudah banyak uban di kepalanya. Tubuhnya kecil dan terlihat ringkih, meski sebenarnya kuat. Dia tidak langsung duduk di sekitar cucu dan anaknya, tapi lebih dulu mencuci tangan di kamar mandi. Dia mengambil piring serta menyendok nasi dan lauk. Prinsipnya sejak dulu tak pernah berubah. Dia harus memastikan anak dan istrinya kenyang sebelum dirinya makan. “Tidak ada yang kelaparan di rumahku,” begitulah selalu katanya.
“Kek, apa Kakek tahu ke mana perginya anak-anak yang berkumpul di taman?” tanya Nalda, penasaran.
Kakek mengunyah suapan pertamanya dengan cepat, lalu menelannya. “Coba besok Kakek tanyakan, ya? Kakek juga kurang tahu. Omong-omong, di antara anak-anak yang berkumpul di taman, ada yang seusiamu—kelas 2 SMP. Namanya Farah. Sepertinya kalian bisa jadi teman baik. Dia sangat pandai menggambar. Barangkali kalian bisa menulis buku bersama. Kamu ingin jadi penulis, bukan?”
Nalda mengangguk. “Sepertinya aku tahu yang mana, Kek. Dia sering duduk di belakang, memangku buku dan pensilnya. Kadang memakai jaket merah dengan tudung. Persis Red Riding Hood. Benar, kan?”