Jalan Setapak Menuju Rumah

Rafael Yanuar
Chapter #17

Keluarga Baru

Ketika Nalda membuka mata, jam di dinding sudah membentuk garis vertikal. Dengan jari tangan kanannya, dia menghitung berapa lama terlelap, satu-dua-tiga—lima jam. Lumayan. Samar-samar dia mendengar dekut burung di rumah sebelah dan kokok ayam yang sibuk mematuki rezeki. Dia memandang taman yang disinari cahaya menyamping—sebagian sisinya membayang dalam remang. Begitu menyadari adik perempuannya, Nada, masih terlelap, dia menutup tirai dan membuat ruangan kembali redup. Dia memanjangkan leher, dan mencari ibu, tetapi nihil. Ibu tidak ada di kasurnya, pasti sudah terjaga lebih dulu. Nalda bangkit dan berjalan menuju meja, lalu mengambil pakaian. Setelah memilih busana, dia bergegas mandi.

Aroma tumis bawang langsung menguar begitu pintu dibuka. Nalda tak menemukan satu pun penampung hujan yang semalam diletakkannya di berbagai titik. Sepertinya ada yang menyisihkannya. Kakek duduk di bangku toko seraya membaca koran, sementara nenek membantu ibu menyiapkan sarapan. Dengan langkah kecil, Nalda menghampiri ibunya di dapur dan menemukan tumis sawi hijau dalam wajan, serta beberapa lapis telur mata sapi di piring. Ibu selalu cantik meski penampilannya sederhana dan senantiasa mengesankan rasa sepi. Rambut cokelatnya yang biasanya tergerai, diikat dengan karet. Nalda berdiri di samping ibunya seraya menghidu aroma masakannya, lalu menyapanya ramah, “Selamat pagi, Bu.”

“Selamat pagi. Sana mandi, lalu kita sarapan. Nada masih tidur?”

“Masih, Bu. Nyenyak sekali.”

Ibunya tertawa. Dia ingat—hari-hari pertama di rumah ini, Nada selalu tidak bisa tidur dan gelisah dalam lelapnya.

Nalda tersenyum dan bernyanyi kecil, lalu menghilang di balik pintu kamar mandi. Ketika dia selesai berbasuh, adiknya sudah terjaga dengan mengemban boneka beruang di pelukannya. Seraya membersihkan mata kirinya dengan tangan kanannya, dia menguap lebar dan menyalakan televisi. Ternyata kanalnya berhenti pada acara senam pagi. Nada mengikuti gerakannya dengan malas-malasan seraya bergumam, “Tu, wa, ga, pat! Tu, wa, ga, pat!” Saat melihatnya, Nalda tidak mampu menahan tawa.

Sarapan sudah siap dan semuanya bersantap dengan khidmat. Beberapa percakapan dimulai dan menghangat dengan cepat. Televisi yang dibiarkan menyala pada kanal musik, lumayan mengganggu konsenterasi Nada saat mengunyah. Tepat pukul tujuh, Pak Lukas datang dan membantu kakek membuka kios. Belum ada penglaris hingga setengah jam kemudian.

Ketika Nalda selesai bersantap, dia langsung bangkit dan berjalan menyusuri pintu untuk membantu kakek dan Pak Lukas menyiapkan dagangan—sementara ibu dan nenek berbelanja sayur-sayuran di pasar. Beberapa jenak kemudian, saat Nalda duduk di depan mencari hangat matahari pagi, seorang gadis berperawakan mungil berhenti di sampingnya. Dia mengenakan jaket merah yang sedikit kedodoran dan sebuah buku di keranjang sepeda.

“Hai, hai,” sapanya.

“H-hai?”

“Kamu siapa, ya?”

“Kamu sendiri?”

“Aku Farah. Meski badanku kecil, aku sudah kelas 2 SMP, lo.”

Nalda terdiam selama beberapa jenak, sebelum menukas, “Aku Nalda. Meski badanku bongsor, aku sekelas denganmu.”

“Tidak. Badanmu normal saja. Persis anak SMP,” Kak Farah berkata dengan nada sedikit kesal.

Nalda tertawa dan teringat sesuatu. “Jadi, akhirnya aku bertemu denganmu. Kakek menceritakan tentangmu kemarin.”

“Oh—ya? Jangan-jangan kakekmu Paman Penjual Permen?”

“Siapa?”

“Beliau adalah salah satu legenda di kota ini, selain Paman Pendongeng, yang sekarang dipanggil Eyang, dan Nenek Penyair Desa."

"Nah, aku sudah tahu tentang Paman Pendongeng, tapi Penyair Desa belum."

“Jadi, kakek mengatakan apa saja tentangku?”

“Jika sore menjelang, di taman seberang toko, ketika Paman Pendongeng menyampaikan ceritanya, ada anak seumuranku yang kerap berkumpul bersama yang lain. Namanya Farah. Dia sering mengenakan jaket merah dengan tudung—dan senantiasa membawa buku sketsa dan peralatan gambar dalam tas kecilnya. Dia pandai melukis. Kata kakek, mungkin kami bisa akrab karena hobi kami mirip—dia gemar mengabadikan segala sesuatunya dengan garis dan warna, aku dengan tulisan. Aku curiga dia juga salah satu legenda di kota ini.”

Kak Farah—mungkin sebaiknya aku mulai menghilangkan kata ‘Kak’ saat menyebut namanya—tertawa dan menggeleng pelan, “Sayangnya bukan. Aku bukan legenda. Tapi aku memang senang melukis.” Dia mengambil salah satu buku sketsanya dan memamerkan gambar yang baru dilukisnya. Seorang gadis dengan keranjang bunga di suatu kebun yang cerah. Nalda menatapnya takjub—entah pada yang dilukis atau yang melukis.

“Sekarang,” Farah memasang penyangga dan menuruni sepedanya, tangannya diletakkan di belakang punggungnya, “mana tulisanmu?”

Nalda bingung dan menjawab sebisanya, “Tulisanku jelek. Belum selesai juga.”

Farah terdiam. “Aku memang belum membacanya, tapi aku percaya tulisanmu bagus. Kalau boleh, aku ingin membacanya, sejauh yang kamu izinkan,” katanya seraya tersenyum samar, lantas perhatiannya teralihkan ketika menyadari ada seseorang yang mengintip di belakang Nalda.

“Siapa gadis mungil nan imut ini?”

“Nada. Dia adikku.”

“Hai hai. Nada—nama yang indah.”

“H-hai, Kak Farah?”

Farah tertawa ringan, “Tanggapan kalian mirip.”

Nalda ikut tertawa.

“Kecil-kecil begitu, dia sudah kelas 5 SD, lo.”

“Seumuran adik perempuanku.”

“Benarkah?” Nada semingrah.

“Maukah kamu mengenalkan mereka?” harap Nalda. "Dia sangat kesepian semenjak pindah."

“Jadi, kalian menetap di sini? Aku pikir hanya berlibur seperti Nitara.”

Nada dan Nalda bertukar pandang.

“Semula kami tinggal di kota sebelah, tapi karena satu dan lain hal, ibu mengajak kami tinggal di sini—di toko permen, rumah masa kecilnya. Kalau boleh tahu, siapa Nitara?”

“Dia cucu Paman Pendongeng, baru kelas 1 SD. Tara menghabiskan libur panjangnya di rumah Paman, meski seminggu lagi harus pulang. Saat mengingat perpisahan yang semakin dekat, adikku dan teman-temannya merasa sedih, tapi berusaha menghabiskan hari dengan ceria.” Ketika membahasnya, Farah teringat sesuatu. “Tentu saja—dan aku tidak sabar ingin memperkenalkanmu dengannya," katanya pada Nada. "Nama adikku Arella, tapi saat berkumpul dengan teman-temannya, dia dipanggil Biru, seperti tokoh pahlawan bertopeng. Selain Biru, ada Kuning juga—atau Elaina, yang ingin menjadi penulis sepertimu, tapi dia spesialis cerita detektif, lalu ada adik lelakinya, Merah, yang bernama asli Daniel.”

“Ah! Biru, Kuning, dan Merah,” kata Nada penuh semangat, “Kemarin kakek menceritakan tentang mereka juga.”

“Jadi, kakek kalian sudah membocorkan segalanya, ya?” Farah tertawa.

“Kami juga tahu tentang Paman Pendongeng,” lanjut Nada, tapi dengan nada sedih. “Padahal, saat kami kali pertama tinggal, saban sore datang menjelang, taman selalu penuh anak-anak, tapi sebelum kami sempat bergabung, tak ada lagi yang berkumpul di sana.”

Lihat selengkapnya