Jalan Setapak Menuju Rumah

Rafael Yanuar
Chapter #18

Sampai Jumpa

Sesampainya di sini, mungkin kamu sudah menyadari, sebenarnya aku tidak menceritakan apa pun selain kenang-kenangan hidupku sendiri. Aku beranjak dewasa dan berhenti bermimpi entah sejak kapan. Masa kanak-kanak tertinggal jauh di belakang. Sekuat apa pun aku menajamkan pandangan, mencari masa-masa keemasan itu, tetap saja yang terlihat hanya kabut kelabu. Sukar bagiku untuk meyakini bahwa segalanya benar-benar pernah terjadi, bukan muslihat ingatan belaka. Namun, entah bagaimana aku yakin, jika terus berjalan seperti saat ini, aku pasti dapat memeluknya kembali, suatu saat di ujung kembara barangkali. Bukankah sejatinya hidup hanyalah upaya mengenang masa depan dan menyongsong masa lalu? Semula aku tidak memahaminya, tapi sepertinya aku mulai mengerti.

Seminggu setelah Nitara berjumpa dengan Nalda dan Nada, libur kenaikan kelas usailah sudah. Dia sempat meminta Eyang mendongeng sebagai ‘Paman Mario’ di taman ‘Sore Hari’ dan melanjutkan kisah-kisah yang sempat ditundanya. Dua hari sebelum perpisahaan, Farah dan Peri bahkan memberinya kejutan dengan menggantikannya bercerita. 

Bagaimanapun, sekuat apa pun menghematnya, kita harus mengakui betapa relatifnya waktu. Saat-saat paling membahagiakan justru yang paling cepat berlalu—segala tawa seolah lekas menjadi silam dalam kerjap mata belaka. Tahu-tahu Nitara harus pulang dan berpisah dengan sahabat-sahabat barunya. Dengan tangis yang tak kunjung reda, dia memeluk mereka satu per satu dan melambaikan tangan. Meski begitu, surat-surat yang berdatangan ketika dia mulai merindu ternyata mampu menggembirakan hatinya. Nitara pun membalasnya tanpa tergesa, meski dengan antusias yang tak kunjung padam saat merangkai setiap kata. Siapa sangka, di suatu kelak, jarak terlipat menjadi sebesar telepon genggam semata.

Sejak pertama bertemu dengan semuanya, Nitara selalu menantikan perjumpaan berikutnya. Ternyata dia tidak harus menunggu lama, karena saat libur Natal dan Tahun Baru, mama dan papanya kembali mengajaknya menginap di rumah Eyang—yang kemudian menjadi tradisi setiap tahun. Dan, kerapkali menginjakkan kaki di sana, dia mendapati sahabat-sahabat yang tumbuh hangat di kenang, mendatanginya satu-persatu. 

Dia membuka buku hariannya dan menulis.

Dia benar-benar pencatat yang baik.


Kini, sudah lima belas tahun berlalu semenjak saat itu. Tak ada lagi Paman Pendongeng yang merawat senja dengan ceritanya yang hangat. Eyang meninggal saat aku lulus SMP, dan nenek menyusul tak lama kemudian, seolah tak ingin berlarut-larut merajut rindu. Rumah tempatku menyimpan sebagian kenangan masa kanak, dibiarkan Papa dan Mama menjadi ranah tetirah bagi kami berpulang.

Di satu sudut desa, Penyair Desa pun menulis puisi terakhirnya sebelum memejamkan mata dan memeluk keabadian. Cucunya, Kak Peri, menggantikannya menjaga dan merawat Perpustakaan Bambu. Dan dia melakukannya dengan sepenuh hati. Dia menumbuhkan bunga-bunga pusparona di halaman depan—sehingga membuatnya lebih menyerupai toko bunga ketimbang perpustakaan. Meski dulu Kak Peri berkata, kunang-kunang jarang sekali muncul di desanya, sekarang hanya di sanalah aku dapat menjumpai cahayanya.

Lihat selengkapnya