Beberapa bulan sebelumnya, dunia Boe dan Septa masih penuh warna. Hari-hari terasa lebih ringan, meski tugas kuliah nggak pernah ada habisnya. Boe waktu itu lagi sibuk-sibuknya ngurus proyek tugas besar Teknik Sipil, sementara Septa baru aja selesai koas dan lagi nyiapin ujian kompetensi dokter. Meski sama-sama sibuk, mereka tetap nyempetin waktu buat ketemu, walau kadang cuma beberapa menit di kantin kampus atau di pojokan perpustakaan tempat favorit mereka ngobrol.
Pertemuan mereka sebenarnya sederhana, bahkan mungkin nggak bakal dianggap penting oleh orang lain. Tapi buat Boe, momen itu seperti titik balik kecil yang diam-diam mengubah arah hidupnya. Hari itu, kampus lagi ngadain seminar gabungan antar fakultas, temanya soal “Pembangunan Berbasis Kemanusiaan”. Boe yang awalnya males ikut, akhirnya datang juga gara-gara disuruh dosen wali. Dia duduk di barisan tengah, nggak terlalu depan biar nggak keliatan rajin, tapi juga nggak di belakang banget biar tetap kelihatan ikut.
Lalu datanglah Septa. Waktu itu dia pakai kemeja putih lengan panjang, kerudung abu-abu, dan celana bahan warna krem. Sederhana banget, tapi di mata Boe, dia kelihatan beda. Bukan karena cantiknya aja, tapi ada aura yang nggak bisa dia jelaskan. Cara dia duduk, cara dia nyimak pembicara, bahkan cara dia nyatet poin-poin penting sambil sesekali ngangguk kecil—semua itu bikin Boe penasaran.
Mereka baru benar-benar ngobrol setelah sesi seminar selesai. Saat itu, panitia nyediain sesi diskusi kelompok kecil. Kebetulan, Boe dan Septa satu lingkaran. Topiknya soal pembangunan rumah sakit komunitas di desa terpencil. Di situlah Septa mulai bicara, dengan semangat dan pandangan yang penuh cita-cita.
“Kalau menurut saya,” kata Septa waktu itu sambil membuka catatannya, “kita nggak bisa cuma bikin bangunan doang. Yang penting juga adalah membangun kepercayaan masyarakat. Banyak orang di desa itu yang takut ke rumah sakit, takut sama jarum suntik, takut sama biaya. Jadi pendekatannya harus pelan-pelan dan manusiawi.”
Boe melirik dia dari samping. “Wah, kamu serius banget ya.”
Septa menoleh. “Lah emang harus serius. Ini soal nyawa orang, bukan soal bikin bangunan semata.”
Boe senyum kecil. “Ya tapi bangunannya tetap harus kokoh dong. Jangan sampe pasiennya udah sembuh, eh atapnya ambruk.”
Septa menahan tawa. “Iya, makanya saya butuh orang teknik yang bisa bantu bangun tempat impian saya.”
“Tempat impian?”
“Hmm...” Septa menatap langit-langit ruangan. “Suatu hari nanti, aku pengen buka klinik gratis buat orang-orang yang nggak mampu. Di desa terpencil. Biar mereka nggak perlu lagi naik ojek dua jam cuma buat periksa demam.”
Boe angkat alis. “Wah, itu keren sih. Terus aku bagian apa dong?”
“Kamu bakal bantu bangunin tempatnya. Tapi jangan kabur waktu aku suruh ngangkat semen ya,” kata Septa sambil nyengir.
“Iya, asal kamu nggak nyuruh aku ngecor sendirian.”
Mereka tertawa. Sejak hari itu, komunikasi mereka mulai intens. Awalnya cuma saling follow di Instagram, lalu lanjut chat, dan akhirnya sering ketemu buat sekadar ngobrol atau ngerjain tugas bareng. Meski dari dua dunia yang beda—Teknik dan Kedokteran—tapi mereka justru saling mengisi. Boe yang dulunya agak cuek dan nggak terlalu peduli soal kesehatan, pelan-pelan jadi lebih perhatian sama gaya hidup. Gara-gara Septa, dia mulai rutin minum air putih, berhenti ngerokok, dan bahkan sempat nyobain meditasi.
Sementara itu, Septa yang awalnya terlalu serius dan kaku, mulai lebih santai. Boe ngajak dia ke pameran arsitektur, ngajarin dia pake software desain, dan sesekali nggodain dia dengan lelucon receh yang kadang bikin Septa geleng-geleng tapi senyum juga.
“Ta, kamu tau nggak, kenapa jembatan putus?”