Jalan Sunyi

Eko Broto Budiarto
Chapter #3

Bab 3 . Rasa yang Tak Terucap

Langit sore itu menggantung mendung tipis. Warna abu-abu pucat menyelimuti langit kampus, seolah menjadi cermin dari isi hati Boe yang akhir-akhir ini sulit diterjemahkan dengan kata-kata. Angin sore berembus pelan, menyapu dedaunan yang berguguran di sepanjang jalan setapak. Di bawah rindangnya pohon flamboyan yang mulai meranggas, Boe duduk di bangku panjang dari besi yang catnya mulai mengelupas. Di sampingnya, duduk seorang perempuan yang diam-diam telah mencuri hatinya: Septa Kurniati.

Hari itu, seperti hari-hari sebelumnya, mereka selesai dari kegiatan belajar di rumah sakit tempat Septa menjalani koas. Boe menunggu di luar, kadang dengan segelas kopi dingin di tangan, kadang hanya dengan tatapan kosong menatap langit. Bukan karena tak ada yang bisa dilakukan, tapi karena waktu menunggu Septa selalu jadi momen paling sunyi yang anehnya menenangkan.

Sejak kapan Boe jatuh cinta? Ia sendiri tak bisa memastikan. Mungkin sejak pertama kali Septa menatapnya dengan mata bening penuh perhatian saat mereka bertemu di acara bakti sosial kampus. Atau mungkin ketika ia melihat Septa menggandeng tangan seorang pasien lansia, memijat pelan pundaknya sambil tersenyum—senyum yang sederhana, tapi cukup untuk membuat jantung Boe berdetak tidak karuan.

Namun cinta kadang datang tidak sebagai gebrakan, tapi sebagai sunyi yang merayap perlahan. Muncul pelan-pelan, tapi terus tumbuh, memenuhi ruang di dalam hati hingga tak menyisakan tempat untuk yang lain.

“Kenapa kamu diam aja?” tanya Septa pelan, matanya menatap lurus ke depan, ke arah taman kecil yang dipenuhi anak-anak bermain. “Biasanya kamu bawel banget kalau udah sore begini.”

Boe tersenyum tipis. “Lagi mikir.”

“Mikirin apa?” Septa melirik sekilas. “Tugas? Atau hidup?”

“Hidup,” jawab Boe singkat, lalu terdiam.

Septa tak menimpali, tapi senyumnya tetap ada. Ia tahu Boe sedang menahan sesuatu, tapi seperti biasa, ia tak memaksa. Ia tahu batas, dan ia tahu Boe belum siap untuk bicara—apa pun itu.

Ada jeda hening di antara mereka. Hening yang tidak canggung, justru seperti ruang kosong yang nyaman, tempat dua orang bisa berbagi napas dan pikiran tanpa harus memaksakan kata.

Boe menarik napas dalam, lalu berkata pelan, “Kamu percaya takdir, Ta?”

Septa mengangguk kecil. “Percaya. Tapi... kadang aku juga bingung. Takdir itu sesuatu yang ditetapkan atau sesuatu yang kita ciptakan?”

“Gimana kalau... takdir itu dua arah?” kata Boe sambil menatap tanah. “Ada yang sudah digariskan, tapi ada juga yang harus kita perjuangkan supaya sampai ke garis itu.”

Septa tertawa kecil. “Kamu ini... selalu punya cara aneh buat menjelaskan sesuatu.”

Boe ikut tertawa, tapi tawanya getir. “Aku cuma takut... kalau yang aku perjuangkan ternyata bukan garis yang ditakdirkan untukku.”

Septa diam. Kata-kata Boe terasa seperti teka-teki, tapi dia tidak bodoh. Ia tahu arah pembicaraan itu. Ia tahu, dan ia sudah lama tahu, bahwa Boe menyimpan rasa yang belum pernah diucapkan.

Lihat selengkapnya