Pagi itu langit cerah, tapi Boe merasa ada sesuatu yang tidak biasa. Cahaya matahari menyinari halaman kampus, dedaunan bergoyang pelan ditiup angin. Suasana seharusnya menyenangkan, tapi di dalam dirinya ada keresahan yang sulit dijelaskan. Ia duduk di bangku taman kecil dekat fakultas kedokteran, matanya terus mencari sosok yang biasanya muncul sambil membawa dua gelas teh hangat: satu untuk dirinya, satu lagi untuk Boe.
Sepuluh menit. Dua puluh menit. Tiga puluh menit.
Biasanya, Septa selalu datang tepat waktu. Tapi hari itu ia terlambat. Bukan hanya kali ini. Dalam sebulan terakhir, Boe mulai memperhatikan kebiasaan Septa yang berubah. Ia lebih sering lelah, sering memegangi perut atau dadanya diam-diam saat berpikir tak ada yang melihat. Tapi Boe melihat. Ia hanya terlalu takut untuk bertanya.
Hingga akhirnya Septa datang juga. Langkahnya pelan, wajahnya sedikit pucat meski ia tetap tersenyum seperti biasa. Senyum itu... senyum yang semakin hari terlihat seperti pelindung, bukan pantulan hati yang benar-benar bahagia.
“Maaf, telat,” katanya sambil duduk dan menarik napas dalam. “Tadi agak pusing, tapi udah mendingan.”
Boe menatapnya lekat-lekat. Mata Septa tampak sayu. Ada lingkaran gelap di bawah matanya, dan pipinya lebih tirus dari biasanya. Tapi seperti biasa, ia berusaha menutupi semuanya dengan kalimat-kalimat ringan dan gurauan.
“Kamu sakit, Ta?” tanya Boe pelan, berusaha terdengar setenang mungkin.
Septa menggeleng sambil tertawa kecil. “Enggak kok. Cuma kecapekan aja. Koas akhir makin padat, kamu tau sendiri.”
“Tapi kamu kelihatan beda,” Boe melanjutkan, meski ragu. “Sering pucat, sering pegang dada… Kamu yakin nggak apa-apa?”
Septa menoleh, kali ini menatap Boe lama. Tatapannya lembut, tapi dalam dan jujur. Ia tahu Boe mencemaskan sesuatu. Ia tahu, dan itu membuat hatinya sedikit hangat.
“Aku baik-baik aja, Boe,” katanya akhirnya, lembut tapi tegas. “Kadang tubuh capek bukan karena sakit, tapi karena terlalu banyak pikiran. Tapi hati... hati aku tenang kok.”
Boe tidak menjawab. Ia hanya menatap tanah. Dalam hatinya, ia tak yakin. Tapi ia juga tak mau memaksa. Septa adalah tipe orang yang tak suka dikasihani, dan Boe tahu itu lebih dari siapa pun.
Hari-hari berikutnya, perubahan pada Septa semakin terasa. Ia masih datang ke rumah sakit, masih menjalani jadwal koasnya, masih tertawa bersama teman-temannya. Tapi ada momen-momen kecil yang tidak bisa dibohongi: ketika ia tiba-tiba duduk dan menutup mata sejenak, ketika tangannya gemetar saat menulis, ketika ia tertawa tapi ujung matanya menunjukkan lelah yang amat dalam.
Suatu sore, mereka duduk di taman kampus. Angin bertiup pelan, daun-daun berguguran. Boe membawa dua gelas teh hangat, kali ini ia yang menunggu lebih dulu. Septa datang dengan langkah pelan, mengenakan jaket tebal meski cuaca tak terlalu dingin.
“Kamu bawa teh hari ini?” Septa tersenyum senang. “Tumben.”
“Gantian,” jawab Boe singkat. “Hari ini aku yang jagain kamu.”
Septa tertawa kecil. “Siapa yang nyuruh dijagain? Aku masih bisa jalan kok.”
“Tapi kamu makin kurus,” gumam Boe. “Mata kamu juga makin dalam. Aku nggak buta, Ta.”
Hening. Septa memalingkan wajah, memandangi daun yang jatuh ke tanah.