Sore itu langit tidak cerah, tapi juga tidak gelap. Matahari masih menggantung rendah, memancarkan cahaya oranye pucat yang menyinari permukaan bumi dengan lembut. Udara sedikit lembap, angin berhembus perlahan, membawa aroma tanah basah dan sisa hujan semalam. Di sebuah taman kecil tak jauh dari rumah sakit kota, dua sosok duduk diam di bangku kayu panjang, dikelilingi tanaman perdu dan suara burung yang sesekali berkicau pelan. Itu adalah Boe dan Septa.
Septa mengenakan kerudung pastel dan sweater biru muda yang menutupi tubuhnya yang semakin kurus. Wajahnya tampak lebih pucat dari hari-hari biasanya. Di matanya ada kelelahan, tapi juga kedamaian. Boe duduk di sebelahnya, menggenggam segelas teh hangat yang ia beli dari kantin rumah sakit. Mereka berdua tidak banyak bicara. Hanya duduk. Tapi dari sorot mata mereka, jelas bahwa hari itu berbeda.
Septa memandangi langit yang mulai berwarna jingga. Bibirnya bergerak pelan. "Boe... ada sesuatu yang harus aku bilang."
Boe menoleh, sedikit kaget dengan nada suara itu. Ada ketegasan dan ketulusan dalam nada yang sangat pelan. Ia tidak langsung menjawab. Hanya menatap mata Septa, seolah memberi ruang untuk lanjut.
"Aku... sakit, Boe," lanjutnya. "Penyakit yang selama ini aku sembunyikan darimu."
Boe mengernyit. "Sakit apa, Ta?" tanyanya dengan suara pelan, hampir seperti bisikan.
"Lupus," jawab Septa lirih. "Autoimun. Penyakit yang menyerang tubuhku sendiri."
Boe terdiam. Kata itu menghantam seperti badai. Ia pernah dengar tentang lupus, pernah membaca, tahu sedikit. Tapi tidak pernah ia bayangkan bahwa penyakit itu ada dalam tubuh orang yang ia sayangi.