Langit pagi itu tampak abu-abu, seolah ikut menyimpan duka yang perlahan merayap di hati Boe. Embusan angin terasa dingin meskipun matahari mulai naik pelan. Ia duduk di bangku kayu lorong rumah sakit dengan punggung sedikit membungkuk, tangannya menggenggam erat termos kecil berisi teh yang sudah lama dingin. Pandangannya tertuju ke arah jendela ruangan perawatan, di mana Septa sedang terbaring lemah dengan infus di tangannya.
Sudah tiga hari berlalu sejak mereka memutuskan untuk membawa Septa ke rumah sakit. Kondisinya yang semakin menurun membuat Boe tak bisa lagi berpura-pura kuat. Ia tahu sesuatu sedang berjalan tidak baik, dan hatinya semakin sering merasa sesak. Setiap langkah menuju ruang perawatan seperti menginjak waktu yang terus menipis, seperti menghitung detik demi detik menuju sesuatu yang tidak ingin dia akui.
Hari-hari di rumah sakit tidak pernah mudah. Ada suara mesin yang berdenging, aroma disinfektan yang tajam, dan langkah kaki suster yang terburu-buru. Tapi yang paling berat adalah waktu. Waktu yang berjalan lambat, namun terasa terlalu cepat setiap kali Boe menatap wajah Septa yang semakin pucat. Ia menemani tanpa henti, tidur di kursi kecil di samping ranjang, makan seadanya dari kantin rumah sakit, dan diam-diam menangis saat Septa tidur.
Ada kalanya harapan muncul. Saat dokter datang dengan kabar bahwa tekanan darah Septa membaik, atau saat dia melihat senyuman kecil di wajah Septa saat Boe membawakan bunga melati dari taman rumah sakit. Tapi harapan itu juga cepat sekali turun, seperti roller coaster yang jatuh di tikungan curam. Satu jam setelah itu, Septa demam tinggi. Boe panik, memanggil suster dengan tangan gemetar. Dan ketika tubuh Septa menggigil di bawah selimut, Boe hanya bisa berdoa dalam hati sambil menggenggam tangannya.
Doa-doa Boe tak pernah keras. Ia tak pernah memohon dengan suara tinggi. Ia hanya diam, menyebut nama Tuhan dalam hati, dengan air mata yang tak terlihat siapa-siapa. Malam-malam di lorong rumah sakit, ia duduk di mushola kecil, kadang hanya terdiam menatap sajadah, tanpa kata-kata, hanya harapan yang terus dipeluk dalam keheningan.
Kadang Boe berpikir, mengapa hidup harus seperti ini. Mengapa orang sebaik Septa harus melewati penderitaan seperti itu. Bukankah dia sudah cukup banyak berbuat baik? Bukankah senyumannya saja sudah cukup menjadi alasan Tuhan untuk menyelamatkannya? Tapi hidup tidak pernah memberi penjelasan. Dan Tuhan, dalam kebesaran-Nya, kadang memilih diam.
Septa sendiri tidak banyak mengeluh. Justru ia yang selalu menyemangati Boe. Di antara detak mesin pemantau jantung dan suara infus yang menetes pelan, Septa sering bercanda kecil, membuat Boe tertawa dengan cerita-cerita ringan. Tapi di balik tawanya, ada lelah yang nyata. Ada nafas yang mulai pendek, dan tatapan yang sering kosong memandang langit-langit.
“Boe, kalau suatu hari nanti aku nggak ada…” katanya sekali waktu, membuat Boe langsung menunduk.
“Jangan ngomong gitu, Septa,” Boe memotong cepat. “Kamu bakal sembuh. Kita masih punya banyak rencana, ingat?”
Tapi Septa hanya tersenyum. Senyum itu lagi. Senyum yang seperti menyimpan banyak rahasia, seolah dia tahu sesuatu yang Boe belum siap untuk dengar. Ia tidak membantah, tidak juga menyetujui. Hanya diam. Dan dalam diam itu, Boe merasa dadanya makin berat.
Satu malam, saat Septa tidur dan Boe tidak bisa memejamkan mata, ia membuka tas kecil milik Septa yang selalu dibawa sejak awal dirawat. Di dalamnya, ia menemukan beberapa surat. Surat-surat itu ditulis tangan, dengan tinta biru dan huruf khas Septa yang sedikit miring. Boe membacanya pelan, satu per satu. Beberapa surat sudah terlihat tua, seperti ditulis jauh sebelum Septa sakit.
Surat pertama berisi renungan Septa tentang hidup. Ia menulis bahwa hidup bukan tentang seberapa panjang waktu yang kita punya, tapi tentang seberapa dalam kita mengisi waktu itu. Ia menulis tentang orang-orang yang ia temui di puskesmas saat praktik, tentang anak-anak kecil yang sakit tapi tetap bisa tertawa, dan tentang ibunya yang selalu mengajarinya untuk tidak menyalahkan hidup meski dunia terasa kejam.
Surat kedua lebih pribadi. Ia menulis tentang Boe. Tentang rasa yang mungkin tak pernah ia ungkapkan dengan kata, tapi selalu hadir dalam perhatian kecil. Septa tahu Boe mencintainya, dan ia pun mencintai Boe—dalam cara yang paling tulus dan paling diam. Ia tidak ingin mengatakan secara langsung, karena baginya cinta itu cukup terlihat dari bagaimana seseorang bertahan, bukan dari seberapa sering ia berkata “aku sayang kamu.”
Surat ketiga adalah doa. Septa menulis doa panjang, bukan untuk dirinya, tapi untuk Boe. Ia meminta Tuhan agar menjaga Boe, agar tidak patah jika suatu saat harus berjalan sendiri. Ia meminta agar Boe bisa menemukan tujuan, bahkan jika ia sendiri sudah tak ada di sampingnya. Boe membaca doa itu sambil menahan napas. Air matanya jatuh ke atas kertas, membasahi beberapa huruf terakhir.