Waktu seakan membeku sore itu. Tidak ada suara selain detak mesin monitor jantung yang perlahan melambat. Cahaya matahari yang masuk dari jendela rumah sakit tampak redup, seolah tahu bahwa ada sesuatu yang akan benar-benar berubah. Boe menggenggam tangan Septa erat-erat, berusaha menahan agar dirinya tidak gemetar. Tapi tubuhnya sudah lebih dulu merespon kenyataan, bahkan sebelum pikirannya sempat memahami semuanya. Di matanya, ada kabut. Bukan karena cahaya, tapi karena air mata yang tidak terbendung lagi.
Septa menatapnya dengan mata yang sudah sayu, tapi masih menyimpan ketenangan yang sama seperti hari-hari sebelumnya. Tangannya yang lemah mencoba membalas genggaman Boe, meski hanya dengan sedikit tekanan. Nafasnya pendek, terputus-putus, seperti seseorang yang sedang mengejar sesuatu yang tak bisa dicapai. Tapi dari mulutnya, muncul senyum. Senyum itu—senyum yang tidak akan pernah bisa Boe lupakan seumur hidupnya.
“Boe…” suara itu lirih, nyaris tidak terdengar, tapi cukup untuk menghantam dada Boe dengan kekuatan yang luar biasa.
“Iya, aku di sini, Ta… Aku di sini…” Boe mendekatkan wajahnya, suaranya bergetar, matanya basah.
“Makasih… ya…”
Boe menggigit bibirnya. Ia tidak tahu harus berkata apa. Kata-kata rasanya tidak ada artinya di saat seperti ini. Ia hanya bisa mengangguk sambil menahan tangis yang mulai membludak dari dadanya.
“Kalau nanti… aku nggak bisa nemenin kamu lagi… jangan berhenti ya…”
“Nggak usah ngomong kayak gitu, Ta, tolong…”
“Tapi kamu harus tahu… aku bahagia bisa kenal kamu. Bahagia banget…”
Tangis Boe pecah pelan. Air matanya jatuh di pipi Septa, tapi Septa hanya tersenyum. Perlahan, matanya mulai menutup, nafasnya semakin pelan, dan tubuhnya seperti meluruh dalam pelukan Boe.
Boe menahan nafas. Ia menatap layar monitor yang kini hanya menampilkan garis lurus.
“Septa…”
Tidak ada jawaban.