Sudah lima hari sejak tanah merah itu diratakan, ditaburi bunga melati, dan papan nama dengan tulisan Septa Kurniati dipasang rapi di atas pusara. Lima hari yang terasa lebih panjang daripada tahun-tahun yang pernah Boe lewati. Ia masih menghitung waktu dengan cara aneh—hari ke-1 tanpa suara tawa Septa, hari ke-2 tanpa pesan singkat yang dulu selalu muncul di pagi hari, hari ke-3 tanpa genggaman tangan yang hangat. Dan kini, hari ke-5, dengan keheningan yang mulai terasa akrab, tapi tetap menyakitkan.
Kamar Boe berantakan. Buku berserakan, pakaian belum dilipat, dan meja kecil di pojok ruangan masih penuh dengan barang-barang yang mengingatkan pada Septa. Ada mug putih yang pernah mereka beli berdua, seikat bunga kering yang pernah dikeringkan Septa sendiri, dan surat-surat lama yang kini menjadi benda paling berharga bagi Boe. Ia telah membaca semuanya, berkali-kali, sampai ia hafal letak tinta yang sedikit luntur di pojok kertas.
Tapi pagi itu, ada sesuatu yang berbeda. Boe bangun lebih awal dari biasanya, membuka jendela dan membiarkan udara pagi masuk. Udara itu dingin, tapi terasa jujur. Ia menghirup dalam-dalam, seolah mencoba membersihkan paru-parunya dari debu kerinduan yang terus menumpuk. Matanya menatap langit yang masih abu-abu, dan untuk pertama kalinya, ia tidak menangis. Bukan karena kesedihannya telah hilang, tapi karena ia mulai menerima bahwa tidak semua luka bisa disembuhkan dengan air mata.
Ia duduk di depan meja, menyalakan lampu belajar, dan mengambil selembar kertas kosong dari laci. Tangan kirinya gemetar sedikit, tapi ia mulai menulis. Ini adalah surat terakhir—bukan karena ia tidak ingin menulis lagi, tapi karena surat ini akan menjadi penutup dari satu babak hidupnya, dan awal dari babak baru yang belum pernah ia bayangkan sebelumnya.
“Septa…”
“Hari ini, aku bangun dan merasa perlu mengatakan sesuatu. Bukan karena aku kuat, tapi karena aku sadar, kamu sudah mengajarkan segalanya sejak lama. Kamu pernah bilang, hidup bukan tentang berapa lama kita bersama seseorang, tapi tentang apa yang kita tinggalkan setelahnya.”
“Dan kamu, Ta, sudah meninggalkan banyak. Terlalu banyak, sampai rasanya aku nggak tahu harus mulai dari mana.”
“Tapi aku tahu satu hal. Aku nggak bisa terus duduk di sini dan berharap waktu memutar balik. Aku juga nggak bisa pura-pura kamu masih ada, karena kenyataannya kamu sudah tenang di tempat yang lebih damai.”
“Jadi hari ini, aku mau pamit. Bukan dari kenangan tentang kamu, tapi dari ketakutanku sendiri. Aku mau pergi, Ta. Mengembara. Ke tempat-tempat yang belum pernah kita datangi. Aku nggak tahu akan berapa lama, dan aku nggak janji bisa bahagia. Tapi aku janji, aku akan bawa semua yang kamu ajarkan. Tentang kebaikan. Tentang ketulusan. Tentang mencintai hidup, bahkan saat hidup nggak adil.”