“Mama, Mama! Perang itu apa?” Pom, salah satu anak panti asuhan ini bertanya pada Mama. Dengan usia yang baru empat tahun itu, pembicaraan tentang perang menjadi sesuatu yang tidak dia mengerti.
Mama menghentikan kegiatannya, lantas menatap Pom beserta anak-anak lain yang ikut meminta penjelasan tentang topik yang sedang dibicarakan di mana-mana itu. Aku, Nom, dan Chen yang sedang membaca buku di sudut ruangan menyaksikan Mama yang terlihat menimbang kalimat yang akan beliau ucapkan.
“Perang itu mirip seperti saat Pom dan Ven bertengkar, tapi lebih parah,” jawab Mama seraya mengusap kepala Pom.
“Hanya itu saja? Mengapa ditakutkan?” tanya Pom lagi. Wajahnya mengernyit semakin tidak mengerti.
“Karena dengan bertengkarnya mereka, orang tidak bersalah juga bisa ikut celaka.”
“Mengapa mereka tidak bisa saling memaafkan saja?” sahut Trim. Aku, Nom, dan Chen terkekeh pelan lantaran pertanyaan polos itu.
Mama tersenyum, memegang tangan Trim. “Sebelum perang, mereka sudah mempertimbangkan itu. Tapi mereka tidak mau, jadi perang dilakukan,” Wanita itu menjeda perkataannya, “Anak-anak Mama tidak boleh seperti itu, ya? Kalau bertengkar, kalian harus saling memaafkan…”
Pom dan yang lain menjawab, “Iya, Mama!” dengan semangat sebelum kembali bermain di ruang tengah.
Pembicaraan tentang perang menjadi topik yang panas akhir-akhir ini. Aku mendengarnya di mana-mana. Pembicaraan orang-orang, siaran, dan hologram raksasa. Ck, tidak ada habisnya.
Aku sendiri tidak tertarik dengan pembicaraan itu. Bagi anak terlantar seperti kami, tidak ada gunanya juga informasi tentang perang antarplanet itu. Mungkin kami hanya akan mati sebagai korban perang. Tidak ada takdir lain untuk kami.
“Yui! Yui! Ajari aku melipat burung kertas!” Han, gadis kecil itu mendekatiku dengan membawa kertas lipat berwarna kuning.
Aku tersenyum, lantas menggandeng Han menuju karpet empuk di ruang baca dan mengajarinya. Gadis kecil itu bekerja dengan cekatan, sesekali memintaku melihat apakah pekerjaannya sudah rapi.
“Apa ini bagus, Yui?” tanyanya seraya memberikan burung kertas itu padaku.
Aku mengusap rambut cokelat keritingnya yang sedikit berantakan. “Kerja bagus, Han.”
Han bersorak senang, ia segera berlari membawa burung kertas itu untuk ditunjukkan pada Mama.
“Kau membuatnya senang,” ucap Chen yang tiba-tiba sudah berada di sebelahku. Pemuda dengan surai hitam itu menatapku bangga.