“Yui, putri Ayah yang cantik. Mulai sekarang, Ayah akan menjadi ayah dan ibu untukmu. Tidak usah khawatir, oke?” ujar Ayah yang sedang kebingungan menenangkanku yang sedang menangis.
Ah, ingatan apa ini? Bukankah Ibu meninggal saat usiaku hampir dua tahun? Mengapa aku bisa mengingatnya?
Aku melihat Ayah menangis seraya mendekapku erat-erat. Menggumamkan kata-kata penenang di saat dirinya sendiri tidak kuasa menahan kesedihan. Para tetangga mengucap belasungkawa secara bergantian.
“Yui, kamu berharga bagi Ayah. Selalu berharga. Ayah mencintaimu,” ucapnya sembari mengecup pelipisku dengan sayang.
“...i!”
“...Yui!”
“YUI!”
Aku terperanjat. Di hadapanku sekarang bukan Ayah, tetapi Nom.
“Kau bermimpi buruk?” tanyanya dengan khawatir, lantas mengusap pipiku yang basah.
Aku mendesah pelan. Rupanya hanya mimpi. Setelah bertahun-tahun, Ayah kembali ke mimpiku. Setelah bertahun-tahun, Ayah kembali menciumku. Rasanya nyata sekali. Aku menyentuh pelipisku.
“Ada apa?” tanya Nom lagi.
Aku buru-buru menggeleng. “Hanya mimpi. Apa sudah pagi?”
Nom mengangguk. “Sudah pagi, ayo bersiap ke kuil.”
Seperti yang telah direncanakan, pagi ini kami pergi ke kuil kota untuk melakukan upacara pembangkitan. Mama datang menjadi wali kami, meninggalkan panti untuk dijaga mantan asisten yang ia panggil tadi malam.
Kuil itu ada di bawah otoritas dewan kota. Segalanya harus diketahui dan dicatatkan secara resmi. Sebab itu, anak yang akan mengikuti upacara pembangkitan roh harus memiliki orang tua atau wali.
Perlahan kami memasuki halaman kuil yang luas. Sebuah bangunan megah nan artistik segera menyambut kami setelah beberapa saat melewati jalan yang dikelilingi rerumputan dan pohon yang rindang. Bangunan itu tak lekang oleh waktu, tidak bisa dikenai serangan apapun karena dilindungi oleh Dewa, plus tameng raksasa yang dibuat oleh tentara. Mama mendorong pintu utama itu pelan.
“Selamat datang.” Kami menoleh ke sumber suara dan menemukan seorang gadis dua puluh tahunan menyambut kami dari arah kanan.
Mama membalas senyumannya. “Kami datang karena surel dari kuil.”
“Ah, upacara pembangkitan roh pelindung? Mari ikuti saya, Pendeta San yang akan melakukannya,” ucapnya.
Kami berjalan mengikuti kakak itu. Sepanjang lorong dihiasi dengan ornamen-ornamen yang cantik. Aku bisa mengenali beberapa sebagai perwujudan roh pelindung manusia. Mereka terlihat kuat dan hebat sekali.
Kakak itu berhenti di sebuah pintu dengan ukiran ular kobra dan menempelkan telapak tangannya di sana selama lima detik. “Untuk wali silakan masuk, saya permisi dulu,” ucapnya seraya menundukkan kepalanya sebelum benar-benar meninggalkan kami.
Mama membuka pintu yang tidak lagi terkunci itu, kemudian masuk ke ruangan Pendeta San. Aku mengamati sekeliling kami. Kuil ini menggunakan sistem keamanan khusus, tapi bangunannya tidak semodern bangunan lain yang ada di bawah otoritas dewan kota. Masih ada banyak ukiran dan lukisan di sini.
“Kira-kira apa roh pelindungku, ya?” tanya Chen.
“Mungkin jerapah, kau suka hewan itu kan?” jawabku sekenanya.
“Sembarangan! Sekarang aku lebih menyukai kuda daripada jerapah,” protesnya, berusaha memecah suasana.
Nom terkekeh. “Atau kucing mungkin?” tebak gadis itu.
Chen langsung mengernyit. “Kau tahu aku tidak suka kucing yang berkeliaran di sekitar rumah kita, Nom.”