Menjadi seorang pemilik darah murni cukup merepotkan. Semua orang akan menatapmu dengan kagum sekaligus iri, guru-guru akan memperlakukanmu dengan hati-hati, lantaran level kekuatanmu yang lebih tinggi.
Jujur saja, ini sungguh membuatku tak nyaman.
“Yui, kau melamun lagi,” ucap Tom yang duduk di sebelahku.
Ah, ini sudah hampir tiga minggu sejak pertama kali aku mulai belajar. Aku ditempatkan di kelas khusus pemilik darah murni. Hanya ada tiga orang di sana, dan aku adalah yang termuda.
“A-Ah, ya. Maaf,” lirihku.
Pemuda dengan roh pelindung macan kumbang hitam itu menatapku khawatir. “Ada apa?” tanyanya kemudian.
Aku menatap mata birunya yang setenang samudra. Saat ini kami sedang menunggu mata pelajaran berikutnya. Baiklah, tidak ada salahnya membicarakan ini. Lagipula, sejauh ini Tom selalu perhatian dan baik padaku.
“Aku masih tidak nyaman,” cicitku.
Tom mengernyit. “Karena menjadi pemilik darah murni?” tebaknya tepat.
Aku mengangguk. “Ini tidak masuk akal. Aku hanya anak biasa yang hidup di panti–”
Kalimatku terhenti sebab Tom meraih tanganku dan meremasnya lembut. “Jangan berpikir seperti itu. Coba pikirkan dari sisi yang berbeda,” ujarnya, “Ya, kau hanya anak panti, tapi kau istimewa, Yui.”
Tom melanjutkan, “Kau istimewa karena menjadi pemilik darah murni. Semua orang memperlakukanmu seperti itu sebab mereka kagum padamu.”
“T-Tapi aku tidak nyaman, mereka berhati-hati memperlakukanku seperti aku bisa meledak kapan saja,” ucapku. Yah, mungkin mereka menganggapku akan ‘mengamuk’ jika mereka menyakiti hatiku sedikit saja.
Tom menghela napas, “Yui, tahukah kau mengapa mereka memperlakukanmu, kita, dengan hati-hati?”
Aku menggeleng pelan, masih menatap matanya yang jernih.
“Itu karena kita adalah harapan mereka, kita berharga. Seperti orang-orang memperlakukan emas di tangan mereka, berharap di masa depan emas itu akan menyelamatkan hidup mereka,” Tom tersenyum sebelum melanjutkan, “Kau juga, Yui. Bukan karena mereka takut padamu, tapi karena kau berharga.”
“Yui, kamu berharga bagi Ayah. Selalu berharga…”
Tiba-tiba ucapan Ayah terngiang di kepalaku.
Tom benar, aku tidak boleh rendah diri. Aku adalah harapan mereka, itu saja.
“Yang perlu kau lakukan adalah belajar dan berlatih, bukankah begitu?” tanya Tom seraya mengusap rambutku.
Aku tersenyum. “Ya.”
“Terima kasih, Tom.”
“Ada apa ini?” tanya seseorang yang baru saja kembali dari toilet, Lim. Tom menarik tangannya dari kepalaku.
“Tidak ada.” Pemuda itu menjawab sambil tersenyum.
Lim berdecak. “Bocah itu pasti tidak serius lagi, kan?” Ia tersenyum miring.
Aku menunduk takut. Lim tidak pernah menyukaiku, bahkan beberapa kali terang-terangan menyebutku naif atau semacamnya.