Jalan untuk Dilalui

Regina Mustika
Chapter #6

BAB 6

“Seharusnya kau mengkhawatirkan dirimu sendiri, Bocah. Lenganmu robek,” kata Lim saat kami sudah ada di ruang kesehatan. Urusan dengan orang itu–Din–sudah selesai dan kami segera kemari.

“Kau punya lebih banyak luka daripada aku,” kataku seraya mengobati luka di punggung Lim. Luka di lengan pemuda itu banyak, di tubuhnya apalagi. Aku ngeri melihatnya.

Pemuda itu berdecak. “Kau harus mengontrol roh pelindungmu. Sudah kubilang, seriuslah saat kelas!”

Aku meringis. “Iya, iya. Aku akan serius,” jawabku walaupun sebenarnya aku tidak paham apa maksud ‘serius’ dari ucapannya itu.

Lim mendengus kasar. Sepertinya dia sangat kesal.

Aku membalut luka Lim dengan perban, kemudian beranjak mengambil obat penghilang rasa nyeri yang ada di rak. Obat ini bisa menghilangkan rasa nyeri dalam waktu beberapa detik, rasanya manis. Obat berbentuk tablet ini juga bisa dimanfaatkan untuk bius ringan.

“Lim.” Aku memberikan obat itu pada Lim, kemudian ia memakannya.

Lim memakai bajunya kembali, kemudian mendudukkanku secara paksa di kursi yang tadi ia tempati. “Makan obat ini,” katanya sambil memberikan obat yang sama.

Aku menaikkan sebelah alisku tidak paham, namun akhirnya menurut. Mengunyah obat manis itu dan menelannya perlahan.

“Katakan padaku kalau sakit.” Lim menggulung lengan baju kiriku dengan hati-hati. Luka robek di lengan atasku itu masih mengeluarkan darah walau tak sebanyak tadi. Setelah membersihkannya, Lim bergerak untuk menjahit luka itu dengan alat kecil berbentuk bulat oval.

Alat itu mendesing pelan, lantas bergerak menjahit luka. Lim tidak menggunakannya tadi, karena lukanya tidak lebih dalam dari milikku.

Aku menatap Lim. Pemuda yang dua tahun lebih tua dariku itu terlihat lebih lembut dari biasanya. Tatapannya saat ini tidak semenyeramkan biasanya, dan nada bicaranya terselip kekhawatiran di sana. Tumben?

“Ada apa?” ketusnya. Oh, ternyata masih sama saja.

Aku buru-buru menatap ke arah lain. “Tidak.”

Apa aku salah melihat?

“Lain kali, langsung lawan saja. Yang tadi sudah bagus,” katanya.

Aku mengangguk. “Baiklah,” kemudian teringat sesuatu, “Lim, terima kasih sudah menyelamatkanku.”

Gerakannya yang hendak memasang perban terhenti. “Aku tidak menyelamatkanmu.”

Aku tergelak. 

“Apa yang kau tertawakan, Bocah?” desisnya.

Aku menutup mulutku dengan tangan kanan. “Bukan apa-apa. Hehe...”

“YUI!” Tiba-tiba pintu dibuka dengan tergesa.

Lihat selengkapnya