Rasanya sudah lama sekali aku tertidur. Saat terbangun, aku sudah berada di hutan berduri. Tidak ada siapapun di sini selain aku. Hutan ini bukan tanpa alasan aku menyebutnya berduri, karena memang setiap inci hutan ini ditumbuhi duri. Beberapa dari mereka mengeluarkan cairan bening kebiruan yang membuatku jijik.
Berkali-kali aku mencoba menajamkan pendengaranku, aku tetap tidak menemukan suara apapun. Sunyi. Seakan semua ini hanya ruangan kosong atau hampa udara. Tidak ada satupun objek yang menarik mata. Semuanya seperti dunia di dalam lukisan–yang bergerak saat cairan kebiruan itu keluar.
Aku menggali ingatanku dan menemukan bahwa sebelum aku terbangun di sini, aku sudah lama dilingkupi kegelapan setelah menelan makanan hari itu. Makanan itu, aku yakin seharusnya telah lolos dari inspeksi Bibi Lee. Wanita itu bukan tanpa alasan ditugaskan sebagai kepala pekerja kantin, roh pelindung ular deriknya membantu mendeteksi racun dalam makanan dan memberinya sinyal peringatan. Selama ini, tidak ada makanan beracun yang berhasil lolos.
SSHAAA
Aku terkesiap mendengar suara desisan itu. Mataku menatap ke sekeliling dengan waspada. Tidak ada siapa-siapa.
Aku menajamkan pendengaranku. Tidak ada suara lagi.
Tepat ketika aku memeriksa sekeliling sekali lagi, aku menyadari, duri-duri di sekitar tubuhku perlahan tumbuh ke arahku. Aku menghindari mereka, hanya untuk dikejar oleh duri-duri lainnya.
SSHAAAA
Suara itu muncul lagi, semakin dekat, semakin panjang. Tubuhku menegang, duri-duri itu mulai melukai kulitku. Semakin dekat suara itu, duri-duri ini semakin cepat tumbuh. Cairan kebiruan itu mengalir di sekitarku. Menjijikkan.
“Akh!” seruku saat duri-duri itu mulai menusukku. Mendadak aku tidak bisa bergerak. Darah mengalir, merah bercampur dengan warna biru.
Sakit sekali. Air mataku mengalir sebagai respons.
“Oh Dewa, apakah aku sedang dihukum?”
Duri-duri itu menusukku semakin dalam. Beberapa dari mereka menusuk leherku.
“Siapapun, tolong aku! Oh Dewa, tolong aku!”
Sepertinya Dewa mendengar keluhan sakitku, karena sejurus kemudian, aku melihat seekor burung hantu salju terbang tanpa suara menuju pusat desisan itu. Aku menoleh dan tidak mendapati apapun, hanya sebuah asap berwarna hitam yang anehnya bisa dicengkeram oleh burung hantu salju.
Asap itu mendesis keras-keras. Burung hantu salju menatapnya marah seraya mencekiknya. Duri-duri yang menusukku perlahan melemah dan keluar dari tubuhku.
Aku menjerit kesakitan.
Bayangkan saja ribuan duri menusuk kalian, perlahan tapi pasti, mengacaukan pembuluh darah. Tapi setelahnya, mereka keluar lagi dari kulit kalian.
Asap hitam itu mengeluarkan desisan panjang sebelum hilang. Dalam sekejap, tempat penuh duri ini berubah menjadi hamparan salju dengan pegunungan es yang berdiri kokoh mengelilinginya. Rasa sakitku hilang, seperti tidak pernah ada sebelumnya. Tempat ini nyaman sekali, aku tidak merasa kedinginan.
Burung hantu salju tadi mendarat di depanku.
“Hai, Nona Yui,” sapanya.
Hah? Dia baru saja berbicara?
“H-Hai.”
“Nona Yui, aku hampir saja terlambat menyelamatkanmu. Maafkan aku.”
Aku menggaruk sikuku yang tidak gatal. “Tidak masalah.”
“Tapi kita tetap tidak bisa berlama-lama. Ragamu sudah sangat pucat dan mulai membiru. Kau harus segera kembali ke sana, sebelum terlambat,” katanya.
Aku panik. “Separah itu?”
“Ya, setelah koma selama dua bulan lebih, mereka terlihat seperti raga tanpa kehidupan.”