Sebuah mobil sedan meluncur cepat membelah jalan raya menuju Jakarta Fair. Sayup-sayup terdengar suara orang-orang berbincang saat melewati sebuah warung di pinggir jalan. Kebiasaan berkumpul kala sore sudah datang menyapa, akan banyak orang-orang dari mulai anak kecil hingga orang dewasa yang duduk-duduk di warung, sekedar berbincang ringan. Ya, sangat ringan. Paling hanya membicarakan nasib mereka, anak-anak mereka, sekolahnya atau film di televisi. Bukan perkara negara atau politik yang dasarnya saja mereka tak pernah mengerti. Bagi mereka, masa bodoh.
Di jok belakang mobil, Manda-anak pertama di keluarga itu- yang mempunyai keterbelakangan mental – , sudah tertidur pulas. Penyakit yang diderita Manda membuatnya tumbuh lebih lama, postur tubuhnya kecil. Hampir terbalap oleh tinggi dan besar tubuh adiknya.
Sedangkan Willy, adiknya masih asyik melihat-lihat jalan raya. Sesekali ia bertanya jika ada hal yang tidak ia ketahui. Ben dan istrinya, Rose, menjawab seperti apa yang mereka ketahui. Sering kali, Willy tidak puas dengan jawaban kedua orangtuanya itu.
Jika Manda memiliki keterbelakangan mental, lain halnya dengan Willy yang justru memiliki IQ yang tinggi. Kecerdasannya sudah seperti anak-anak kelas 5 SD, padahal ia baru saja naik ke kelas 2 SD. Manda dan Willy berbeda jarak 7 tahun. Memang, ada panas ada hujan, ada siang ada malam, ada baik ada buruk. Begitu pun dengan keluarga itu. Ada kekurangan, juga ada kelebihan.
Mobil yang Ben kendarai semakin tersendat jalannya. Sudah dua jam dari rumah mereka di Tangerang ke Jakarta. Sudah bukan rahasia jika ibukota akan sangat macet, apalagi malam minggu serta adanya pesta rakyat yang digelar. Wah, setiap pengguna jalan berkendara harus ekstra sabar melaluinya.
Memasuki daerah Kemayoran, Ben memacu mobilnya lebih pelan lagi. Jalan memang sudah padat, sulit untuk mencari tempat sekedar berhenti, kecuali memang di lahan parkir.
“Wah, mahal ya, Pa, biaya parkirnya,” protes Rose sambil terus memperhatikan papan pemberitahuan yang terpampang jelas di dekat loket parkir.
“Bukan hanya parkir yang mahal, Ma. Tiket masuknya pun begitu, capai tiga puluh ribu rupiah,” imbuh Ben lalu memutar stir mobilnya ke kanan, bersiap memarkirkan mobilnya di lahan yang masih kosong.
“Jadi bukan pesta rakyat ya, Pa.” Rose masih ingin mengomentari banyak saat Willy sudah lebih dulu keluar dari mobilnya.
Rose bergegas menggandeng Willy yang mendongak memperhatikan apa saja yang ada di sana. Sementara Ben membuka pintu belakang mobil dan menggendong Manda, lalu berjalan menyusul Rose dan Willy.
“Kak Manda, Kak Manda bangun dong. Yuk kita beli mainan, Kak,” ajak Willy dengan girang menarik baju Manda yang masih dalam gendongan Ben.
Yang dipanggil-panggil menggeliat dalam pelukan Ben. Mulutnya menganga lebar dengan liur yang keluar tanpa bisa ia kontrol sendiri.
“Anda mau beli mainan juga,” ujar Manda dengan aksen cadel yang sedikit sulit dimengerti bagi orang yang baru mendengar.
Manda meronta turun dari gendongan Ben dan menggandeng Willy yang berdiri tidak jauh darinya. Mereka menuju seorang pedagang balon besar dengan berbagai karakter Disney yang lucu. Manda menunjuk satu balon bergambar Princess, sedangkan Willy memilih balon bergambar dan berbentuk kepala Micky Mouse. Keduanya tertawa riang.
Rose tersenyum melihat kedua anaknya begitu bahagia, sejurus kemudian ia menyodorkan uang lima puluh ribuan pada bapak tua pedagang balon tadi. Tanpa menunggu kembalian uangnya, Rose sudah berjalan menggandeng kedua anaknya dan Ben.
“Terima kasih, Bu,” gumam bapak pedagang balon karena Rose sudah menjauh. Wajahnya mengguratkan senyuman bahagia karena mendapat rezeki tak terduga.
Manda dan Willy bermain riang di sana, meski pun tak banyak yang bisa mereka nikmati. Entah kenapa, tahun ini Jakarta Fair seperti bukan pesta rakyat. Dari tiket masuk dan harga parkir saja sudah bisa terbaca, pesta rakyat kali ini bukan untuk rakyat menengah ke bawah. Sejak tadi hilir mudik di sana hanya di penuhi orang-orang bersih dengan gaya elegan dan terkesan memamerkan harta apa yang mereka bawa.
Hari ini, goyangan ondel-ondel atau suara riuh tanjidor tidak terdengar. Yang ada hanya deretan stand yang menjual barang-barang elektronik dan sebuah lahan yang sengaja dikhususkan untuk konser musik. Beberapa orang terlihat berdiri dengan mencak-mencak pada penjaga lahan konser musik itu. Sekedar ingin tahu, Rose mendekat.
“Masa mau masuk nggak boleh bawa barang belanjaan, tapi nggak disiapin tempat penitipan barang. Maunya apa sih?” Seru seorang ibu berbaju bunga-bunga yang terkesan ramai di sebelah Rose.
“Udah mahal, pelayanannya kok malah tambah nggak bagus ya? Dulu semua serasa asyik-asyik aja. Betawi banget, Jakarta banget, rakyat bangetlah pokoknya,” balas ibu lainnya yang juga merasa kecewa dengan keputusan panitia konser musik di sana.
Rose hanya berdecak dan menggeleng beberapa kali. Benar yang ia bilang tadi, ini namanya bukan pesta rakyat. Duh… sepertinya pebisnis sudah mulai mengitung laba besar dari acara tahunan ini.
Rose memilih meninggalkan lokasi konser dan mencari anak serta suaminya yang asyik berbincang di stand elektronik. Tangan kanan Manda masuk ke dalam mulutnya, sedangkan tangan kirinya sejak tadi menunjuk-nunjuk I-Pad yang terpajang di sana.
“Manda mau apa, Sayang?” Tanya Rose saat sudah berada di dekat Manda.
“Ini.” Manda terus saja menunjuk pada I-Pad di hadapannya.