Kokok ayam terdengar dari kejauhan sana, sebuah kampung di belakang perumahan tempat Willy dan keluarganya tinggal. Di atas kasur empuknya, Willy menggeliat manja dan terus menendang-nendang selimut yang menutupi sebagian tubuhnya.
Ruangan berwarna putih dengan hiasan-hiasan bergambar logo beberapa club bola internasional itu terbilang rapi. Willy selalu meletakan kembali barang-barang yang sudah selesai ia pakai ke tempatnya semula. Tak ia biarkan sedikit pun benda-benda di kamarnya berserakan, meski pun biasanya Manda yang paling senang memberantaki.
"Illy, Illy, bangun!" Manda membangunkan adiknya dengan suaranya yang khas cadel.
Di dada Manda terikat celemek yang berguna untuk membersihkan liurnya jika tiba-tiba saja menjulur.
"Kak Manda? Ini kan masih pagi, ngantuk. Mainnya nanti siang ya," Willy menarik bantal berlogo Manchaster United hingga menutupi seluruh wajahnya.
Untuk beberapa lama ia terdiam, tak ada lagi suara Manda. Willy mengangkat bantal yang ada di atas wajahnya. Benar, Manda tak lagi di kamarnya. Willy berbalik arah, hendak meneruskan tidurnya.
Sreeekk...
Tangannya menyentuh sesuatu. Kertas. Willy membalik dan melihat apa yang tertera pada kertas itu. Matanya terbelalak. Sebuah kertas dengan gambar anak laki-laki dan perempuan, meski pun gambarnya lebih mirip alien karena tak jelas bentuk dan rupanya. Di bawah gambar itu, Willy mendapati tulisan yang membuatnya seakan bersalah pada Manda. 'Aku sayang Willy', begitulah tulisan tangan Manda yang ada pada kertas itu. Satu lagi keistimewaan Kak Manda, ia bisa menulis dan membaca meski tak sempurna.
Willy melompat dari tempat tidurnya dan mencari Manda di setiap sudut ruangan rumahnya. Di ruang keluarga, Manda tidak ada. Di kamarnya juga tidak ada. Willy menuju dapur, hendak menanyakan pada mamanya. Tapi langkahnya terhenti saat melihat kaki yang menjulur di pintu kamar mandi. Willy mendekat.
"Kak Mandaaa!" Pekik Willy kaget melihat Manda terkapar di depan pintu kamar mandi.
Tangan Manda masih berlumur busa sabun yang juga tercecer di lantai. Sepertinya Manda terpeleset akibat busa dan air yang menjadikan lantai licin.
"Maaa..." Teriak Willy karena takut melihat Manda yang pingsan.
Dari dapur, Rose berlari-lari kecil menghampiri. Mendapati Manda pingsan, Rose tak kalah histeris. Digendongnya Manda ke sofa yang berada di ruang keluarga. Setelah itu, Rose menelpon rumah sakit untuk meminta segera dikirimkan ambulance agar bisa membantu anaknya.
Sambil menunggu ambulance datang, berkali-kali Rose memberi napas buatan dan mengoles minyak angin di tengkuk Manda dan menciumkan aromanya. Tapi Manda tak juga bangun.
Hatinya semakin berdebar-debar memeriksa denyut nadi anaknya itu. Di sisi Manda, Willy murung. Ia merasa bersalah. Bukan lantaran jatuhnya Manda di kamar mandi. Kalau saja tadi ia menuruti keinginan Manda, kalau saja tadi ia tidak tidur lagi, pasti kejadiannya tidak akan seperti ini. Manda tidak akan jatuh di kamar mandi.
Saat itu, rasanya Willy ingin menangis. Tapi mengingat pesan papanya, 'lelaki harus kuat, tidak boleh cengeng', Willy tak jadi menangis. Ia menguatkan hatinya.
‘Kak Manda akan baik-baik saja’, batinnya.
Tidak lama, sirine ambulance terdengar nyaring dan berhenti di halaman rumahnya yang luas. Rose membuka pintu dan membiarkan dua orang berpakaian putih membawa Manda. Di belakangnya, Rose dan Willy terus membuntuti. Untunglah pagi itu jalan raya tak macet, mungkin karena hari libur weekend.
Sesampainya di rumah sakit, semua bekerja cekatan. Petugas rumah sakit mendorong Manda memuju UGD. Rose menuntun Willy untuk duduk di kursi tunggu. Ada tiga baris, dengan jumlah bangku 5 ditiap barisnya. Rose dan Willy duduk di bangku yang paling depan.
"Ma, maafkan Willy ya, karena nggak bisa jaga Kak Manda," Willy memeluk Rose yang ada di sebelahnya.
"Willy nggak salah, Sayang. Nggak ada yang salah, ini kan cobaan dari Tuhan," Rose balik memeluk Willy. Membelai rambutnya dan menenangkannya agar tidak merasa bersalah.
"Kalau saja tadi Willy nggak tidur lagi dan memilih menemani Kak Manda main, pasti Kak Manda masih baik-baik saja, Ma," tangis Willy semakin pecah.
"Sudah Sayang, nggak ada yang salah. Kak Manda juga akan baik-baik saja. Tunggu sebentar di sini ya. Mama mau telepon Papa dulu," Rose melepaskan pelukannya dan berjalan sedikit menjauh dari Willy, rasanya Rose juga ingin menangis tanpa Willy ketahui.
Di bangkunya, Willy beranjak. Dari pintu kaca, ia melihat Manda yang sedang ditangani dokter. Airmata Willy jatuh lagi membentuk anak sungai di pipinya. Ia benar-benar takut hal buruk terjadi pada kakaknya. Sesekali, Willy mengusap wajahnya yang berurai airmata. Tak lama, Rose kembali dan mengajak Willy mencari sarapan. Awalnya, Willy menolak karena ingin menjaga Manda. Tapi berkat bujukannya, Willy mau menurut.
***
Sudah dua hari Manda dirawat inap di rumah sakit. Untunglah keadaannya semakin membaik. Ben dan Rose berganti-gantian menjaga Manda. Sedangkan Willy akan datang saat pulang sekolah sampai sore hari, sebelum ia berangkat kursus. Selama di rumah sakit, Willy selalu membantu Manda. Rasa sayang pada kakaknya itu membuat Willy rela melakukan apapun untuk Manda.
"Kalau besok suhu tubuhnya sudah normal, Manda sudah boleh pulang, Pak."
Kata-kata dokter pada papanya, membuat Willy senang.
"Kakak sudah sembuh. Kalau Kakak pulang besok, Willy ajak main ya," ujar Willy menyentuh bahu Manda.
Sementara yang diajak bicara malah asyik dengan dirinya sendiri.