Sejak semalam, Willy tidak bisa tidur. Keadaan yang 180° berbeda dari rumahnya membuat ia benar-benar tak bisa memejamkan mata walau sebentar. Anak lelaki berbadan bongsor itu membuka matanya. Mengerjap-ngerjap ketika cahaya matahari masuk melalu bilik-bilik, menerjang pandangannya.
Di sebelah kanannya, Manda masih tertidur pulas. Sementara di sebelah kirinya, kosong. Rasa-rasanya, semalam Mak Inah tidur di sebelahnya. Ke mana Mak Inah? Keciprak-keciprak nyata terdengar dari belakang rumah. Ya, rumah Mak Inah hanya punya satu ruangan. Untuk tidur, menerima tamu, juga sekedar berbincang-bincang.
Willy bangkit dari tidurnya yang hanya beralaskan tikar anyaman daun pandan yang Mak Inah buat sendiri saat penggusuran lahan pandan tak jauh dari rumahnya. Orang-orang bilang akan dijadikan klinik. Di belakang rumah Mak Inah, ada kamar mandi yang juga tak layak. Hanya ditutupi karung-karung bekas wadah beras. Di dalamnya tong besar bekas kaleng cat menjadi penampung air. Gayungnya dari batok kelapa. Aliran airnya pun dibiarkan mengalir ke dataran rendah yang ada tak jauh dari sana. Lain halnya jika buang air besar. Mak Inah harus jalan cukup jauh mencapai empang di bawah sana.
Willy mencari-cari Mak Inah. Tapi Willy tak mendapati nenek itu di sana. Willy memutar pandangannya, mencari sosok Mak Inah yang sudah menyelamatkannya. Tak lama, di kejauhan, sosok Mak Inah muncul dengan ember di tangan kanannya dan sebuah baskom kecil di tangan kirinya.
"Sudah bangun tho, Le?" Tanya Mak Inah.
"Sudah, Mak."
Willy mengambil posisi duduk di depan Mak Inah yang sedang mencuci jagung kering.
"Mak mau buat apa? Willy boleh bantu nggak?" Willy mulai tertarik melihat apa yang dikerjakan mak Inah.
"Jangan Le, kamu kan belum tau caranya. Liat saja dulu, ya," Mak Inah melarang dengan lembut, persis mamanya.
Willy terdiam, menunduk. Ingatan-ingatan tentang orang tuanya kembali berloncat-loncatan. Ada hasrat ingin kembali. Tapi, alamat lengkap rumahnya saja Willy tidak hafal. Bagaimana bisa memberitahu Mak Inah. Lagipula, ia juga tidak tahu sekarang berada di mana. Pasti jauh. Melihat keadaannya, tidak mungkin Mak Inah punya uang untuk ongkos mencari-cari alamat rumah Willy yang tak tahu keberadaannya. Sedang Mak Inah tak bisa janji dengan bantuan orang desa. Mungkin kah karena Mak Inah miskin, sehingga dipandang sebelah mata?
"Namamu siapa, Le?" Tanya Mak Inah sambil terus mengaduk-aduk jagung kering di dalam baskom, hendak dicuci lagi.
“Willy, Mak.”
“Mbakmu?" Tanya Mak Inah lagi.
“Kak Manda. Mak tinggal dengan siapa?" Kali ini Willy yang bertanya.
Mak Inah menghentikan gerakan tangannya, menatap Willy lekat-lekat. Air wajah Mak Inah berubah murung. Sepertinya ada cerita sedih di baliknya.
“Mak tinggal sendiri. Bapak sudah meninggal, dua anak Mak merantau tapi ndak pernah pulang lagi," cerita Mak Inah, sedih.
Willy mengangguk-angguk. Ia tak mau lagi meneruskan pertanyaan-pertanyaannya. Ia tak enak hati membuat Mak Inak bersedih. Meski pun sebenarnya masih banyak yang ingin ia tanyakan. Kenapa anak-anaknya tak kembali? Apa dulu bapak meninggal karena sakit? Apa Mak Inah pernah mencari tahu tentang anaknya? Pasti Mak Inah rindu sekali dengan anak-anaknya, ya? Sama seperti saat ini ia rindu dengan keluarganya. Tapi, ada rasa takut yang teramat sangat yang membekap raga dan jiwanya.
Tapi, melihat wajah Mak Inah yang sedih, Willy tak sampai hati. Meski Mak Inah orang tak punya, tapi tak sedikit pun ia berniat meminta-minta. Hanya air saja. Ya, Mak Inah tak punya sumber air sendiri. Jangankan pompa air seperti beberapa tetangganya, sumur pun ia tak punya. Biaya penggaliannya terlalu mahal. Lebih baik Mak Inah gunakan untuk modal jualan.
"Mak mau buat apa?" Willy mengalihkan pembicaraan.
"Oh ini, Mak mau buat krau jagung. Willy tahu?" Mak Inah kembali membersihkan jagung di dalam baskom.
Willy menggeleng, tangan kanannya meraih butiran-butiran jagung dan memperhatikannya dengan seksama. Jagung-jagung kering yang kini ada di tangan Mak Inah adalah jagung-jagung yang akan dipakai untuk membuat krau.
Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, Mak Inah mengandalkan penjualan krau jagung. Krau adalah jagung yang direbus, dimakan dengan taburan kelapa muda yang sudah diparut dan gula. Masyarakat Tonjong memang sangat menggemari camilan yang satu itu. Krau Mak Inah juga sudah sangat terkenal kelezatannya. Jika ada hajatan, biasanya krau Mak Inah masuk sebagai menunya.