Sayup-sayup terdengar suara beberapa orang berbincang-bincang dari luar rumah Mak Inah. Tidak heran memang. Di pedesaan, orang-orang akan bangun sangat pagi untuk bekerja, mencari rezeki yang bisa mereka bawa pulang sore hari nanti. Padahal tidak sedikit dari mereka yang hanya membawa sedikit saja rezeki. Tapi rasa syukur selalu mereka panjatkan. Itulah yang membuat mereka tak pernah merasa kekurangan. Rezeki yang sedikit itu cukup untuknya dan untuk keluarganya, atau bahkan beramal ke tetangga.
Willy mengerjapkan matanya berkali-kali demi mendapatkan pandangan yang jelas. Sebenarnya, mata Willy masih sangat mengantuk. Namun, tinggal bersama dengan Mak Inah membuat Willy berpikiran dewasa lebih cepat. Willy menghirup napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Aroma pedesaan begitu kental terasa melalui lubang hidung Willy. Segar. Meski kadang, perkotaan membuatnya rindu sekaligus trauma. Bagaimana kabar orang tuanya? Mengingat itu, dada Willy serasa sesak.
Willy menoleh pada kakaknya yang masih tertidur pulas. Kakak yang menjadi penyemangatnya untuk memberikan kehidupan layak nantinya. Kakak dengan kondisi istimewa yang selalu ia sayangi. Willy menarik sehelai kain yang terhampar tak jauh dari Manda tidur dan menutup sebagian tubuh kakaknya itu.
Anak laki-laki berumur 8 tahun itu segera bangkit menuju halaman belakang. Jam segini, pastilah Mak Inah sudah sibuk dengan jagung-jagung keringnya di belakang. Willy menyeret langkahnya dengan sedikit membuka mulut, menguap. Belum sampai di halaman belakang, tempat Mak Inah biasa mencuci dan memasak jagung-jagung untuk dibuat krau, Willy menghentikan langkahnya.
“Kok sepi?” Gumamnya pada diri sendiri.
Willy menunda niatnya untuk menuju halaman belakang, ia memilih untuk menuju sebuah meja berukuran kecil yang letaknya tak jauh dari tempatnya berdiri sekarang. Di atas meja kecil itulah terdapat beberapa tempat makanan yang biasa diisi jagung setengah matang untuk bahan krau. Willy mengangkat tudung saji di atas meja yang telah berwarna pudar. Willy menyernyitkan dahi. Nihil. Tak ada apa-apa di sana.
“Mak ke mana ya?” Lagi-lagi ia menggumam sendiri.
Belajar dari Mak Inah yang sangat menghargai waktu, Willy pun demikian. Meski krau setengah matang belum tersedia, ia tak lantas kembali tidur. Ia memilih untuk menimba air dari sumur tetangga yang memang sudah biasa memberi sumbangan air, dengan syarat menimba sendiri airnya dari sumur.
Willy membawa dua ember berukuran sedang menuju sumur dengan menggantungkannya pada sebuah bilah bambu agar ia bisa lebih mudah membawa dua ember berisi air nanti secara bersamaan.
“Mak Darti, assalamu’alaikum,” seru Willy pada seorang perempuan yang lebih muda dari Mak Inah.
“Wa’alaikumsalam, Le. Mau ambil air tho? Tumben ndak makmu yang ambil?” Mak Darti menghentikan menampi beras untuk memisahkan antara padi dan beras yang bisa langsung diproses.
“Iya Mak, permisi ya Mak. Langsung timba air.”
Perlahan Willy menarik tali timba di sumur. “Mak Inah mungkin sedang ke warung,” lanjutnya menjawab pertanyaan Mak Darti.
Dari tempatnya, Mak Darti mengangguk-angguk tanda mengerti. “Hati-hati yo, Le,” pesannya.
“Iya Mak,” sahut Willy singkat dan bergegas menyelesaikan pekerjaannya menimba air sumur.
Satu ember sudah terisi penuh, tinggal menunggu satu lagi terisi untuk kemudian dibawanya pulang. Ini memang kali pertama Willy menimba air, namun karena sering memperhatikan Mak Inah menimba, ia jadi khatam cara-cara menimba dan membawa ember berisi air ke rumahnya.
Tak perlu waktu lama untuk ember-ember itu terisi air penuh. Saat kedua ember telah terisi air, Willy mengambil bambu kemudian menyematkannya pada pegangan ember agar nanti ketika diangkat kedua ember bisa sekaligus diangkut. Setiap satu ujung bambu mendapat jatah angkut satu ember. Lalu bambu itu ia letakan di bahunya. Membawa beban seberat itu, cukup membuat Willy kewalahan. Namun wajah mak Inah yang tiba-tiba saja muncul, membuatnya terbakar semangat.
“Mak Darti, terima kasih ya,” teriaknya sambil terus membawa ember-ember berisi air itu.
“Iya Le, hati-hati bawanya. Berat,” ujar mak Darti tak kalah kencang suaranya karena jarak yang berjauhan.
Berat ember berisi air itu membuat Willy harus beberapa kali menghentikan langkahnya hanya sekedar untuk menarik napas, mengumpulkan tenaga. Dari kejauhan, Willy melihat siluet sosok Mak Inah yang sedang berjalan menuju rumahnya. Bayangannya tak terlalu jelas memang, maklum desa dengan penerangan minim, terlebih hari masih cukup pagi.
Lambat laun siluet itu benar-benar nyata, menuju salah satu warung yang tak jauh dari sana. Willy bergegas mengangkat lagi ember-embernya dan menghampiri Mak Inah. Namun langkahnya terhenti saat mendengar caci maki seorang wanita pada Mak Inah. Willy menajamkan pendengarannya.
“Udah miskin malah ngutang, nanti bagaimana bayarnya, hah?” Hardik wanita itu.
“Cari saja di warung lain. Itu pun kalau mereka mau kasih hutang sama tua miskin macam Mak Inah. Biasanya juga ngutang di warung Asih. Sudah sana!” Belum sempat Mak Inah menjawab apapun, wanita itu sudah meludahi Mak Inah dengan kata-kata yang menyayat hati Willy.
Dari samping warung, Willy menggigit bibirnya kuat-kuat agar tidak menangis. Ia mengurungkan niatnya untuk muncul menemui Mak Inah. Waktunya tidak tepat. Melihat Mak Inah berjalan keluar warung dengan wajah basah, Willy cepat-cepat bersembunyi. Ia tak ingin Mak Inah tahu kalau ia melihat semua kajadian penghinaan tadi. Tanpa basa basi, Willy mempercepat langkahnya menuju rumah.