Seperti pagi-pagi sebelumnya. Pagi ini pun, saat matahari belum sepenuhnya meluncur keluar, Mak Inah sudah tak ada di tempat tidurnya. Willy terjaga.
"Pasti sedang di luar," gumam Willy yang mendapati Mak Inah tidak ada di dekatnya.
Willy mengubah posisi tidurnya, membelakangi Manda. Tapi ia tak lagi bisa memejamkan matanya hingga matahari benar-benar telah menerangi bumi, menyingkap embun yang membasahi Tonjong kala itu.
Sebenarnya, Willy sangat ingin membantu Mak Inah di luar. Tapi, lelah yang menghujani tubuhnya akibat berjalan cukup jauh ke dalam hutan. Demi makanan. Tapi sikutan serta tendangan kaki Manda membuatnya menoleh pada kakaknya itu.
"Kak Manda!" Pekiknya kaget melihat tubuh Manda kejang-kejang.
Willy berlari ke dapur dan ke kamar mandi, di belakang rumah Mak Inah, tapi tak ada orangtua itu di sana.
"Mak, Mak Inah," teriak Willy penuh khawatir.
Tapi tak juga ada sahutan dari Mak Inah. Willy memutuskan untuk kembali masuk dan menemui Manda yang terus kejang-kejang. Willy tak kuasa melihatnya, tapi ia juga tak tahu harus berbuat apa. Sejurus kemudian ia berlari ke luar rumah, hendak mencari bantuan. Willy memberhentikan seseorang yang melintas di depannya.
"Pak, tolong Pak," serunya.
Lelaki bertubuh gempal dan berkulit gelap itu menoleh. Ia mengangkat topi yang membungkus kepalanya.
"Ada apa?" Kumis tebal yang melintang di atas bibirnya bergerak-gerak saat ia bicara.
Willy melangkah lagi, mendekatkan diri pada bapak dengan nama 'Slamet' di dada kirinya.
"Pak, tolong kakak saya," Willy menarik lengan pak Slamet untuk mengikutinya ke dalam rumah mak Inah.
Pak Slamet memeriksa pergelangan tangan Manda, lalu mengangguk-angguk dan menggendongnya.
“Kita ke puskesmas ya. Ayo cepat!” Ujar pak Slamet yang langsung melesat menuju puskesmas.
Willy mengikuti dari belakang. Langkah pak Slamet yang begitu cepat membuat Willy harus setengah berlari membuntuti. Dari belakang, Willy bisa melihat wajah Manda yang pucat pasi. Willy takut, ia menggigit bibirnya kuat-kuat agar tidak menangis. Hatinya terus saja meyakinkan diri kalau Manda akan baik-baik saja.
Di tengah perjalanan, ia berpapasan dengan Mbak Asih yang berkali-kali menghujamnya dengan pertanyaan tentang Manda. Namun Willy tak bisa menjelaskan lebih, ia hanya berpesan agar mbak Asih bisa menyampaikan kabar ini pada mak Inah yang entah sekarang sedang ada di mana.
Kaki kecil Willy yang beralaskan sandal Bata sejak pertama kali ia datang, terus menapaki jalan becek dan berlumpur. Namun ia tak mengenal putus asa. Baginya, kini Manda yang terpenting. Tak peduli kaki-kaki tanpa alas yang terluka sekali pun.
“Pak apa masih jauh?” Tanya Willy tak sabar.
“Sebentar lagi, itu di ujung sana,” sahut pak Slamet tanpa melihat ke arah Willy.
Melihat gedung lebar namun sederhana di depan jalan, Willy merasa lega. Di depan gedung itu tertulis Puskesmas Desa. Willy menghela napas dan mempercepat langkahnya. Gedung itu semakin dekat, hati Willy justru semakin berdebar.
“Kak Manda akan baik-baik saja,” batinnya.
Sesampainya di ruang tunggu Puskesmas itu, pak Slamet segera membawa Manda ke ruang dokter yang kebetulan sedang ada jam di desa Tonjong. Entah bagaimana nasib Manda kalau saja tak ada dokter.
Sayangnya, pak Slamet tidak mengizinkan Willy ikut serta masuk ke ruangan dokter. Di kursi tunggu yang terbuat dari kayu, Willy menghempaskan tubuhnya. Harapan agar Manda baik-baik saja jelas terpancar dari wajahnya yang tampan. Berbeda dengan anak-anak lelaki seusianya di desa ini.