Jalan Untuk Pulang

Mitha Juniar
Chapter #8

#8 Belajar Mandiri

Suara keciprak-keciprak air yang dituangkan dari ember ke bak yang lebih besar terdengar jelas di telinga Mak Inah. Ia melihat jam kecil yang memeluk dinding biliknya tak jauh dari tempat tidurnya. Jam berumur belasan tahun, saat Bapak masih ada.

“Siapa jam segini main air?” Gumamnya.

Mak Inah memutuskan untuk bangkit. Tapi baru saja akan menarik selimut untuk Manda dan Willy, Mak Inah sudah bisa mendapatkan jawaban siapa orang yang sedang menuang air di belakang. Willy.

Bergegas Mak Inah menghampiri. Siluet seorang anak laki-laki yang tengah menggotong dua ember dengan bilah bambu itu lama-kelamaan semakin dekat, semakin nyata.

“Mak sudah bangun?” Tanya Willy dengan wajah penuh lelah.

“Sudah, Willy ngapain Le? Biar saja nanti Mak yang timba dari sumur Mak Darti,” Mak Inah hendak mengambil salah satu ember yang Willy bawa.

Willy tersenyum memandang Mak Inah. “Willy bisa kok Mak.”

Mak Inah mengangguk melihat Willy yang begitu bersemangat membantunya. Besar keinginannya untuk bisa menyekolahkan Willy. Entahlah, akan ada atau tidak biayanya. Selama keajaiban masih bisa bekerja sama dengan usaha, Maka mak Inah akan lakukan itu.

“Mak,” panggil Willy pelan namun membuat Mak Inah sedikit tersentak. “Yuk kita ke warung Mbak Asih, tadi Willy lihat sudah buka. Tapi… Willy belum berani untuk pinjam jagung kering sendirian,” lanjutnya.

Mak Inah terkekeh, “Iya ayo, Le.”

Sepasang ibu dan anak angkat itu berjalan beriringan membelah jalan setapak dan langit yang masih sedikit gelap. Bahkan udara dingin pun masih terasa mengelus kulit siapa pun yang lewat. Embun pun masih berupa butiran bening yang indah nan segar.

Di warung sederhana, Mak Inah dan Willy berhenti.

“Mak Inah, ini sudah ada jagung keringnya. Alhamdulillah ada pasokan dari pak dokter di puskesmas juga. Jadi harganya lebih murah, Mak.” Belum apa-apa Mbak Asih sudah menyodorkan rezeki pada Mak Inah.

“Alhamdulillah Sih, syukur sekali. Hari ini memang sudah kering kerontang, semoga hari ini laris manis krau buatan Mak ya, Nduk. Biar bisa bayar hutang ke kamu juga,” ujar Mak Inah penuh syukur.

Tentu agar Mak tak perlu pinjam-pinjam ke warung ibu galak, batin Willy.

“Amin, Mak. Lha ini Willy ikutan dagang juga tho?” Tanya Mbak Asih.

 “Iya Mbak, bantu Mak biar dagangannya banyak yang laris juga,” sahut Willy sudah tak canggung lagi karena tarnyata Mbak Asih benar-benar baik.

“Amin ya, Le.”

Tebaran senyum di bibir Mak Inah dan Willy terus terpancar sepanjang jalan menuju rumahnya. Dua kantong jagung kering yang ada di tangan Mak Inah menjadi harapan terbesar keluarga itu hari ini.

Sesampainya di rumah, tak ada lagi istirahat. Mak Inah langsung mencuci jagung kering yang baru saja di pinjam dari warung Mbak Asih. Baskom kecil yang memang selalu menjadi wadah untuk mencuci sudah terisi jagung kering. Mak Inah mencuci jagung-jagung kering itu sebanyak tiga kali. Kemudian berlanjut mengolahnya untuk menjadi krau.

Sementara Mak Inah mengolah, Willy membangunkan Manda karena matahari sudah naik sepenggalah. Usai menunggui Manda mandi dan berganti pakaian, Willy menemaninya bermain seadanya. Sebuah boneka dari kain jarit yang Mak Inah buat sendiri, tanpa jahitan. Hanya lipatan-lipatan kreasi tangan kreatif Mak Inah. Manda sangat menyayangi boneka itu, baginya boneka itu adalah pengganti boneka-boneka yang dulu ada di rumahnya.

“Illy… mama mana?” tanya Manda tiba-tiba, seakan menohok jantungnya.

“Illy…” panggil Manda lagi sambil mengguncang lengan Willy yang tertegun.

“Iya, mama ada kok, Ka. Eh, kita bantu Mak Inah yuk! Ikut jualan,” Willy mencoba mengalihkan pembicaraan.

Manda mengangguk, dan membuntuti Willy yang bangkit menghampiri Mak Inah di belakang.

Maaf kak Manda, Willy juga rindu sama mama dan papa. Tapi Willy juga nggak tahu di mana mereka, batin Willy tanpa terasa airmatanya menetes membasahi pipi.

Sementara di dapur, Mak Inah sudah bersiap dengan krau yang akan dijajakan keliling kampung. Satu plastik besar kelapa muda parut juga sudah tersedia untuk taburan pelengkap saat menyantap krau. Tak ketinggalan potongan-potongan kecil daun pisang untuk sendok saat memakan krau tersebut. Itulah yang menjadi kekhasan krau.

Satu demi satu rumah terlewati dan ditawari camilan krau. Ada yang membeli, ada yang menolak. Bahkan ada yang sudah menanti dan sengaja memanggil Mak Inah untuk membeli. Mak Inah tahu benar, Gusti Allah sudah mengatur semuanya. Termasuk rezeki Willy yang dititipkan padanya.

“Mak pesan krau untuk acara syukuran khitan anak saya ya. Tapi untuk dua hari lagi, bisa ndak?” tanya seorang ibu berdaster merah.

Mata Mak Inah berbinar-binar, begitu pun dengan Willy. Jika benar ibu tadi memesan krau Mak Inah untuk syukuran, itu berarti Mak Inah akan dapat orderan besar. Hasilnya pasti lumayan sekali. Semoga saja Mbak Asih masih mau meminjamkan jagung kering yang banyak, atau… syukur-syukur kalau ibu tadi mau memberi modal awal sebagai pembayaran awal tanda jadi.

“Oh, bisa Mbak, bisa,” sahut Mak Inah gembira.

Saat Mak Inah, Willy dan Manda bergegas akan pergi, ibu tadi memanggilnya. Sejurus kemudian ia menyerahkan beberapa lembar uang pada Mak Inah.

“Ini Mak, sebagai tanda jadi. Jangan lupa pesanan saya, ya,” pesan ibu itu.

Serentak Mak Inah dan Willy saling pandang dan tersenyum. “Alhamdulillah, terima kasih, Mbak. Iya, pada harinya nanti saya antar kraunya.”

Sepanjang perjalanan, bukan hanya rezeki pesanan krau untuk syukuran saja yang menjadi rezeki Mak Inah hari itu, tapi juga kraunya yang lebih cepat habis dari biasanya. Mungkin masyarakat rindu dengan camilan krau yang sudah dua hari tidak lewat di sekitarnya karena tidak adanya modal bagi Mak Inah.

***

Belum sampai tengah hari, Mak Inah, Willy dan Manda sudah kembali ke rumah. Saat melewati warung Mbak Asih, Mak Inah menyempatkan singgah untuk membayar hutang dari jagung kering yang dipinjamnya.

“Sih, ini hutang pinjaman jagung kering tadi pagi. Terima kasih banyak ya,” Mak Inah memberi beberapa lembar uang pada Mbak Asih yang sedang menjaga warungnya.

“Lho, tumben cepet Mak? Ahamdulillah…”

“Iya, Alhamdulillah Sih sudah habis kraunya.”

“Wah, Willy dan Manda bawa keberuntungan nih, Mak,” sahut Mbak Asih.

“Mbak Asih bisa saja,” kali ini Willy ikut angkat bicara,

Obrolan Mak Inah, Mbak Asih dan Willy semakin akrab. Bahkan Manda cepat sekali akrab dengan Mbak Asih yang baik hati. Sejak saat itu, Mbak Asih sering ikut membantu menjaga Manda jika Willy membantu Mak Inah berdagang keliling desa.

***

“Hari ini buat pesanan krau untuk ibu yang mengadakan acara syukuran itu ya, Mak?” tanya Willy dengan mata yang sedikit mengantuk.

“Iya Le. Hari ini libur keliling dulu ya. Ibu itu juga minta Mak bantu-bantu cuci piring di rumahnya. Lumayan, Le,” sahut Mak Inah sambil terus mengaduk jagung-jagung di dalam panci.

Lihat selengkapnya