Sudah hampir satu minggu Willy berjualan di sekolah dasar itu. Penghasilannya lumayan untuk bantu Mak Inah. Sehingga mereka tak lagi menghutang krau pada Mbak Asih. Mereka membelinya langsung sambil menjemput Manda yang masih senang bermain di warung Mbak Asih. Meski sebenarnya tak enak hati setiap hari menitipkan Manda, tapi Mak Inah dan Willy tak bisa berbuat apa-apa lagi. Mungkin sesekali mak Inah bisa libur keliling untuk menjaga Manda. Itu pun tetap di warung Mbak Asih.
Setiap hari, anak laki-laki yang pertama membeli krau, juga selalu membeli krau yang Willy jual. Hari ini ia bertekad akan berkenalan dengan anak itu. Pagi-pagi sekali, Willy sudah sampai di depan sekolah. Belum banyak pedagang yang datang. Hanya ada Willy, penjual es melon, penjual bubur ayam dan penjual gulali rambut nenek.
Abang-abang penjual di sana juga baik pada Willy, terlebih ketika tahu Willy adalah cucu Mak Inah, yang mereka kenal sebagai pedagang paling tua di Tonjong. Pedagang jujur yang menjadi panutan mereka. Itulah mengapa mereka sangat menghormati Willy.
“Willy, Bu guru sudah ke rumahmu?” Tanya anak laki-laki yang terakhir Willy ketahui bernama Bagas itu.
“Belum, memangnya ada apa?” Willy menyernyitkan dahi, bingung.
“Ah nggak, nanti juga kamu tahu. Beri aku satu bungkus krau ya, ini uangnya,” lanjut Bagas mengalihkan pembicaraan.
Willy tak banyak bertanya lagi, tangan lincahnya segera menyiapkan pesanan Bagas usai menerima uangnya. Meski Willy masih penasaran dengan maksud dari kata-kata Bagas, tapi ia teringat kembali, ‘nanti juga kamu tahu’. Itu berarti ia akan tahu dengan sendirinya, biarlah.
Udara Tonjong sudah menghangat, Willy menengok kraunya. Sudah tinggal sedikit sekali. Bahkan untuk satu porsi saja terlalu sedikit. Maka ia memutuskan untuk segera pulang. Lain kali, ia akan minta Mak Inah menambahkan kraunya supaya pulang nanti lebih banyak uang yang ia bawa. Setelah berpamitan pada pedang-pedangan di sana, Willy melangkah pergi menjauhi gedung sekolah.
Kaki-kakinya yang tak kenal lelah terus menyusuri jalan yang kadang becek, kadang berbatu atau malah kadang licin hingga ia harus melepas sandalnya dan berjalan dengan bantuan kuku-kuku kakinya untuk mencengkram tanah. Tapi Willy tak peduli. Ia baru bebarapa bulan saja merasakan hal seperti ini. Sedangkan Mak Inah? Berpuluh-puluh tahun sudah merasakannya hingga saat ini ia menjadi pedagang yang dikenal masyarakat meski tak dielu-elukan seperti para artis dadakan. Darinya, Willy juga berambisi untuk menjadi orang hebat. Kalau bisa, lebih di atas Mak Inah.
Willy menghentikan langkahnya. Wajahnya menyiratkan kebingungan karena di rumahnya berkumpul beberapa orang perempuan dengan kepala desa.
‘Ada apa?’ batin Willy.
Willy tak mau membuang waktu. Ia berlarian menghampiri kerumunan orang-orang di rumah Mak Inah.
“Willy, selamat ya Le,” teriak Mbak Asih, namun ia tak sempat menyahut. Hanya wajahnya tersenyum getir, tak tahu apa maksud Mbak Asih.
Di depan pintu rumahnya, ia memaku. Willy sengaja tak langsung masuk, ia memilih untuk curi pendengaran dari sana. Suara yang ia dengar sangat jelas menerobos bilik bambu rumah mak Inah. Perlahan-lahan senyum Willy mengembang. Dari percakapan mak Inah, pak Kades dan beberapa orang berseragam itu, Willy mengerti maksud kata-kata Bagas.
“Assalamu’alaikum,” salam Willy kemudian.
“Wa’alaikumsalam, nah ini dia Willy, Bu Guru, Pak Kades,” Mak Inah merangkul Willy.
“Iya, kemarin saya sudah perhatikan dia yang sedang berdagang di sekolah. Saya juga sering lihat dia membaca bungkus makanan di sana,” jelas salah satu guru yang ada di sana.
“Selamat ya, Willy. Mulai semester besok, kamu sudah bisa sekolah. Ndak apa-apa kan walau pun telat dua tahun?” tanya Pak Kades, menghampiri Willy.
Willy tersenyum lebar dan mengangguk. Impiannya jadi nyata. Sekolah… kata yang tadinya hanya ada di benak Willy. Kini ia akan pergi ke tempat itu bukan untuk berjualan krau, tapi untuk belajar.
“Belajar yang pintar ya, Willy,” pesan salah satu guru, sebelum mereka pamit dari rumahnya.
Mak Inah memeluk Willy dengan bangga. Tak lama, Mbak Asih dan Manda ikut menghampiri dan memeluk Willy. Kebahagiaan yang Willy ciptakan sendiri tanpa bantuan Mak Inah. Rasanya Willy tak sabar bertemu dengan Bagas untuk menyampaikan terima kasihnya.
***
Meski tahun ajaran baru akan dimulai dua minggu lagi, tapi Mak Inah sudah sangat kelimpungan mencarikan perlengkapan sekolah untuk Willy. Mulai dari seragam, sepatu, tas dan alat tulis. Sayangnya, harga sepatu yang ada di pasar tak ada yang bisa Mak Inah jangkau. Terlalu mahal. Untuk satu sepasang sepatu saja, Mak Inah harus mengeluarkan uang hampir lima puluh ribu rupiah. Padahal untuk modal krau saja, lima puluh ribu rupiah bisa untuk dua hari. Tapi ia ingin yang terbaik untuk Willy.
Mak Inah menghitung lagi uang yang ada di dalam kaleng simpanannya saat Willy sedang berkeliling menjajakan krau. Empat puluh lima ribu, dikurang uang modal untuk besok dua puluh lima ribu rupiah.
“Ah, masih terlalu jauh kurangnya. Apa iya besok aku tidak perlu jualan dulu? Semoga saja keuntungan hari ini lebih dari biasanya. Willy harus dapat sepatu yang baik untuk dipakainya,” gumam Mak Inah, di sebelahnya Manda asyik memperhatikan.