Hari ini, Willy akan resmi duduk di kelas 3. Itu berarti akan berada satu kelas dengan Bagas. Siswa yang pertama kali dikenalnya saat ia masih menjadi pedagang krau jagung. Namun hari ini, Willy memutuskan untuk membawa ke sekolah, sebagian krau yang akan Mak Inah jajakan. Dari sekitar enam bungkus krau, Willy menyisakannya satu untuk Bagas.
Dengan hati berdebar, Willy pamit pada Mak Inah dan bergegas menuju sekolahnya. Dalam hatinya, seperti murid baru lagi meski nyatanya sudah satu semester ia lalui di sekolah itu. Bukan hanya itu, berita Willy yang loncat kelas karena kecerdasannya pun sudah menyebar ke berbagai penjuru desa. Kini, setiap Willy lewat, selalu saja ada yang memanggil dan menegurnya. Willy selalu tersenyum ramah.
Siswa siswi kelas 1 sudah banyak yang datang. Beberapa di antaranya pun menyempatkan diri untuk menyapa Willy. Berita loncat kelasnya tentu sudah menyebar di sekolah.
“Yah, kita ndak bisa makan krau Willy lagi dong.”
“Aku nggak bisa diajari matematika lagi, ya Will?”
“Kalau aku bingung mengerjakan soal, siapa yang ngajari nanti?”
Dan respon lainnya yang diterima Willy hari itu dari teman-temannya di kelas 1. Willy yang ramah tak mau besar kepala. Ia menegaskan akan tetap menjadi teman-teman mereka. Membawakan krau pesanan mereka, juga tak segan untuk mengajarkan matematika, bidang pelajaran yang Willy kuasai, pada teman-teman lainnya.
Di kelas 3, belum banyak siswa siswi yang datang. Memang karena masih terlalu pagi. Hanya ada tiga orang di sana, termasuk Bagas. Willy melemparkan senyum pada teman-teman barunya itu.
“Willy, duduk di sini!” ujar Bagas dari kursinya yang terletak di baris ke dua.
Willy tersenyum dan mengangguk. Ia memang sedang bingung akan duduk di mana. Ternyata Bagas menawarinya. Seperti mata air di padang tandus, begitulah kira-kira peran Bagas bagi Willy saat itu. Willy tak bis membayangkan, seperti apa balasan yang seharusnya Willy berikan pada Bagas.
“Bagas, terima kasih ya untuk semuanya,” ujar Willy saat tubuhnya sudah berada di atas kursi kayu di sebelah Bagas.
Bagas memicingkan matanya, seakan meminta Willy melanjutkan apa maksudnya.
“Iya, untuk semuanya. Untuk sekolah gratis, untuk loncat kelas, dan…”
Belum selesai Willy bicara, Bagas tertawa. Willy menatap Bagas dengan bingung.
“Itu bukan aku, tapi memang kamu yang pantas dapat semuanya. Sudah jangan berlebihan kamu.”
Willy ikut tertawa melihat Bagas yang masih cekikikan di kursinya, “Baiklah, yang penting aku tetap ucapkan terima kasih ya.”
Bagas tak bicara apa-apa lagi, ia hanya menepuk pelan bahu Willy. Sejurus kemudian seorang wanita berseragam guru memasuki ruang kelas. Senyumnya tak seperti guru di kelas Willy sebelumnya. Di seragam baju guru itu, Willy membaca namanya. Rahmawati. Ia adalah guru matematika kelas 3 sampai kelas 4. Menurut cerita Bagas, Bu Rahma, begitu ia di sapa, adalah guru yang cukup galak. Itulah sebabnya tak ada yang berani bicara saat jam pelajarannya berlangsung. Semua murid juga akan selalu mengerjakan PR yang Bu Rahma berikan.
“Kumpulkan tugas kalian!” perintah Bu Rahma dengan suara lantang.
Benar saja, seluruh murid bangkit dari kursinya untuk mengumpulkan buku tugasnya. Kecuali Willy.
“Kamu kenapa nggak kumpul buku tugasmu?” mengetahui Willy tidak mengumpulkan buku tugasnya, bu Rahma berjalan pelan mendekatinya.
Willy yang sedari tadi menunduk, memaksakan diri untuk mendongak. Ditatapnya mata Bu Rahma penuh rasa takut. Meski begitu ia harus tetap mengutarakan alasan sebenarnya.