Jalan Untuk Pulang

Mitha Juniar
Chapter #11

#11 Pengganti Beras

Suasana sekolah tampak lengang dari biasanya karena murid-murid kelas 6 sudah tidak masuk sekolah. Ujian Nasional sudah terlaksana dengan baik, hanya tinggal menunggu hasilnya kemudian. Willy, Bagas dan Dira pun naik ke kelas 6 dengan peringkat beruntun – Willy – Bagas – Dira. Bagas yang bisa berada di antara kedua sahabatnya itu merasa kejatuhan durian. Sangat bahagia. Mak Inah bangga pada Willy yang selalu memegang peringkat pertama. Sehingga tidak ada kesalahan bagi sekolah karena telah memberikan kesempatan sekolah gratis untuk cucu angkatnya itu.

Hari ini belum ada jam pelajaran. Tapi, guru-guru mengumumkan kalau besok akan diadakan parade tumpeng di sekolah. Setiap kelas akan dibagi menjadi 2 kelompok untuk kemudian memasak nasi tumpeng dan menghiasnya untuk dipamerkan pada siswa lain dan warga desa. Sayangnya, untuk kali ini karena absen Willy berjauhan dengan Bagas dan Dira, mereka tidak lagi disatukan dalam kelompok.

“Yah, kita nggak satu kelompok, Wil,” keluh Bagas saat ia dan Willy pulang bersama.

“Memang kenapa? Semua teman kan sama saja, Gas. Kamu mau hanya aku satu-satunya teman kamu? Nggak kan?”

Mendengar pertanyaan Willy yang bertubi-tubi seakan membuka pikiran Bagas, kalau apa yang dibicarakan Willy ada benarnya.

 Hari ini Willy dan Bagas memutuskan untuk tidak belajar bersama, karena akan menyiapkan berbagai bahan yang diperlukan untuk esoknya. Willy memilih agar membawa beras saja. Karena ia tak punya kompor minyak, Mak Inah saja memasak dengan tunggu kayu. Berbagai peralatan dapur Mak Inah yang sudah tampak jelek pun sangat dibutuhkan untuk memasak krau. Tidak mungkin jika Willy menggunakannya dan membawanya ke sekolah. Hanya beras yang bisa ia bawa. Setiap bulan, keluarga Mak Inah memang mendapatkan jatah beras.

 “Semoga saja Mak masih ada simpanan,” gumamnya dan terus berjalan menyusuri jalan setapak menuju rumahnya.

“Assalamu’alaikum, Mak, Kak Manda,” salam Willy saat memasuki rumahnya.

Ternyata Mbak Asih juga ada di sana. Willy mencium tangan ketiga orang yang amat ia sayangi. Manda terlihat bergitu rindu dengan sosok adiknya yang dulu selalu ada di sampingnya. Namun karena sekolah, belajar dan menjajakan krau, Willy jadi jarang bermain dan menghabiskan waktu bersama Manda.

“Wa’alaikumsalam, Le. Sudah pulang tho?”

“Sudah Mak.” Willy melepas topi dan dasi berwarna merah yang menempel di seragamnya. “Mak, kita masih punya beras ndak?” tanyanya ragu-ragu.

Mak Inah memandang nasi yang berada di wadah tak jauh darinya. Air wajahnya menunjukan kesedihan, sepertinya Willy sudah mengetahui jawaban apa yang akan diucapkan mak Inah.

“Tinggal yang di sana, sudah jadi nasi. Untuk apa tho, Le?”

“Oh, yasudah ndak apa-apa Mak. Willy cari cara lain saja,” sahutnya menenangkan Mak Inah.

“Lho, memangnya untuk apa?” tanya Mak Inah sekali lagi karena penasaran.

Willy duduk bersila di antara Mak Inah dan Mbak Asih. Segelas air putih yang baru saja diambilnya berhasil masuk ke tubuhnya sebagai penyegar.

“Besok di sekolah Willy ada acara masak-masak Mak. Semua anak kebagian tugas, dan Willy kebagian membawa beras. Willy pikir, beras yang dari kelurahan masih ada,” ceritanya sambil mengamit sedikit krau jagung dari piring Manda.

Mak Inah menatap sedih, matanya seakan bicara. Meminta maaf berkali-kali. Willy menjadi tidak enak hati.

“Sudah Mak, ndak apa-apa. Kan bisa diganti,” hibur Willy.

“Mau diganti pakai apa?” air wajah Mak Inah bertambah sedih karena tidak bisa memberikan yang terbaik dan yang dibutuhkan oleh Willy.

Willy terdiam, dahinya berkerut tanda sedang berpikir. Sejurus kemudian bibirnya menyunggingkan senyum, ide yang masuk ke dalam pikirannya sepertinya adalah ide yang bagus.

“Dengan krau. Jadi krau tumpeng. Ide bagus kan, Mak?” mata Willy berbinar-binar.

“Lha iya, itu bagus. Ide baru, Le,” Mbak Asih ikut angkat bicara.

Mak Inah menatap Willy dan Mbak Asih secara bergantian. Wajah dua orang yang sudah dianggapnya cucu itu menyiratkan kegembiraan. Mak Inah ikut tersenyum menyetujui.

“Ayo Le ambil jagung ke warung Mbak,” ajak mbak Asih.

Mendengar ajakan mbak Asih, Willy tertegun sebentar. “Eh, nggak usah Mbak. Biar nanti Willy jualan krau dulu, baru uangnya Willy belikan jagung di warung Mbak Asih.”

Lihat selengkapnya